Cart

Your Cart Is Empty

𝗧𝗵𝗲 𝗔𝗿𝘁𝗶𝘀𝘁 𝗮𝗻𝗱 𝘁𝗵𝗲 𝗠𝗮𝘁𝗵𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗰𝗶𝗮𝗻: 𝗧𝗵𝗲 𝗦𝘁𝗼𝗿𝘆 𝗼𝗳 𝗡𝗶𝗰𝗼𝗹𝗮𝘀 𝗕𝗼𝘂𝗿𝗯𝗮𝗸𝗶, 𝘁𝗵𝗲 𝗚𝗲𝗻𝗶𝘂𝘀 𝗠𝗮𝘁𝗵𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗰𝗶𝗮𝗻 𝗪𝗵𝗼 𝗡𝗲𝘃𝗲𝗿 𝗘𝘅𝗶𝘀𝘁𝗲𝗱

𝗧𝗵𝗲 𝗔𝗿𝘁𝗶𝘀𝘁 𝗮𝗻𝗱 𝘁𝗵𝗲 𝗠𝗮𝘁𝗵𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗰𝗶𝗮𝗻: 𝗧𝗵𝗲 𝗦𝘁𝗼𝗿𝘆 𝗼𝗳 𝗡𝗶𝗰𝗼𝗹𝗮𝘀 𝗕𝗼𝘂𝗿𝗯𝗮𝗸𝗶, 𝘁𝗵𝗲 𝗚𝗲𝗻𝗶𝘂𝘀 𝗠𝗮𝘁𝗵𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗰𝗶𝗮𝗻 𝗪𝗵𝗼 𝗡𝗲𝘃𝗲𝗿 𝗘𝘅𝗶𝘀𝘁𝗲𝗱

image

Author

Ani

Published

Januari 20, 2024

𝗧𝗵𝗲 𝗔𝗿𝘁𝗶𝘀𝘁 𝗮𝗻𝗱 𝘁𝗵𝗲 𝗠𝗮𝘁𝗵𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗰𝗶𝗮𝗻: 𝗧𝗵𝗲 𝗦𝘁𝗼𝗿𝘆 𝗼𝗳 𝗡𝗶𝗰𝗼𝗹𝗮𝘀 𝗕𝗼𝘂𝗿𝗯𝗮𝗸𝗶, 𝘁𝗵𝗲 𝗚𝗲𝗻𝗶𝘂𝘀 𝗠𝗮𝘁𝗵𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗰𝗶𝗮𝗻 𝗪𝗵𝗼 𝗡𝗲𝘃𝗲𝗿 𝗘𝘅𝗶𝘀𝘁𝗲𝗱

Amir Aczel
Thunder’s Mouth Press (2006)
239 hal

Pada masa pertengahan abad 20, nama Nicolas Bourbaki dikenal sebagai matematikawan hebat yang menelurkan banyak buku penting di berbagai bidang matematika seperti aljabar, topologi, teori himpunan, dan lain-lain.

Namun Nicolas Bourbaki, si matematikawan hebat itu, sebenarnya tidak pernah ada.

Nama tersebut adalah nama samaran dari sekumpulan matematikawan (rata-rata dari Perancis) yang awalnya bergabung untuk memperbaharui textbook matematika yang pada saat itu (pasca Perang Dunia I) sudah ketinggalan jaman.

Buku ini mengisahkan kemunculan grup Bourbaki, tokoh-tokohnya, dan hubungan serta pengaruhnya terhadap budaya kemasyarakatan di Perancis pada saat itu dan selanjutnya. Ini yang tersirat dari judul buku “The Artist and the Mathematician”. Di dalamnya diceritakan tentang awal abad 20 yang penuh ‘pendobrakan’. Einstein mendobrak cara pandang terhadap geometri semesta. Picasso, Braque dan kubisme mewakili cara pandang baru di dunia seni. Intinya, zeitgeist atau semangat era itu adalah meninggalkan cara lama dan menempuh cara baru.

Pasca Perang Dunia I, dengan semangat membangun yang baru, Paris dan terutama kafe-kafenya menjadi pusat pemikiran dan kreasi yang dinamis, tempat bertemunya para ilmuwan, filsuf, penulis, dan seniman.
Dunia matematika di Perancis saat itu dirasa tertinggal dari Jerman, karena perang telah merenggut banyak matematikawan muda yang harus ikut angkat senjata.
Para matematikawan di beberapa universitas di pelosok Perancis yang bertanggung jawab atas kurikulum, dengan inisiatif dari Andre Weil dan Henri Cartan, bertemu di sebuah cafe di Paris dan bersepakat untuk membentuk grup Bourbaki.

Tokoh grup Bourbaki yang paling banyak diceritakan di buku ini adalah Andre Weil (salah satu pendirinya) dan matematikawan jenius Alexander Grothendieck (anggota generasi ketiga).

Selanjutnya diceritakan bagaimana para anggota grup menyusun struktur kurikulum pengajaran matematika, bagaimana perkembangan grup sampai bubarnya.

Diceritakan juga hubungan karya grup Bourbaki dengan teori strukturalisme dari antropolog Claude Levi Strauss, bagaimana pengaruhnya terhadap linguistik, psikologi, dan ekonomi.

Buku ini awalnya cukup menarik ketika membahas sejarah pendirian Bourbaki dan tokoh-tokohnya, tetapi entah kenapa banyak pengulangan di bagian menuju akhir ketika menerangkan tentang strukturalisme. Dan yang saya tangkap tentang hubungannya dengan seni (yang dijadikan judul) malah kurang kuat. Agak maksa gitu.

Ada dua hal yang terlintas di pikiran saya waktu membaca buku ini. Yang pertama adalah tentang perang.
Eropa saat itu memiliki banyak sekali anak-anak muda brilyan yang, seandainya tidak ada perang, bisa jadi membawa kemajuan besar bagi ilmu pengetahuan, di Eropa khususnya dan dunia pada umumnya. Namun perang menghancurkan mereka.
Di buku Logicomix, Bertrand Russell berkata “Begitu banyak peristiwa besar yang menjadi besar justru karena tidak rasional. Dan tidak ada yang lebih irasional daripada perang.”

Yang kedua adalah betapa serunya kafe-kafe di Paris pada saat itu, penuh dengan obrolan intelektual yang kreatif dan penuh semangat. Saya jadi membayangkan, mungkin dulu anak-anak muda idealis generasi bung Karno dan bung Hatta, mendiskusikan pendirian negara, pendidikan bangsa dll, sambil ngopi-ngopi di warung.

Saya jadi ingat waktu berkunjung ke kota kecil Princeton dan numpang berteduh di kedai kopi di Nassau Street (waktu itu hujan besar). Di dalamnya penuh akademisi, entah mahasiswa atau dosen dengan laptop dan buku masing-masing, membaca jurnal, mengerjakan paper, obrolannya seputar ilmu. Tepat pada saat itu kafe itu jadi pusat pemikiran juga (ya habis kafenya di depan kampus sih, pantaslah isinya begitu).

Kalau kafe-kafe sekarang juga dijadikan tempat ngobrol intelektual idealis kreatif seperti itu, asyik juga ya. Batas akademik dan publik jadi lebur, seperti Paris awal abad 20.

Join Us

Book

O Latte

Follow IG untuk membaca review kami

Join Us on Spotify

Our Location

My Place

The place I like the most

Get Direction