Kurang lebih 20 tahun yang lalu, Neil Theise, seorang dokter peneliti sel, mulai mendengar tentang complexity theory dan complex system dari kenalannya Jane, seorang seniman Inggris yang membuat proyek ‘virtual world’ dengan avatar-avatar yang berinteraksi di dalamnya. Jane bercerita bahwa ketika jumlah avatar sudah mencapai ribuan, ada perilaku-perilaku baru yang tidak diprogram sebelumnya, melainkan muncul (merupakan emergent) secara spontan dari interaksi mereka. Perilaku ini menurut Theise sama dengan apa yang ia temukan pada stem cell. Sejak itu ia dan beberapa koleganya (dari bidang seni, matematika, dan computer science) mulai memikirkan complexity theory dan kaitannya dengan fenomena-fenomena di kehidupan, dan eksistensi.
Notes on Complexity: A Scientific Theory of Connection, Consciousness, and Being
Neil Theise
Spiegel & Grau (2023)
205 hal
Neil Theise adalah seorang dokter dan profesor patologi di NYU Grossman School of Medicine. Fokusnya meneliti stem cell dan anatomi jaringan antara sel dan organ. Ia juga seorang Yahudi dan praktisi Zen Buddhism (latar belakang ini perlu disebutkan karena akan berkaitan dengan bukunya).
Buku ini terbagi menjadi 3 bagian besar: Complexity; Complementarity and Holarchy (Or the “Boundless Body”); dan Consciousness.
Apa itu complexity theory? Menurut Theise di buku ini, complexity theory adalah studi bagaimana suatu complex system mewujud (manifest) di dunia. (catatan: saya sengaja cuma mengambil dari buku ini. Definisi complexity theory sebenarnya tidak sesimpel itu saking luasnya — kebetulan saya sedang baca buku Sync dari Steven Strogatz yang juga membahas complexity theory. Definisi dia lebih mathematical).
Namun pada intinya, ciri khas complexity adalah ‘emergence’, munculnya sesuatu yang baru dari bagian-bagian pembangunnya. The whole is greater than the sum of its parts.
Complexity theory muncul di pertengahan abad 20 ketika para ilmuwan mulai berpikir secara sistem. Pada tahun 80an didirikan Santa Fe Institut yang fokus mempelajari complexity studies sebagai ilmu tersendiri. Sebelum mulai bergeser ke sistem, hampir semua cabang sains menggunakan pendekatan reduksionis, membagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil. Prinsipnya, dengan memahami bagiannya, maka kita akan memahami keseluruhannya. Tetapi adanya ‘emergence’ meruntuhkan paradigma itu.
Berpikir secara sistem membalikkan pertanyaannya menjadi ‘bagaimanakah bagian-bagian ini bergabung, bersatu, dan mengatur dirinya, untuk membentuk keseluruhan?’
Ada 3 aturan complexity:
1. Jumlah. Ketika jumlah bagian-bagian ini semakin besar, barulah akan muncul fenomena emergence.
2. Interaksinya lokal antar bagian, bukan global. Artinya tidak ada suatu ‘pemimpin’ yang menyuruh bagian-bagian ini melakukan apa yang mereka lakukan. Mereka mengatur dirinya sendiri.
3. “Negative Feedback Loops” yang dalam hal ini artinya feedback yang didapat sistem tersebut ‘menyetel’ sistem ke arah keseimbangan atau homeostasis.
Keseimbangan ini terjadi “at the edge of chaos”, ketika terjadi tarik-tarikan antara chaos dan order. (fyi di buku Cell juga ada pernyataan seperti ini tentang homeostasis sel).
Bagian Complementarity and Holarchy mempertanyakan di manakah batas ‘self’ ini. Tubuh kita adalah sebuah sistem yang terdiri dari sel, yang mana sel sendiri juga adalah complex system. Dari sini bisa dilihat bahwa diri kita, meskipun ‘satu’, tapi juga sebetulnya ‘banyak’. One and many at the same time.
