The Universe In A Single Atom: The Convergence of Science and Spirituality
Dalai Lama
Harmony Books (2005)
216 hal
Kalau waktu baca buku Quantum Enigma saya mikir “Ini buku fisika yang ditulis fisikawan tapi isinya ‘nyufi’ sekali”, maka baca buku ini kesan saya mirip tapi terbalik, “Ini buku ditulis agamawan tapi isinya ilmiah sekali!” Di dalamnya membahas fisika kuantum, kosmologi, biologi, dan masing-masingnya dibahas mendalam dan akurat, bukan selintas atau cocoklogi.
Ternyata Dalai Lama (ke-14) memang punya ketertarikan besar akan sains modern, dan aktif menimba ilmu dari para pakar di bidangnya masing-masing. Ia bersahabat dan berdialog langsung dengan banyak ilmuwan dan filsuf, seperti fisikawan David Bohm dan Carl von Weizsäcker, filsuf Karl Popper, pakar genetik Eric Lander, dll. Bukan hanya itu, sejak 1987 setiap 2 atau 3 tahun di pengasingannya di Dharamsala diadakan dialog bersama ilmuwan di berbagai bidang.
Ia menganggap mereka ‘guru-gurunya’.
Ketertarikannya pada sains dimulai saat anak-anak, ketika ia mulai menjalankan kehidupannya sebagai Dalai Lama ke 14. Pengetahuannya tentang sains terbatas dari naskah-naskah yang dipelajarinya, karena Tibet waktu itu terisolir dari kemajuan sains dunia luar. Tetapi sedikit-sedikit tahu dari buku-buku dan benda-benda peninggalan Dalai Lama 13 seperti teleskop, jam saku, dan 2 buah mobil (yang tidak bisa dipakai karena tidak ada infrastrukturnya di Tibet). Ia senang ngoprek, bongkar pasang jam (bahkan jadi ahli reparasi jam untuk orang-orang terdekatnya), dan senang memperhatikan tukang reparasi mobil.
Pengetahuannya tentang dunia luar juga dibantu oleh tutornya, Heinrich Harrer (digambarkan dalam film Seven Years in Tibet).
Ketika ia terusir dari Tibet dan tinggal di pengasingan di Dharamsala, India, di sanalah akses ke sains mulai terbuka lebar. Ketertarikannya pada sains bergeser dari rasa ingin tahu menjadi rasa tanggung jawab yang mendesak untuk ikut terlibat. Alasannya karena dalam Buddhisme tujuan spiritual utama adalah menumbuhkan kasih sayang bagi seluruh makhluk dan bekerja sebaik-baiknya untuk kebaikan semua, dan ia melihat kemajuan sains ini meskipun banyak membawa kebaikan, tetapi seringkali juga memunculkan keburukan (senjata, bom atom, eugenics, dll). Ia ingin terlibat dalam kemajuan sains dan menggunakan pengetahuannya sebaik-baiknya untuk kebaikan seluruh alam.
Menurutnya, meskipun Buddhism telah berkembang menjadi agama, dengan kitab suci dan ritual-ritual, namun sebenarnya dalam Buddhism otoritas kitab suci tidak boleh melebihi pemahaman melalui akal dan pengalaman. Bahkan Buddha sendiri menasihati pengikutnya untuk tidak begitu saja menerima ajarannya hanya karena “Buddha said so”, melainkan harus diuji secara teliti dan menyeluruh (seperti metoda ilmiah). Berdasarkan prinsip ini, menurutnya, jika hasil temuan sains bertentangan dengan kitab, itu berarti ‘teori’ dalam kitab sudah usang, dan kita selayaknya memperbaruinya dan menerima temuan sains terkini. Misalnya teori ‘atom’ dalam naskah dari Vaibhasika (abad 2 SM) atau Vasubandhu (abad 4M) perlu diperbarui dengan teori atom terkini. Atau tentang ‘flat earth’ dalam sistem kosmologi Abhidharma.
Karenanya sekarang pendidikan biksu di Tibet memasukkan sains modern sebagai bagian dari kurikulumnya. (Perlu dicatat bahwa Tibetan Buddhism adalah mazhab Buddhism tersendiri)
Topik sains yang menjadi fokus di buku ini adalah fisika kuantum, big bang, evolusi, rekayasa genetik, dan neurosains (dalam hubungannya dengan kesadaran).
Bab “Emptiness, Relativity, and Quantum Physics” membahas relativitas Einstein, fisika kuantum, dan paralelnya dengan konsep kekosongan, di mana materi tidak memiliki eksistensi individu (:kosong) melainkan menyatu tidak terpisah-pisah.
Bab “The Big Bang and The Buddhist Beginningless Universe” mengeksplorasi perkembangan teori kelahiran alam semesta dalam kosmologi modern, dan konsep semesta Buddhis.
Bab “Evolution, Karma, and The World of Sentience” membahas teori evolusi, keselarasan dan ketidakselarasannya dengan konsep karma dan kemunculan hidup dan kesadaran dalam Buddhis.
Bab-bab terakhir membahas secara mendalam tentang kesadaran, bagaimana sains modern sampai saat ini masih belum bisa menjawab pertanyaan ‘apa itu consciousness’ yang mungkin terjadi karena metoda ilmiah tidak memasukkan pengalaman personal, yang justru adalah hal utama dalam urusan consciousness. Karenanya Dalai Lama menawarkan “Mungkin ilmuwan perlu cara baru meneliti consciousness, tidak sebagai ‘orang luar’ melainkan sebagai ‘orang dalam’, melalui meditasi dengan standar yang ketat (rigorous).”
Terakhir Dalai Lama berpesan supaya sains dan spiritualisme lebih banyak berdialog dan bekerja sama, karena keduanya memiliki tujuan intrinsik, untuk kemajuan dan kebaikan. Etika dalam ilmu harus sangat diperhatikan agar tidak merusak dan menyakiti.
Buku ini bagus sekali, contoh yang bagus dialog produktif antara sains dan agama (alih-alih debat saling menjatuhkan), dan sangat layak dibaca untuk yang tertarik dengan topik sains dan spiritualitas, Buddhisme, dan filsafat secara umum.
Cocok dibaca di akhir tahun, buat kontemplasi.