Dari mana alam semesta kita berasal? Apa saja bahan penyusunnya dan kondisi apa saja yang harus ada untuk kemunculannya? Bisakah kita mengetahui ‘resep’ pembuatan alam semesta, lalu menciptakan alam semesta baru (Baby Universe) di laboratorium? Lalu, apa maknanya semua ini terhadap kepercayaan kita pada Tuhan Sang Pencipta?
A Big Bang in A Little Room: The Quest to Create New Universes
Zeeya Merali
Basic Books, New York, 2017
236 Halaman
Zeeya Merali adalah seorang PhD fisika teori dan kosmologi. Dia bekerja sebagai jurnalis dan banyak menulis buku tentang sains. Gaya menulisnya lucu dan menarik. Dia pandai membuat perumpamaan-perumpamaan sederhana untuk pembaca awam agar bisa memahami dunia kuantum serta kosmologi. Buku ini ditulis dengan gaya reportase, hasil wawancara dengan para fisikawan ulung yang terlibat dalam proyek ‘Baby Universe’. Buku ini sebenarnya lebih banyak berisi kisah tentang para fisikawan dengan segala sifatnya yang kadang aneh tapi sebenarnya sangat ramah. Pada setiap fisikawan, Merali nampaknya mengajukan pertanyaan yang sama: dengan tradisi agama apa dia dibesarkan, dan apa pengaruhnya bagi temuan-temuan fisika mereka yang seolah meniadakan peran Tuhan?
Buku ini jadi sangat menarik, karena kebanyakan buku sains populer tidak membahas pendapat fisikawan tentang agama dan Tuhan. Agama dan Tuhan dianggap tabu untuk dibicarakan di ranah fisika. Kondisinya terbalik dengan masyarakat kita yang tabu membicarakan keateisan. Di komunitas fisikawan, pengakuan pada Tuhan nyaris dianggap aib karena dicurigai akan membuat penilaian sang fisikawan menjadi bias.
Walaupun demikian, sebagian besar fisikawan yang terlibat dalam proyek ‘Baby Universe’ ternyata memiliki latar belakang religius yang cukup kuat. Lalu bagaimana mereka mengkompromikan kepercayaan pada Tuhan dengan fakta-fakta fisika? Tiap fisikawan memiliki strategi sendiri. Di bagian akhir kita akan kembali membahas hal ini. Sekarang, kita bahas dulu apa itu proyek ‘Baby Universe’ dan kenapa hal ini penting bagi para fisikawan.
Sebenarnya proyek ‘Baby Universe’ bukanlah sebuah proyek resmi seperti proyek Manhattan yang diinisiasi pemerintah AS untuk membuat bom atom pada Perang Dunia II. Proyek ‘Baby Universe’ muncul seiring dengan perkembangan ilmu fisika kuantum yang banyak mengungkap misteri atom, bahan dasar semesta kita. Fisikawan juga telah berhasil menyatukan tiga gaya utama yang bekerja pada atom pada satu persamaan: gaya elektromagnetik, gaya nuklir lemah, dan gaya nuklir kuat. Tinggal satu gaya yang belum berhasil disatukan: gaya gravitasi. Jika gaya gravitasi berhasil disatukan, maka kita akan punya satu rumus saja untuk menjelaskan segala hal yang terjadi di semesta. Inilah yang disebut Grand Unified Theory (GUT). Dalam upaya mencari GUT, para fisikawan juga memperkirakan mekanisme apa yang terjadi pada saat penciptaan semesta. Saat ini, teori Big Bang adalah teori yang paling populer. Namun teori ini tidak dapat menjelaskan beberapa hal dalam semesta kita yang terus mengembang ini. Misalnya, kenapa ada wilayah yang memiliki materi lebih banyak (sehingga memungkinkan terciptanya galaksi) dan ada yang nyaris kosong? Kenapa kecepatan pengembangan semesta mengalami perlambatan padahal tidak cukup banyak materi untuk memperlambatnya? Dan mengapa jika dilakukan simulasi komputer dengan ‘mengerutkan’ semesta untuk melacak proses Big Bang, ternyata pengerutan tidak mencapai titik singular, melainkan akan mengembang lagi sebelum benar-benar kompak?
