Nama Stephen Hawking sudah tidak asing di telinga banyak orang. Begitu mendengar namanya langsung terbayang seorang ilmuwan berkacamata yang tergolek di kursi roda, yang berbicara dengan dibantu mesin. Di balik kelemahan fisiknya, daya pikirnya yang tetap tajam dan brilyan terus digunakan untuk memecahkan misteri-misteri alam semesta.
Hawking menulis buku ini karena merasa pada saat itu (tahun 80an) di pasaran belum ada buku fisika populer yang membahas pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya mendalami kosmologi dan teori kuantum.
“Sains modern sudah begitu teknikal sehingga hanya segelintir saja yang mengerti matematika yang digunakan untuk menjelaskannya. Tetapi ide dasar tentang asal usul dan masa depan alam semesta bisa dibicarakan dengan bahasa sederhana sehingga orang awam pun bisa memahaminya. Ini yang saya coba lakukan melalui buku ini,” tulisnya.
Konon buku ini adalah buku ilmiah populer yang paling banyak dibaca orang tapi nggak selesai alias DNF (Did Not Finish). Saya juga hampir termasuk golongan itu hahaha. Dua tahun lalu saya mulai baca tapi cuma beberapa halaman. Kira-kira 2 minggu lalu saya baca ulang, dan kali ini selesai!
Ya, topik bukunya memang berat dan butuh extra effort untuk memahaminya, tapi sepadan dengan ilmu yang didapat. Superfood for your thought from one of the most brilliant physicists of our time.
A Brief History of Time: From The Big Bang to Black Holes
Stephen Hawking
Bantam Book (1988)
208 hal
Dari mana alam semesta berasal? Bagaimana dan mengapa semesta ini muncul? Apakah semesta akan terus ada atau ada ujungnya? Jika ada, bagaimana ia akan berakhir?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong Stephen Hawking berusaha menguak misteri semesta dengan terjun ke dunia fisika. Ia pun merasa beruntung mendalami fisika teori karena ‘hanya butuh pikiran’, sehingga kelemahan fisiknya tidak menghalangi usahanya.
Hawking membuka buku ini dengan bab Our Picture of the Universe yang bercerita tentang perjalanan bagaimana manusia sejak dulu berpikir tentang dunia yang ditinggalinya. Dari jaman Aristoteles ratusan tahun sebelum Masehi, argumentasi bahwa Bumi ini bulat sudah dikemukakan, meskipun pada saat itu Bumi masih dianggap sebagai pusat semesta dan semua benda langit mengelilinginya. Kemudian Ptolemy mengembangkan model kosmologi ini yang lalu dianut selama ribuan tahun hingga Copernicus mengutarakan model kosmologi di mana Bumi mengelilingi Matahari. Model ini dikonfirmasi Galileo satu abad kemudian, seiring ditemukannya teleskop.
Lalu di abad 17 Newton merumuskan hukum-hukum gerak objek dalam ruang dan waktu di alam. Ia juga mengemukakan teori gaya gravitasi, yang bekerja terhadap semua objek di semesta. Dari sini mulailah ilmuwan dan filsuf berpikir tentang bentuk semesta, yang tadinya dianggap sudah selalu ada dan statis. Kalau gaya gravitasi juga bekerja pada benda-benda langit, mereka akan saling tarik menarik, sehingga tentu saja mereka tidak diam, semesta tidak statis.
Kalau tidak diam lalu bagaimana? Apakah ada awalnya? Kalau ada awalnya, apakah ada akhirnya juga? Begitu kira-kira pertanyaan para ilmuwan dan filsuf. Dalam agama ada kisah penciptaan, namun tentu tidak semua menerimanya begitu saja. Wajar kan, manusia penuh dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan ingin dipuaskan dengan jawaban yang pasti. Hal inilah yang mendorong pencarian tanpa henti tentang apa dan bagaimana sebenarnya alam semesta ini.
“Humanity’s deepest desire for knowledge is justification enough for our continuing quest. And our goal is nothing less than a complete description of the universe we live in,” tulis Hawking.
Ilmu pengetahuan mengikuti hukum-hukum Newton selama ratusan tahun hingga awal abad 20, ketika Einstein mengajukan teori relativitas. Teori Einstein menghancurkan pemahaman bahwa waktu adalah absolut. Ia juga menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidaklah terpisah, melainkan menyatu dalam sebuah struktur ruang-waktu. Struktur ruang-waktu ini pun tidak datar, melainkan berlengkung-lengkung mengikuti distribusi massa dan energi di dalamnya. Kebayang nggak sih guncangnya pemahaman fisika pada saat itu dengan munculnya teori relativitas?