Lalu dizoom ke level molekul, jika dilihat membran sel itu, sebenarnya tidak rigid. Sel tidak benar-benar terpisah dari lainnya, karena membran yang menjadi batas sel itu adalah ‘emergent properties’ dari sejumlah molekul phospholipid yang self-organized, yang gerakannya didorong oleh Brownian motion cairan tubuh. Jadi bisa dibilang ‘tubuh terdiri dari sel’ itu bisa juga dilihat sebagai suatu ‘fluid continuum’ (tubuh) dengan batas-batas semipermanen. A whole, not parts.
Turun lagi ke level atom, Theise berargumen bahwa di level molekul, dan karenanya juga atom, tubuh kita ini sebenarnya bagian dari Bumi secara keseluruhan. Misalnya ketika menyentuh sesuatu, ada sel-sel kulit kita yang tertinggal di benda itu, dan partikel2 lain pun terbawa oleh tubuh kita. Lalu ketika mati dan kembali ke tanah, tubuh kita akan didaur ulang menjadi sesuatu yang lain. Menjadi bagian dari tanah, bagian dari Bumi. Dari perspektif ini, ia bertanya “Apakah kita ini makhluk hidup yang beraktivitas di atas planet yang kita sebut Bumi, ataukah sebenarnya kita ini Bumi itu sendiri, yang atom-atomnya merakit-ulang membentuk ‘transitory beings’ yang berpikir bahwa dirinya adalah mandiri dan terpisah dari yang lain?”
Semakin turun ke level kuantum, partikel elementer, dan quantum foam, di skala Planck, “the very smallest creations of all are wholes without parts that merely emanate from spacetime and dissolve back into it like phantoms — there but not there, real but not real.”
Lalu apa yang dimaksud ‘holarchy’? Holarchy adalah sebuah sistem di mana unsur-unsurnya tidak terbagi-bagi dalam sebuah hierarki atas-bawah, kiri-kanan, lebih tinggi atau lebih rendah. Setiap anggota holarchy disebut holon, dan semua holon adalah setara.
Jadi di manakah batas ‘self’ ini? Apakah yang selama ini kita anggap tubuh kita, ataukah alam semesta itu sendiri?
Sampai sini kurang lebih mirip dengan bahasan buku The One dari Heinrich Pas yg pernah saya bahas sebelumnya, yang mengaitkan quantum entanglement dengan filsafat monisme.
Di bagian ketiga Theise membahas masalah consciousness/kesadaran. Di manakah letak kesadaran itu? Apakah dibentuk oleh otak? Kalau di otak, di sebelah mana? Aliran materialis mengatakan bahwa bagian-bagian dan fungsi otak memunculkan kesadaran sebagai emergent. Aliran panpsychism mengatakan bahwa kesadaran sudah ada di semesta sebelum munculnya otak, jadi partikel-partikel elementer pun punya kesadaran. Aliran ketiga ialah idealis, yang menyatakan bahwa alam semesta seluruhnya adalah hanya manifestasi dari Kesadaran (Big-C Consciousness) yang mendasarinya. Perdebatan antara sains dan filsafat tentang kesadaran yang nggak ada ujungnya ini membawa pada pertanyaan : apakah sains dan filsafat cukup kokoh untuk membahas kesadaran?
Lalu Theise pindah ke matematika. Ia mengangkat David Hilbert dan Hilbert programnya yang bertujuan untuk membuktikan kekokohan fondasi matematika, yaitu konsistensi aksioma dan teoremanya. Namun sejarah matematika mencatat Kurt Godel menghancurkan mimpi Hilbert ini melalui Teorema Ketidaklengkapannya yang menyatakan bahwa setiap sistem matematika yang konsisten dan mengandung aritmetika maka pasti tidak lengkap, dan konsistensinya tidak bisa dibuktikan di dalam sistemnya sendiri.
Menurut Theise, ini artinya ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dibuktikan melalui empirisme (sains) dan formal logic (matematika), dan hanya bisa dicapai oleh intuisi dan metafisika. Kemudian dia lanjut membahas konsep kesadaran dan eksistensi dalam spiritualisme Zen Buddhism, Kabbalah, Vedanta, dan Saivism. Inti argumennya adalah, ada kebenaran di luar sains, matematik, dan logika, yang bisa dicapai oleh spiritualisme.
