Cart

Your Cart Is Empty

The Age of A.I and Our Human Future

The Age of A.I and Our Human Future

image

Author

Ani

Published

Oktober 15, 2023

Seiring teknologi artificial intelligence yang semakin maju dan canggih, bagaimana dampaknya terhadap kehidupan umat manusia, dan apa yang seharusnya kita lakukan?
Buku ini mencoba mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini.

Henry Kissinger adalah mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat jaman presiden Nixon.
Awalnya heran juga, kok bisa menulis buku tentang A.I? Ternyata di awal buku diceritakan bahwa 5 tahun sebelumnya beliau ini diminta berbicara dalam suatu konferensi tentang A.I. Tadinya beliau menolak ikut, karena di luar area of expertise. Tapi setelah berdiskusi dengan “one of the authors” (saya menduga Daniel Huttenlocher), bahwa di masa depan A.I akan merambah segala penjuru kehidupan, Kissinger ikut dalam konferensi tsb.

Buku ini merupakan pengembangan dari diskusi mereka ini, bersama dengan Eric Schmidt (Google/Alphabet).
Hasilnya adalah buku yang agak unik, membahas bagaimana dampak A.I dari sudut pandang keamanan nasional (Kissinger), akademisi (Huttenlocher, profesor computer science MIT), dan pebisnis/industri (Schmidt). Bahkan tanpa disebutkan ‘bab ini ditulis si A/B/C’ bisa ketahuan siapa penulisnya karena topik dan gaya tulisannya beda banget.

Terdiri dari 7 bab
1.Where We Are
berisi tentang perkembangan teknologi A.I sampai saat buku ditulis. Salah satunya cerita ttg AlphaZero kemarin itu, juga tentang GPT-3, A.I yang bisa menghasilkan teks.
2.How We Got Here: Technology and Human Thought
memaparkan sejarah manusia memformulasikan pemikiran, dan bagaimana saat ini A.I muncul dengan kemampuan yang di satu aspek bisa menggantikan manusia.
3.From Turing to Today and Beyond
berisi sejarah computer science
4.Global Network Platforms
menceritakan tantangan-tantangan global network platform seperti Google dan Facebook yang harus tarik menarik antara kepentingan bisnis dengan dampak sosial politik.
5.Security and World Order
membahas tentang hubungan luar negeri, keamanan nasional/internasional, senjata nuklir, dan apa yang harus dipikirkan dalam menghadapi penerapan A.I dalam militer.
6.A.I and Human Identity
mempertanyakan dampak perkembangan A.I yang semakin canggih terhadap identitas kita sebagai manusia.
7.A.I and the Future
berisi rangkuman dari semua yang sudah dibahas di bab-bab sebelumnya, dan menyimpulkan bahwa semua yang berkepentingan perlu berembuk dan sama-sama memikirkan etika, regulasi, dan adaptasi terhadap teknologi A.I yang hanya akan semakin canggih di masa depan.

Catatan: kalau mencari buku yang membahas perkembangan teknologi A.Inya sendiri, ini bukan buku yang tepat. Dan menurut saya, dengan tema yang sama, lebih baik (dan menarik) baca buku Life 3.O dari Max Tegmark.

(Tambahan review buku The Age of A.I bab “A.I and Human Identity”)

Sepanjang sejarah, manusia dipahami sebagai makhluk yang level intelegensinya lebih superior dibandingkan makhluk lainnya. Dari intelegensi superior inilah muncul produk-produk budaya dan pemikiran (termasuk komputer dan A.I) yang selanjutnya memajukan kemanusiaan sampai seperti sekarang ini.

Saat ini A.I (yang sebetulnya adalah produk pemikiran manusia) dengan proses deep learningnya menjadi ‘the other intelligence’ yang membuahkan hasil yang setara atau kadang lebih tinggi (dan lebih cepat!) dari daya pikir manusia.

A.I mampu mengalahkan manusia dalam permainan catur, dengan langkah-langkah orisinal yang belum pernah terpikirkan sebelumnya (AlphaZero).
A.I mampu menghasilkan temuan sains yang penting di bidang mikrobiologi (halicin).
A.I tipe generator bisa ‘berkreasi’ menghasilkan dokumen teks (GPT3) atau gambar digital (Dall-E).
A.I pada perkembangannya akan mampu melakukan hal-hal yang tadinya hanya bisa dilakukan oleh para (manusia) profesional. Sopir, pilot, astronot, dokter, dan entah apa lagi. Bahkan, A.I diprogram untuk selalu mampu belajar dan menjadi lebih baik, tanpa mengenal kemalasan seperti manusia (ouch!).

Selama ini ada dua hal yang menjadi prinsip panduan manusia memahami realitas: iman dan akal. A.I, dengan kemampuannya mengungkap fakta-fakta baru yang tidak terpikir sebelumnya oleh manusia, menjadi yang ketiga.

Lalu apa arti ‘menjadi manusia’ di era seperti ini? Manusia akan mengalami krisis identitas.

Pada akhirnya manusia akan harus beradaptasi. Tetapi adaptasi ini apakah akan membawa kebaikan atau sebaliknya?

Saat ini saja dengan adanya information overload dari Internet, medsos, kemampuan manusia untuk berpikir fokus dan mendalam sudah berkurang (..aduh jadi kesindir). Apalagi di era ketika berbagai hal diatur dan dipilihkan oleh A.I.

Hal lain, kerja A.I yang berusaha mengoptimalkan user experience berdasarkan preferensi, makin lama akan mempertajam perbedaan antara satu individu dengan lainnya. Ibaratnya, A.I membangun dinding echo chamber yang tebal antar individu berdasarkan preferensi masing-masing.

Karenanya, menurut Huttenlocher, sebelum semua itu terjadi, semua yang berkepentingan (pemimpin, filsuf, ilmuwan, budayawan, dll) perlu berdialog memetakan jalan, sebatas mana dan seberapa jauh peran A.I dalam kehidupan manusia. Aspek mana yang tetap diserahkan kepada manusia, dan mana yang berupa kolaborasi atau malah diambil alih A.I sekalian.

“The A.I. revolution will occur more quickly than most humans expect. Unless we develop new concepts to explain, interpret, and organize its consequent transformation, we will be unprepared to navigate it or its implications.”

Join Us

Book

O Latte

Follow IG untuk membaca review kami

Join Us on Spotify

Our Location

My Place

The place I like the most

Get Direction