Untuk menjelaskan misteri ini, fisikawan mengajukan banyak teori lain: teori cosmic bubble/cosmic foam yang melahirkan dugaan multiverse, teori supercooling yang tidak membutuhkan Big Bang, maupun dugaan adanya dimensi tersembunyi selain empat dimensi yang kita kenal. Semuanya dijelaskan satu demi satu. Tapi walaupun bahasa yang digunakan Merali cukup imajinatif, saya tetap kesulitan membayangkannya, hahaha. Karena itu saya akan mencoba bercerita dengan meminjam adegan film-film yang sudah pernah saya tonton:
1. Alam semesta ada di dalam bola mainan alien.
Di ending film Man in Black, digambarkan bahwa seluruh semesta kita ternyata berada di dalam sebuah bola kecil yang menjadi mainan alien. Ternyata, gambaran ini sesuai dengan perkiraan dan perhitungan fisikawan, bahwa ada kemungkinan kalau semesta kita sebenarnya ada di dalam Black Hole raksasa. Salah satu ciri Black Hole adalah luas sisi luar tidak sama dengan sisi dalamnya. Dari luar, Black Hole mungkin hanya sebesar bola tenis. Tapi begitu masuk ke dalam, amat sangat luas, bahkan bisa muat satu semesta! Fisikawan dapat menciptakan Black Hole di laboratorium. Masalahnya, ukurannya sangat sangat kecil dan langsung lenyap karena kurang energi. Jadi, kita masih belum dapat membuat Baby Universe sendiri.
2. Ant-Man memandu perjalanan waktu di film Endgame.
Diceritakan bahwa Ant-Man dapat melakukan perjalanan lintas waktu karena bisa mengubah ukuran dirinya menjadi sangat kecil. Fisikawan ternyata memang memperhitungkan bahwa jika ada worm-hole atau black hole yang cukup stabil di bumi, maka ukurannya sangat kecil sehingga kita tidak dapat masuk ke dalamnya. Kecuali jika kita punya teknologi Ant-Man, hehehe.
3. Intestellar: tak seorang pun tahu apa yang ada di dalam Black Hole.
Tapi walaupun kita punya teknologi Ant-Man, gravitasi di dalam Black Hole diperkirakan sangat besar sehingga kita akan langsung terentang jadi benang ketika masuk ke dalamnya. Karena itu, kita tidak bisa tahu secara detil mengenai isi Black Hole. Kita hanya bisa memperkirakan isinya lewat radiasi yang dipancarkan oleh tepiannya, seperti yang diusulkan oleh Stephen Hawking. Di dalam film Interstellar, astronot Cooper bertaruh nyawa untuk masuk ke dalam Black Hole, dan ternyata berhasil hidup untuk akhirnya memberitahu informasi penting mengenai transportasi antar galaksi. Ayo, siapa yang mau berkorban untuk masuk ke dalam Black Hole?
4. A glitch in the Matrix.
Anggaplah kita berhasil menciptakan Black Hole yang mengandung Baby Universe di dalamnya, bagaimana caranya kita berkomunikasi dengan mahluk hidup cerdas yang mungkin berevolusi di sana? Mungkin kita bisa ‘menanam’ pesan di Baby Universe, suatu angka konstanta anomali yang akan segera bisa ditemukan oleh mahluk cerdas sebagai tanda-tanda bagi keberadaan kita, penciptanya. Ini seperti di film Matrix, adanya sedikit glitch yang ‘merusak’ program umum. Alam semesta kita sendiri memiliki banyak sekali glitch seperti ini. Misalnya, munculnya angka-angka konstanta yang harus sangat tepat sebagai syarat terciptanya alam semesta yang nyaman (maksudnya, bisa menumbuhkan kita, si mahluk cerdas). Tanpa ketepatan angka-angka itu, semesta kita akan sangat lain bentuknya, dan kita tidak bisa hidup di dalamnya. Ini seperti nyamannya bumi di zona Goldilock: terlalu dekat dengan matahari kita akan terbakar, sedangkan terlalu jauh akan membeku. Inilah yang disebut Antrophic Principle, bahwa alam semesta tercipta seperti ini memang untuk memungkinkan manusia hidup dan berevolusi.
Antrophic Principle, adanya konstanta-konstanta yang ditemukan, serta prinsip ketidakpastian kuantum menjadi pegangan para fisikawan religius sehingga mereka tetap beriman pada adanya Tuhan. Sedangkan fisikawan ateis memilih untuk mencari jalan memutar, menghitung ulang, mencari teori baru yang bisa menjelaskan kondisi alam semesta tanpa harus memasukkan faktor Tuhan (proyek ini terus berjalan, fisikawan religius juga melakukan perhitungan yang sama). Pada akhirnya, hasil kerja mereka akan bermanfaat bagi kehidupan seluruh manusia. Contoh dari penerapan teknologi kuantum adalah adanya gadget yang kita pegang dan internet yang kita akses untuk membaca tulisan ini.
Iman atau tidak beriman, yang penting memberi manfaat besar bagi kemanusiaan. Indah kan?
Bacaan lain seputar kosmologi:
Dalai Lama: The Universe In A Single Atom
https://www.facebook.com/bookolatte/photos/a.113561254376108/142634068135493/
Bobby Azarian: The Romance of Reality
https://www.facebook.com/photo/?fbid=230580299349115&set=a.192317316508747
Amir D. Aczel: Why Science Does Not Disprove God
https://www.facebook.com/bookolatte/photos/a.113706154361618/124604179938482/