Bagaimana sih cara menulis review buku yang baik? Sering sekali saya melihat pertanyaan ini di akun-akun bookstagram. Sejujurnya ini pertanyaan saya juga sebelum mulai menulis review di akun bookolatte, tapi memang nggak pernah nemu buku yang khusus membahas tentang cara mereview buku. Akhirnya saya belajar dari bagaimana para ‘professional book reviewers’ melakukannya, dengan membaca kolom book review di New York Times, misalnya. Selain itu panduan saya adalah buku-buku cara menulis esai. Sisanya dikira-kira sendiri.
Nah, kebetulan nemu buku ini waktu browsing ebay. Ternyata ada juga buku yang membahas khusus tentang cara mereview buku! Dan kata penulisnya, mereka menulis buku ini karena alasan yang sama: nggak ada buku yg khusus membahas topik ini.
Benarlah kata Toni Morrison, “If there’s a book that you want to read, but it hasn’t been written yet, then you must write it.”
The Slippery Art of Book Reviewing
Mayra Calvani & Anne K.Edwards
Twilight Times Books (2008)
190 hal
Mayra Calvani dan Anne K Edwards adalah penulis buku (rata-rata fiksi), jurnalis, professional book reviewer, dan bersama-sama mengasuh majalah online buku-buku misteri.
Buku ini diterbitkan tahun 2008 ketika medsos seperti Facebook masih ‘bayi’, Goodreads baru lahir, dan Instagram masih di awang-awang. Jadi pada masa itu memang urusan review buku hanya di media-media khusus (suratkabar, jurnal), situs khusus review buku, situs literatur, selain juga majalah online dan blog pribadi. (Helloooo sesama old-time bloggers, masih inget jaman itu? Hehehe).
Bagi para pereview buku profesional yang ingin tulisannya diterbitkan di media-media khusus, ada etika menulis review yang harus diikuti, yang membedakannya dari review yang ditulis oleh amatiran. Apa misalnya? Di antaranya adalah mengikuti struktur yang baik, dengan bahasa yang tertata grammar, syntax, ejaan dan tanda bacanya.
Menurut buku ini, untuk menjadi pereview buku yang baik, ada beberapa hal yang harus dikuasai yaitu:
1. kaidah bahasa yang baik (command of language)
2. dapat mengekspresikan pemikirannya dengan jelas (clarity of thought)
3. kejujuran
4. objektivitas
5. bijak menyampaikan pemikirannya (tact)
Poin 1 dan 2 berkaitan dengan cara menulis narasi deskriptif yang baik secara umum. Sementara poin lainnya berkaitan dengan etika menulis review.
Kejujuran dan objektivitas dalam mereview buku penting, karena banyak yang bergantung pada review yang jujur. “An overly positive review about a poorly-written book is a cheat…it misinforms the reader.”
Membeli buku (apalagi misalnya perpustakaan yang membeli buku dalam jumlah besar) membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bayangkan sudah mengeluarkan biaya besar untuk membeli buku, eh ternyata isinya tidak seperti yang disebut di review karena pereviewnya tidak jujur dan objektif.
Hal ini bisa terjadi karena misalnya, buku yang direview itu karya teman/saudara (atau malah musuh/rival) sehingga bias-bias pribadi membuat reviewnya positif berlebihan (This is the best book I’ve ever read!) atau sebaliknya, negatif berlebihan (This is the worst book I’ve ever read!!). Bias politik/relijius dll juga sebaiknya tidak sampai mempengaruhi review. Jika merasa tidak bisa menjaga kejujuran dan objektivitas, “Lebih baik jangan mereview buku yang bersangkutan,” saran mereka.
Menurut Calvani & Edwards, review yang tidak jujur dan objektif akan merusak reputasi penulis reviewnya sendiri. Pembaca dan calon pembeli buku tidak akan mempercayainya lagi.
Tidak semua buku layak mendapat review positif. Bagaimanapun juga, memang ada buku-buku yang tidak ditulis atau diedit dengan baik, atau penulisnya belum menguasai teknik penulisan yang baik.
“The ultimate aim of a review is to recommend or not to recommend the book,” tulis mereka. Bukankah kita tidak adil kepada calon pembaca dan pembeli buku jika mereview positif buku yang tidak layak mendapatkannya? Sebuah review negatif juga bisa menjadi masukan bagi penulis bukunya agar bisa memperbaiki diri. Yang penting meskipun reviewnya negatif, tetaplah ditulis dengan kata-kata yang baik.
