Conflicted: How Productive Disagreements Lead to Better Outcomes
Ian Leslie
Harper Business (2021)
286 hal
Saya jarang baca buku psikologi, tapi tertarik pinjem buku ini setelah ‘menonton’ perdebatan antar netizen yang nggak jelas juntrungannya. Kasihan waktunya sia-sia. Padahal, konflik bisa bermanfaat dan produktif jika dilakukan dengan cara tertentu, begitu argumen buku ini.
Ian Leslie adalah jurnalis Inggris yang banyak menulis tentang psikologi dan perilaku manusia, dan sudah menelurkan 3 buku : Born Liars, Curious, dan Conflicted.
Tidak sekadar cuap-cuap penulisnya, buku ini mengangkat studi dan riset akademik bidang psikologi dan neurosains, observasi langsung dan analisa training para profesional yang sering berhadapan dengan konflik seperti kepolisian, FBI, badan anti terorisme, diplomat, negosiator, psikiater, psikolog konsultan rumah tangga, dan konsultan korporasi.
Mengapa manusia cenderung menghindari konflik? Karena perselisihan pendapat, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan yang dipegang kuat, memicu area otak yang sama dengan yang bereaksi terhadap ancaman. Konflik membuat kita merasa terancam.
Dalam antropologi terdapat dua macam budaya komunikasi : tinggi konteks dan rendah konteks. Komunikasi tinggi konteks banyak diterapkan di Asia dan sudah menjadi tradisi, di mana komunikasi dilakukan secara tersirat, tidak langsung, dan ‘tahu sama tahu’. Kesopanan dan formalitas dianggap penting. Budaya barat cenderung rendah konteks, karenanya komunikasi disampaikan secara eksplisit, lugas, dan kadang konfrontasional. Era internet memperkuat budaya komunikasi rendah konteks karena kita kehilangan akses ke makna tersembunyi di balik yang tertulis. Emoji hanya sedikit membantu. Karena itu kita sering berselisih di internet karena salah paham.
Apalagi, orang lebih termotivasi untuk berkomentar kalau tidak setuju, bukan? Pantas saja netizen berantem melulu.
Konflik bermanfaat untuk mengekspos adanya masalah, sehingga pihak yang berselisih bisa berubah (ke arah lebih baik). Jika dilakukan dengan baik, bahkan bisa mendorong inovasi dan ide-ide baru.
Ketika kita menganggap konflik sebagai ancaman personal, pikiran rasional kita terganggu, jadi nggak bisa mikir! Akibatnya malah kita jadi semakin keras kepala, dan cuma mau menerima informasi yang memperkuat pendapat sendiri. Membuktikan pendapat kita benar (bahkan ketika sebenarnya kita salah) jadi lebih penting dari mencari kebenaran itu sendiri. Dan hal ini juga terjadi pada orang-orang yang level kecerdasannya tinggi. Bahkan, yang pintar malah lebih jago membuat argumen yang membenarkan posisinya.
Jadi bagaimana sih adab berselisih yang bermanfaat? Leslie menyebutkan serangkaian aturan dan perangkat untuk diterapkan dalam menghadapi konflik. Tapi menurut saya semua bisa ditarik menjadi sebagai berikut:
1. Mulai dengan niat baik, untuk belajar, untuk mencari jawaban, untuk mencapai tujuan bersama.
2. Saling menghargai. Mendengarkan lawan bicara adalah bentuk penghargaan. Di balik layar komputer itu ada manusianya, dan dia juga ingin diperlakukan seperti kita ingin diperlakukan. Golden rule.
3. Tidak memaksa. Sifat manusia, kalau dipaksa malah makin keras, tidak mau berubah. Beri pilihan dan ruang untuk berpikir bersama-sama.
4. Kalau berbuat salah, minta maaf. Meminta maaf tidak berarti lemah, malah dalam situasi tertentu bisa memperkuat posisi dan membawa progres dalam konflik.
5. Tidak menghakimi dan tidak menghina, karena hal ini malah membuat lawan bicara semakin keras melawan.
6. Jangan kabur ngomel di belakang 😅
Di buku ini ada contoh bagus sekali, ketika white supremacists Afrikaners di Afrika Selatan berdemo karena tidak suka negaranya ‘diambil alih’ oleh kulit hitam, bahkan ingin membunuh Nelson Mandela. Waktu itu Mandela memimpin partai ANC sudah bergabung di pemerintahan koalisi, jadi sebetulnya bisa saja menghukum tokoh Afrikaners, Jendral Viljoen. Tapi dia tidak melakukannya. Dia malah mengundang Viljoen berdialog di rumahnya, menerimanya dengan ramah dan menyajikan teh sendiri.
Viljoen bisa menangkap kerendahan hati dan ketulusan Mandela dalam sikapnya, dan dialog tersebut membuahkan hasil: Jendral Viljoen memerintahkan para pendemo untuk tidak mengganggu pemilu, dan bahkan mendorong mereka ikut serta dalam demokrasi.
Cara Mandela menghadapi konflik telah memadamkan api perlawanan Viljoen. Memang pantas dapat Nobel Perdamaian.
Mudah-mudahan mulai sekarang kita bisa berdebat dengan lebih baik. Saling panggil nama jelek itu nggak ada gunanya deh.
Foto 2: Paul Graham’s hierarchy of disagreement. Manggil nama jelek itu level terendah lho.