*Mengapa mempelajari hermeneutik itu penting dalam memahami kitab suci?*
Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius, 2015
Buku ini dipakai untuk pengantar kuliah Hermeneutik, berisi sejarah perkembangan ilmu Hermeneutik, tokoh-tokoh utamanya, dan pemikiran-pemikiran mereka. Tapi yang mau aku bahas di sini sebagian kecil saja dari bukunya, topik paling menarik dari ilmu hermeneutik, yaitu penggunaan hermeneutik untuk memahami teks suci.
Ya, hermeneutik awalnya adalah metode yang dikembangkan untuk memahami kitab suci. Lawan dari hermeneutik adalah pembacaan kitab suci secara literalis, kata per kata, yang diterima maknanya secara harfiah. Sudah sejak lama pembacaan harfiah dari kitab suci ini menimbulkan masalah, misalnya mendorong timbulnya gerakan radikalis agama yang ingin menerapkan hukum positif berdasarkan pemahaman literalis mereka. Ujung-ujungnya, muncullah teroris yang menggunakan pemahaman literalis untuk membenarkan kekejian yang mereka lakukan. Karena sifatnya yang berusaha memahami teks suci lebih dari sekedar apa yang tertulis, ilmu hermeneutika cenderung dimusuhi oleh kalangan literalis, dianggap bid’ah, bahkan sesat.
Kenapa tidak cukup memahami kitab suci hanya dengan pembacaan harfiah? Karena telah terbentang jarak yang sangat jauh antara diri kita sebagai pembaca masa kini, dengan teks yang ditulis ribuan tahun tersebut. Banyak sekali makna yang telah berubah seiring jaman. Sebagai contoh, mari kita ambil makna kata akal. Kita yang hidup di dunia modern, cenderung mengartikan bahwa akal adalah kecerdasan dalam memahami sains. Lalu kita melihat bahwa orang-orang yang cerdas secara sains ternyata banyak yang memilih jadi ateis. Kemudian diambil kesimpulan bahwa orang yang berakal ternyata malah jadi ateis, membuang iman pada Tuhan. Maka sebagian kalangan beriman menganggap bahwa menggunakan akal itu sangat berbahaya. Akhirnya muncul alergi terhadap penggunaan akal. Hal ini marak di kalangan umat Islam, padahal Al Qur’an sangat menekankan agar orang beriman itu mengolah akalnya. Tentu yang perlu kita telusuri adalah, apakah makna kata akal yang ditekankan dalam Al Qur’an itu sama dengan makna kata akal yang kita pahami sekarang?
Itu baru satu kata. Di buku ini dijelaskan bahwa makna kata dosa dan penebusan, telah mengalami perubahan seiring zaman. Bahkan kata ‘agama’ pun mengalami pergeseran makna. Di masa kini kita cenderung mengartikan ‘agama’ sebagai label-label Islam, Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dengan segala atribut organisasinya (ritual, sistem hukum). Hal ini terjadi karena kita hidup di masa ketika agama-agama telah menjadi suatu institusi resmi dengan hirarki dan aturan yang ketat. Tapi ribuan tahun yang lalu ketika kehidupan manusia masih sangat sederhana, apakah yang sebenarnya disebut agama itu?
Satu hal yang sering diperdebatkan jika bicara teks suci adalah, dengan sudut pandang apakah kita harus membacanya? Apakah tepat jika kita membacanya dengan sudut pandang ilmiah modern dan mengajukan bukti kebenaran kitab suci sesuai sains? Ataukah sebenarnya kitab suci lebih merupakan kisah moral yang lebih baik didekati dengan cara pandang hikmah? Yang jelas, pemaksaan membaca kitab suci dengan pendekatan ilmiah seringkali menghasilkan cocoklogi yang dipaksakan. Sedangkan menganggapnya sebagai kisah moral memerlukan pengetahuan konteks yang mumpuni agar tidak salah mengambil pelajaran.
Demikianlah, hermeneutika mengajak kita untuk mencoba memahami lebih dari sekadar yang tertulis, dengan menyadari bahwa pemikiran dan kebiasaan kita masa kini telah berjarak jauh dengan teks suci yang kita coba pahami. Karena itu hermeneutik kemudian berkembang, tidak hanya berupa metode untuk memahami teks, tapi juga memahami budaya, sejarah, politik, bahkan memahami ‘kegilaan’ diri sendiri. Pak Budi Hardiman memberi judul buku ini ‘Seni Memahami’, karena memang demikianlah tujuan hermeneutik, untuk memahami segala hal yang ada di luar diri kita, dan pada akhirnya, memahami diri kita sendiri.
‘Memahami adalah cara untuk ‘menjadi’ (bereksistensi/menjadi manusia)’– terjemahan bebas dari kata-kata Martin Heidegger, salah satu pemikir hermeneutik.
Mari menjadi manusia, lewat memahami.