Untuk menulis review yang cerdas berkualitas, Calvani & Edwards menyarankan sebaiknya penulis belajar “membaca kritis” (silakan baca postingan saya bulan Oktober 2022 tentang membaca dan menulis kritis). Untuk mereview buku fiksi, perhatikan poin-poin berikut ini:
– plot
– narasi yang digunakan
– alur cerita (apakah mengalir atau tersendat?)
– kecepatannya (lambat dan membosankan? cepat atau bahkan terlalu cepat?)
– penokohan (apakah terlalu stereotyping? apakah perilakunya realistik dan dapat dipercaya?)
– dialog (apakah natural atau terasa dipaksakan? apakah diulang-ulang dan membosankan?)
– deskripsi (apakah ‘too much telling’? terlalu banyak menggunakan kata-kata yang tidak perlu?)
– simbolisme dan alegori jika ada
– sudut pandang / POV (point of view)
– tema
– suasana atau atmosfir yang tertangkap dari cerita
– tata bahasa
Yang sangat penting diingat jika menulis review buku fiksi adalah : jangan pernah membocorkan akhir cerita dan/atau plot twist. Ini tidak adil bagi penulis, penerbit, dan calon pembaca bukunya.
Bedakan dengan rangkuman buku (biasanya tugas kelas bahasa di sekolah), yang memang harus menceritakan garis besar plot termasuk endingnya.
Mereview buku nonfiksi tidak dibahas terlalu banyak di buku ini (karena penulisnya memang lebih banyak mereview dan menulis buku fiksi), dan nonfiksi yang disebut-sebut juga lebih ke buku akademik. Saran mereka buku-buku seperti ini sebaiknya direview oleh mereka yang paham bidang ilmu yang dibahas di buku nonfiksi tersebut.
“Reviewers shouldn’t review nonfiction books about subjects they don’t understand (because) not being familiar with a subject leads to weak evaluations and (the reviews) won’t be helpful to readers.”
Struktur penulisan review sendiri biasanya terbagi menjadi 3 bagian: paragraf pembuka yang menarik, ringkasan singkat cerita, dan evaluasi.
Ada bagian buku ini yang membahas sesuatu yang baru-baru ini ‘rame’ di bookstagram, yaitu tentang etika hubungan antara penulis review dengan penerbit yang minta bukunya direview. Kalau di buku ini sih, sepertinya penulis review amatiran ini memang yang meminta buku ke penerbit, dengan ‘bayaran’ review. Jadi memang ‘dibayar dengan buku’, dan pereview bertanggung jawab menulis review yang baik, jujur dan objektif.
Tapi yang terjadi sekarang ini sepertinya terbalik ya. Sekarang penerbit yang kirim buku ke influencer dengan harapan mendapat positif review. Well, karena saya bukan influencer jadi saya tidak terlalu mengikuti perkembangan persoalan ini. Saya harap berakhir dengan kesepakatan yang adil bagi semua pihak.
===
Karena sudah berlalu hampir 15 tahun dari sejak buku ini terbit, dan sudah berubah pula budaya perbukuan, penerbitan, dan Internet, banyak hal yang dibahas di buku ini saya pikir prakteknya sudah bergeser. Misalnya, sekarang review lebih banyak dilakukan oleh individu/amatiran di akun medsos masing-masing dengan tanpa aturan baku dan seringkali heavily biased menurut preferensi masing-masing. Review jadi lebih bergantung pada ‘perasaan’ penulis reviewnya, bukan penilaian objektif terhadap penulisan bukunya sendiri. Bahkan nggak jarang yang melakukan praktek ‘dibayar untuk ngasih review positif atau rating bagus’. Akhirnya jadi menang-menangan pengaruh saja.
Inilah kenapa saya nggak gampang tertarik sama label ‘best-seller’ atau sistem rating. Itu ‘cuma’ artinya banyak yang beli bukunya, entah karena promonya berhasil, viral trends, atau penulisnya punya banyak follower. Belum tentu bukunya sendiri bagus. (sorry!)
Menulis review buku memang ‘slippery art’. Teman-teman bisa mulai mencoba mempraktekkannya, nanti lama-lama akan terbiasa dan semakin mahir dan kritis menganalisa isi buku.
*Tips Menulis Review