BELAJAR MENEMPATKAN PADA KONTEKSNYA
Saya tertarik baca buku ini sejak disebut-sebut oleh Randy Olson di buku Houston, We Have A Narrative(*) sebagai buku bertopik sains dengan storytelling yang menarik.
Buku ini juga yang menginspirasi Jennifer Doudna untuk menjadi ilmuwan kimia (baca The Code Breaker)(**).
The Double Helix
James D. Watson
Scribner Classics (2011 edition)
159 hal
James Watson bersama Francis Crick adalah dua ilmuwan penemu struktur DNA double helix, yang membawa mereka dianugerahi Hadiah Nobel bidang Fisiologi/Kedokteran tahun 1962.
Buku yang pertama diterbitkan tahun 1968 ini mengisahkan prosesnya, subjektif dari sudut pandang Watson, mulai dari pertemuannya dengan Francis Crick yang nyentrik, ketertarikannya meneliti DNA (alih-alih studinya sendiri tentang virus), proses berpikir mereka dalam menyelidiki struktur DNA, persaingan akademik dan ‘balapan’ menemukan struktur DNA ‘melawan’ Linus Pauling, dijalin dengan cerita-cerita pribadi secara apa adanya tanpa ditutup-tutupi. Masuk kategori memoar mungkin ya.
Meskipun saya nggak ngerti 50% isi buku ini karena penuh dengan istilah kimia, tapi saya bisa menangkap ceritanya. Betul kata Randy Olson, Watson pintar bercerita. Banyak dramanya, banyak suspensenya, kadang lucu, kadang ngeselin, tapi sangat manusiawi. Ilmuwan juga manusia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Buku ini memang bercerita tentang proses penemuan struktur DNA double helix, tapi menurut saya buku ini juga mengandung pelajaran bagus tentang sikap judgmental, bias, dan yang paling penting adalah tentang KONTEKS.
Seperti diketahui, banyak yang menuduh Watson seksis dan misoginis dari tulisannya ini, apalagi pandangannya terhadap Rosalind Franklin (yang di buku ini dia sebut Rosy, yang ‘judes’ dan ‘sebenarnya bisa lebih menarik kalau dia pakai lipstik merah’).
Di awal buku Watson sudah menekankan bahwa buku ini ditulis berdasarkan sudut pandang dia pribadi pada saat itu, sebagai seorang pemuda graduate student usia awal 20an di tahun 50an. Dengan menempatkan pada konteks ini, bisa dimengerti kalau di dalamnya banyak cerita tentang ‘pretty girls’ (anak muda 20an, sering berpikir tentang lawan jenis dengan penilaian subjektif, sangat normal). Apalagi mengingat masa itu memang sistem sosial Eropa dan Amerika masih sangat mengutamakan laki-laki. Tentu saja ceritanya bias.
Jadi saya pikir nggak adil juga kalau Watson dituduh seksis tanpa menempatkannya dalam konteks itu (atau Richard Feynman, Einstein, dll yang juga pernah dituduh serupa). Itu sama nggak adilnya dengan tuduhan ‘Nabi Muhammad gila perempuan dan pedofil’ tanpa mempertimbangkan konteks sosial kultural Arabia abad 7M.
Ya sih, saya pikir memang Watson ini tipe ilmuwan yang tidak ‘politically correct’, suka komentar sembarangan apa saja yang ada di pikirannya, menjuluki orang lain dengan nama jelek misalnya. Jaman sekarang mungkin bisa dibandingkan dengan Elon Musk? Lihat saja twitternya, kan? Atau cek timeline sendiri deh…hehe. Apakah kita sendiri imun dari komentar2 judgmental seperti itu?
Bukan berarti saya ok dengan sikap Watson, tapi kalau ditempatkan di konteksnya, tulisannya di buku ini bisa dipahami. Dan kalau menurut kita itu bukan sikap yang baik, jangan diikuti ya.
Lagipula, di akhir buku Watson menulis bahwa pandangannya terhadap Rosalind dulu itu ternyata salah (ya, dia mengaku salah. “My initial impressions of her…were often wrong”) dan menyebutkan bahwa Rosalind adalah perempuan brilyan yang terpaksa bersikap keras karena bekerja di dunia sains yang jaman itu dikuasai laki-laki. Pasca penemuan double helix hubungan mereka (Watson, Crick) dengan Rosalind juga membaik dan tetap bekerjasama dalam sains.
Lucunya, E.O.Wilson yang bukunya “Half-Earth” saya baca barengan sama buku ini (baca reviewnya di postingan sebelumnya ya) juga pernah mengatakan kalau Watson adalah “the most unpleasant human being I had ever met”, tapi bertahun-tahun kemudian dia bilang kalau mereka berteman dan perseteruan itu hanya ‘masa lalu’.
Membaca sendiri buku ini dan membandingkannya dengan apa yang pernah saya baca tentang Watson, menjadi pelajaran bagi saya untuk jangan gampang reaktif dan “Jangan ikut-ikutan anti kalau belum baca sendiri” (jadi inget buku Satanic Verses-nya Salman Rushdie), juga tentang dinamika manusia dan relasinya dengan orang lain, dan bagaimana kita tidak bisa menghakimi seseorang dari satu statement, kejadian, atau episode dalam hidupnya, karena hidup itu penuh dengan konteks, tidak hitam putih.
(*) Houston, We Have A Narrative
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/146309097767990
(**) The Code Breaker
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/113561264376107