***
Sampai di sini tampak impresif ya bukunya. Yang tidak banyak membaca tentang fisika kuantum dan logika bisa jadi terpukau oleh buku ini. Sayangnya ada beberapa kekurangan yang perlu diangkat, karena cukup fatal.
Yang pertama ialah ketika Theise membahas fisika kuantum. Untuk referensi bab kuantum ia hanya mengambil sumber dari korespondensi tokoh-tokoh fisika di awal kemunculan fisika kuantum. Jadi bab kuantum ini seolah-olah bercerita bahwa ada pertentangan antara fisika mainstream (diwakili Einstein) dengan fisika kuantum (Heisenberg, Niels Bohr dkk).
Theise menulis “There are many who disagree with the Copenhagen interpretation, Einstein most notably. But I agree with it.” Bagi saya ini pernyataan yang aneh, karena dunia fisika modern sudah menerima fisika kuantum karena cocok dengan eksperimen. Meskipun memang ‘aneh’, namun fisika modern mengakui keanehannya. Yang beda-beda adalah tafsiran-tafsirannya. Bahkan sekarang kecenderungan dunia fisika bergeser dari tafsiran Copenhagen ke tafsiran Many Worlds (menurut buku Sean Carroll “Something Deeply Hidden” yang pernah saya review).
Yang kedua adalah ketika Theise membahas implikasi Teorema Ketidaklengkapan Godel.
Theise menulis “(Godel) showed that there are some truths rigorously confirmed to be true, but which can be proved true only by some method OTHER than formal logic, a method like direct intuition…Thanks to Godel, we are free to explore the metaphysical insights…” Theise beranggapan bahwa teorema ini berarti bahwa ada kebenaran yang tidak bisa dibuktikan oleh formal logic, dan karenanya bisa langsung loncat ke intuisi dan metafisika dan bebas dari logika. Hal ini tidak tepat.
Hanya dengan logikalah, kebenaran itu bisa dipastikan secara akurat, secara rigorous (karena tadi Theise juga mempermasalahkan ‘rigor’).
Teorema Godel memang menunjukkan ada limit dari sistem logika, tetapi limit tsb bisa diatasi kalau memakai sistem logika yang lebih tinggi melaui hirarki infinity. Jadi formal logic masih diperlukan sampai infinity (metalogic). Logika (tepatnya metalogika) itu tertanam dalam struktur infinity, sampai ke The Absolute Infinite.
Semakin konsisten dan lengkap suatu sistem logika maka derajat kebenaran dan kepastian yg bisa dicapai sistem tsb semakin tinggi. Teorema Godel memberi implikasi adanya struktur logika yang semakin lengkap seperti itu, yang sebanding dengan hirarki dari infinity. Semakin tinggi levelnya maka akan semakin lengkap dan semakin pasti dan semakin benar.
Hal ini sepertinya terjadi karena Theise dan timnya tidak familiar dengan studi tentang formal logic, Godel program, dan infinity yang masih terus dikerjakan oleh tokoh-tokoh matematika seperti misalnya Hugh Woodin, Harvey Friedman, Sy Friedman.
Tapi secara umum buku ini cukup menarik untuk yang ingin membaca topik consciousness.
Terkait:
Review buku The One (Heinrich Päs)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid0jiSy2JCWP4nLVUHG5PM3M7zeqtQibwXCRD1PAQzBbY7PYRHNqZa2vENkzFWExYfKl
Review buku Something Deeply Hidden (Sean Carroll)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid02yHJifJAXrPUnGV9WCvsEapAfQ8aGaJUHKUof4LFxWLXoyxXYQkxREtiCzHWCPUZQl
Review buku The Song of the Cell (Siddhartha Mukherjee)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid023qbWWyXHwJwXwFwjWvTUXHghEUkfuEnH6rNkPYM3uARt1H3GsSnSsXE3R7K3cU5al