Global Warming sudah menjadi ancaman nyata untuk kehidupan seluruh manusia. Aktivitas ekonomi manusia merusak alam hingga nyaris melewati ‘point of no return’. Di buku ini, Karen Armstrong mengeksplorasi bagaimana hubungan manusia dengan alam, yang dulu merupakan dasar bagi lahirnya agama-agama besar di dunia. Menurut mbah Armstrong, kita perlu menengok kembali pada khazanah kuno etika pada alam, demi masa depan kita bersama.
Sacred Nature, Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam
Karen Armstrong
Mizan Pustaka, 2023
162 halaman
Dibandingkan dengan buku-buku mbah Armstrong yang lain, buku ini tipis sekali. Selain tipis, gaya bahasanya sederhana. Saya berhasil membacanya hanya dalam waktu tiga jam. Sepertinya buku ini juga cocok untuk pembaca pemula yang ingin tahu mengenai studi sejarah agama ala Karen Armstrong tapi seram melihat tebalnya buku-buku karyanya yang lain. Buku Sacred Nature ini bisa dikatakan merupakan ringkasan sangat bagus dari buku mbah Armstrong lainnya: Sejarah Tuhan dan The Great Transformation.
Bagi mbah Armstrong, krisis lingkungan saat ini bermula dari perubahan sikap manusia terhadap alam. Sepanjang sejarah manusia, ada dua mode berpikir yang dilakukan manusia: pola pikir mitos dan pola pikir logos/rasional. Saat ini, pola pikir mitos/mitis direndahkan sebagai sisa-sisa peradaban primitif. Padahal, mitos justru merupakan pondasi bagi peradaban manusia. Manusia bukanlah sekadar mesin berpikir logis, dia juga hidup, tumbuh, dan bernafas di alam lingkungannya. Cara berpikir mitos mengintegrasikan seluruh fenomena alam sehingga dapat dipahami. Dengan itu, manusia menyesuaikan diri dengan kekuatan alam, bertahan hidup, dan berkembang biak. Mitos, sebenarnya adalah sains dan psikologi purba. Kisah-kisah yang muncul dari pola pikir ini bukan sekadar dongeng, kisah-kisah itu memberi penegasan pada tiap individu mengenai tujuan dan perannya di bumi.
Namun sejak revolusi logos yang dimulai oleh Francis Bacon di Inggris, manusia mulai memisahkan diri dari alam. Alam tidak lagi dianggap sebagai ibu, namun sebagai mahluk rendah yang harus ditaklukkan, dimanfaatkan, dan dibedah rahasia-rahasianya. Penghormatan terhadap alam hilang seiring dengan makin berkembangnya teknologi dan industri buatan manusia. Mbah Armstrong mencatat bahwa sikap ini sedikit banyak diinspirasi oleh Taurat dan Injil, walaupun sebenarnya tidak seluruh Injil bernada ‘penaklukan’ pada alam. Kisah Nabi Ayub sesungguhnya bukanlah tentang seorang alim yang sangat sabar, melainkan justru pembelajaran tentang betapa alam merupakan guru bagi manusia. Manusia harus belajar tentang kesabaran dan kasih sayang pada alam, serta memberi penghormatan karena alam merupakan ‘perwujudan/tajalli’ Tuhan. Sayangnya, menurut mbah Armstrong, kisah Nabi Ayub sekarang jarang dimaknai demikian.
Agama-agama tua seperti Hindu, Buddha, Zen, Jainisme, Konfusianisme, semua mengajarkan keselarasan dengan alam. Sampai saat ini, para penganutnya masih memegang penghormatan pada alam dengan kuat lewat berbagai ritual. Mbah Armstrong menilai bahwa sikap mereka lebih seimbang sebagai manusia: saat logos diperlukan untuk memecahkan masalah sehari-hari, mereka mengadopsi ilmu Barat, tetapi untuk menjaga keutuhan, mereka tetap melaksanakan nilai-nilai agama tua. Ini adalah sebuah sikap yang baik demi masa depan bumi, dan juga membuat manusia lebih utuh dan jauh dari penyakit psikologis.
Bukan mbah Armstrong kalau ga menulis agak banyak soal Islam. Menurutnya, ajaran Islam memadukan agama tua yang menghormati alam, dengan agama yang mendorong manusia mengeksplorasi alam. Hal ini terlihat pada banyaknya ayat yang mengingatkan penganutnya untuk memperhatikan alam. Tak heran kalau generasi awal pemikir Islam adalah peneliti alam yang cemerlang dan penuh semangat. Ayat-ayat Tuhan tidak hanya tertulis di kitab suci, tapi juga di seluruh alam semesta. Menemukan wajahNya dimana-mana merupakan sikap takwa/mindfulness yang menjadi tujuan utama muslim. Dengan modal ini, muslim diharapkan menjadi pengelola dan pelindung alam (khalifah) yang adil dan penuh kasih sayang.
Di buku ini juga ada kisah mengenai kurban yang melibatkan penyembelihan binatang. Praktek ini adalah praktek umum di banyak agama. Namun, semua pengurbanan dulu dilaksanakan dengan kesadaran penuh bahwa yang utama adalah penyembelihan ego orang yang mempersembahkan kurban, dan kurban dilaksanakan setelah binatang kurban dan seluruh spesiesnya dimintakan pemaafan serta keikhlasannya. Penyembelihan dilaksanakan secepat mungkin agar binatang tidak berlama-lama menderita. Kata mbah Armstrong, dibandingkan prosesi kurban kuno, proses penjagalan binatang di rumah jagal modern jauh lebih mengerikan.
Demikianlah, buku ini ditulis dengan indah dan menggugah. Menyelamatkan alam bukan sesuatu yang bisa dilakukan tanpa mengubah kesadaran diri kita sendiri sebagai manusia yang terikat dengan lingkungan. Butuh lebih dari sekadar trend gerakan hijau untuk menyelamatkan bumi. Kita harus menengok ke dalam diri, merenungi akar eksistensi diri kita sendiri.
Mudah-mudahan belum terlambat.
-Ani-