Apakah kebenaran itu? Manusia selalu terobsesi untuk menemukan kebenaran, demi mengungkap pertanyaan utama: ‘Apakah realitas itu?’. Para ahli filsafat, sains, matematika, dan agama, semua berusaha menjawab pertanyaan mengenai realitas. Semua ingin mengetahui kebenaran tersembunyi yang melingkupi diri kita. Sebagian menganggap keberhasilan dalam mengungkap kebenaran adalah dengan mengetahui struktur dasar alam semesta. Sebagian lagi menganggap kunci kebenaran adalah dengan mengenal Tuhan. Tapi bagaimana jika ternyata, matematika bisa membuktikan bahwa kedua hal itu sama? Buku kecil ini menjabarkan argumen-argumen yang membuktikan bahwa kebenaran fisika, matematika, agama, bahkan seni, terbangun dari unsur-unsur yang sama. Wow, benarkah?
The Universe and The Teacup: The Matematics of Truth and Beauty
K.C. Cole
Penerbit: Harvest Book, 1997
Tebal: 214 halaman
K.C. Cole adalah seorang jurnalis yang awalnya banyak menulis mengenai politik dan pergerakan wanita, sesuai dengan bidang ilmu komunikasi politik yang dia pelajari. Sampai suatu ketika dia berkenalan dengan Frank Oppenheimer (Adik dari pencipta bom atom, J. Robert Oppenheimer). Cole banyak belajar sains dari Oppenheimer, sampai akhirnya dia teedorong untuk belajar sains secara otodidak. Cole lalu banyak menulis tentang sains, sehingga menerima beberapa penghargaan sebagai penulis yang mampu mengkomunikasikan sains pada orang awam.
Argumen-argumen dari Buku The Universe and The Teacup berawal dari premis bahwa kebenaran itu bersifat kuantitatif (bisa diukur dengan angka), tidak hanya bersifat kualitatif (hanya bisa dirasakan). Cole menegaskan hal ini karena, dalam upaya memahami alam semesta, ditemukan bahwa seluruh fenomena alam dapat diterjemahkan pada angka-angka lewat rumus matematika. Hukum Relativitas Einstein menemukan hubungan antara energi dengan massa. Mekanika kuantum bisa dihitung lewat probabilitas, statistik. Keindahan yang manusia rasakan di alam sebenarnya adalah angka-angka yang tersusun dalam skala dan proporsi (Golden Ratio), lalu manusia menirunya dalam lukisan, patung, dan arsitektur. Bahkan musik pun sebenarnya angka-angka, karena nada yang kita dengar indah adalah hasil dari frekuensi yang berskala. Tanpa proporsi yang tepat, manusia tidak akan menganggap sesuatu sebagai ‘indah’.
Dari hal ini disimpulkan bahwa hal-hal yang bersifat matematis seperti proporsi, skala, probabilitas, dan simetri, menentukan ‘rasa keindahan’ manusia. Maka, keindahan dan kebenaran adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Sesuatu yang benar pastilah indah dan elegan. Rumus-rumus fisika yang menjelaskan hal mendasar di alam semesta, selalu sederhana dan indah. Simpel, tidak panjang-panjang. Bahkan diperkirakan bahwa rumus yang bisa menjelaskan hubungan antar empat gaya dasar yang membentuk seluruh alam semesta, tidak akan lebih panjang daripada setengah lembar A4. Bayangkan, cukup setengah lembar untuk menjelaskan segala hal yang menjadi dasar seluruh fenomena alam!