Abad 20 merupakan abad yang sangat seru dalam penemuan-penemuan fisika. Ditemukan ternyata semesta ini terus mengembang, tidak statis. Jika arah pengembangan semesta ini ditarik mundur, maka seharusnya ada titik awalnya! Suatu awal ketika keseluruhan semesta mampat di satu titik: lahirlah teori Big Bang. Hawking, bersama dengan fisikawan Roger Penrose merumuskan singularitas Big Bang ini dalam sebuah joint paper tahun 1970, sebagai konsekuensi dari teori relativitas Einstein.
Namun kemudian muncul teori kuantum, yang lagi-lagi menantang pemahaman manusia tentang alam semesta. Di dunia makro, hukum fisika tampak jelas dan deterministik. Namun di dunia mikro kuantum, berlaku prinsip ketidakpastian Heisenberg, di mana posisi dan momentum suatu partikel tidak bisa diketahui dengan pasti secara bersamaan. Dunia makro dan mikro tampak begitu berbeda, Einstein saja sulit mempercayainya, bahkan sempat menolaknya. Namun jika ingin memahami alam semesta secara lengkap, kedua teori yang tampak berbeda ini mesti disatukan dalam sebuah Grand Unified Theory (GUT) atau Theory of Everything (TOE). Pencarian TOE terus berlangsung sampai saat ini, mulai dari string theory, superstring, hingga M-theory dan masih belum ketahuan ujungnya. Bahkan menurut Hawking, jikapun TOE ini ada, dan berupa sebuah persamaan, hal itu tetap tidak menjawab pertanyaan “MENGAPA semesta ini ada?”
Menarik sekali kisah pencarian yang diceritakan oleh Hawking ini. Bagaimana pandangan-pandangan manusia tentang semesta berevolusi seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Teori-teori muncul dan dipatahkan, atau diperbaiki. Konsep-konsep tentang semesta naik dan turun, adu kuat adu kokoh. Seolah-olah pemahaman manusia tentang realitas selalu dipaksa untuk dikalibrasi melalui penemuan-penemuan baru. Manusia ditantang untuk terus berpikir dan mencari jawabannya. Ini juga tujuan Hawking menulis buku ini: supaya orang awam juga ikut berpikir tentang alam semesta dan segala pertanyaan eksistensial yang berkaitan dengannya.
Hawking sendiri dalam pencariannya ini berkali-kali berubah pikiran, beradaptasi dengan temuan-temuan di perjalanannya. Ia yang tadinya membuktikan adanya singularitas Big Bang, kemudian berubah menjadi yakin bahwa singularitas itu tidak ada jika memperhitungkan teori kuantum. Lalu, Hawking yang hampir sepanjang hidupnya berusaha mencari sebuah Theory of Everything, di akhir hidupnya mengakui bahwa Teorema Ketidaklengkapan Godel tidak memungkinkan adanya TOE di fisika (namun pengakuannya yang terakhir ini tidak ada di buku ini, melainkan di websitenya https://www.hawking.org.uk/in-words/lectures/godel-and-the-end-of-physics ).
Ini buku yang luar biasa. Padat informasi dan mencerahkan. Nggak heran sampai sekarang pun masih jadi buku fisika terpopuler (meskipun pada nggak selesai bacanya, hahaha). Hawking juga membawakannya dengan menarik. Antusiasme dan rasa ingin tahunya meluap-luap, kelakar-kelakarnya muncul di sana-sini. Pembaca juga bisa merasakan emosi dan cuplikan-cuplikan kisah hidupnya di sela-sela semangatnya bercerita tentang fisika. Memang perlu gigih membaca buku ini kalau bukan orang fisika, tapi tidak berarti tidak bisa menikmatinya.
Mengutip Jim Al-Khalili di buku The Joy of Science: “We’re all capable of digesting more complicated ideas than we may initially give ourselves credit for. Some ideas and concepts take time and effort to grasp, and that is ok.”
Ngomong-ngomong, sebelum baca buku ini saya sudah tahu bagaimana banyak kaum relijius memandang Hawking yang atheis. Banyak yang mengejek kondisi fisiknya bahkan menyumpahinya, dianggap kutukan Tuhan. Namun membaca buku ini, jelas sekali bahwa Hawking adalah seorang pencari: ia ingin tahu siapa atau apa sih yang mengatur alam semesta ini? Ia mendedikasikan seluruh hidupnya dengan sisa-sisa kekuatannya (kekuatan berpikir di tengah segala kekurangan fisiknya) untuk mencari jawaban ini. Kalaupun akhirnya dia nggak merasa menemukannya, ya tidak masalah. Toh dia sudah berusaha sekuat tenaga sampai akhir hidupnya.
Saya jadi ingat kutipan Rumi “What you seek is seeking you.”
Siapa tahu, Hawking yang tidak percaya Tuhan namun sepanjang hidupnya mencari ‘Pengatur Semesta’, lebih dekat denganNya dibanding orang-orang yang berleha-leha tidak mencari karena ‘merasa sudah bertemu’.
Who knows?