Namun, dalam upaya mengungkapkan kebenaran yang indah, ada banyak rintangan. Pertama-tama, pikiran manusia sebenarnya tidak sepenuhnya bisa memahami kekuatan angka, terutama yang beroperasi di luar skala manusiawi. Manusia tidak bisa memahami seberapa luasnya alam semesta (dan konsep bilangan tak terhingga), tidak bisa merasakan perubahan kecil yang akan meningkat secara eksponensial (karena itu peringatan pemanasan global seringkali diabaikan, karena ancamannya dianggap ‘belum signifikan’). Sebaliknya, karena mudah percaya pada angka, manusia juga mudah ditipu oleh statistik, karena tidak membandingkannya secara proporsional dalam konteks yang tepat. Cole juga mengkritik ‘kebenaran menurut sains’, yang sebenarnya lebih sering merupakan hasil kesepakatan (lewat peer review, popularitas peneliti, isu yang disukai publik), sedangkan penelitian yang benar-benar penting bisa tergusur tanpa diperhatikan oleh siapapun. Banyak pula kesimpulan sains yang ‘benar dan populer’ sebenarnya merupakan hasil penyederhanaan berlebihan dari proses sebenarnya. Misanya penggunaan tes DNA dalam kasus kriminal untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya. Sebenarnya hasil dari tes DNA selalu berupa probabilitas, kemungkinan yang tidak akan mencapai 100 persen. Tapi publik seringkali mengabaikan probabilitas sehingga menjatuhkan penilaian 100 persen bersalah pada tertuduh yang belum tentu salah.
Baiklah, sekarang bagaimana angka dan matematika bisa menjadi ukuran kebenaran dalam prinsip moral dan agama? Cole memberi contoh mengenai Golden Rule: ‘Jangan lakukan pada orang lain hal yang tidak ingin orang lain lakukan padamu.’ menurut Cole, hukum moral ini menyimpan aturan matematis yaitu simetri. Simetri kebaikan yang timbal balik. Karena itulah Golden Rule itu menuntun manusia pada keindahan moral. Selain itu, semangat saling bekerja sama dan saling menghormati, secara matematis telah terbukti memberikan hasil paling baik pada simulasi-simulasi situasi sosial. Cole menyatakan, bukan survival of the fittest yang membuat manusia dan semua mahluk hidup bisa berjaya. Melainkan kerjasama erat demi kebaikan bersama. Seperti yang ditulis oleh Yuval Noah Harari di buku Sapiens, kelebihan Sapiens dari mahluk lain adalah kemampuannya untuk bekerja sama, dibantu oleh kemampuan bahasa dan pembentukan mitos bersama. Dengan bekerja sama, Sapiens yang secara individu jauh lebih lemah dari binatang predator, bisa mendominasi kehidupan di bumi.
Lalu, bagaimana kita bisa memahami Tuhan secara matematis? Cole bercerita tentang ruang dan dimensi, lewat perumpamaan bayangan tubuh kita di tanah. Tubuh kita hidup di dimensi 3, sedangkan bayangan jatuh di dimensi 2. Kalau ada mahluk dimensi 2 melihat bayangan kita, tentu dia bingung kenapa bayangan itu berubah-ubah bentuknya, bergerak kesana kemari tanpa sebab. Mahluk 2D akan mengira bayangan kita saat pagi (panjang) dan bayangan kita di siang hari (pendek) adalah dua benda yang berbeda. Mahluk 2D lebih bingung lagi kenapa bayangan lenyap di malam hari dan muncul lagi paginya. Dia tidak bisa memahami ada tubuh 3D yang menyebabkan timbulnya bayangan, dan apa hubungannya bayangan dengan sinar matahari. Dia tidak memahami bahwa ada hubungan simetri antara tiga hal tersebut.
Menurut Cole, alam semesta dipenuhi dengan simetri seperti ini, tapi kita tidak bisa memahami hubungannya karena kita hidup di dimensi rendah. Tapi, bahkan di dimensi kita hidup pun, simetri sudah memberi petunjuk bahwa ada sesuatu yang saling berhubungan dengan erat, sebuah penjelasan sederhana, indah, dan elegan, untuk menjelaskan segala fenomena.
Sebagian orang menyatakan bahwa itu adalah matematika, sebagian lagi percaya bahwa itu Tuhan.
Seru ya? Benar-benar buku kecil yang menggetarkan. Selamat membaca!
-Ani-