Di buku Notes on Complexity kemarin, Neil Theise menulis “We all know what mathematics is…” Membacanya reaksi saya langsung mikir, “Do we, really?”. Ternyata, begitu pula argumen yang dikemukakan oleh Paul Lockhart dalam buku A Mathematician’s Lament (Ratapan Seorang Matematikawan). Yang orang kira ‘matematika’ bukanlah matematika yang sebenarnya. Menurut Lockhart, matematika pada hakikatnya adalah sebuah bentuk seni yang paling murni, dan sayangnya hampir semua orang tidak mengetahuinya.
A Mathematician’s Lament: How School Cheats Us Out of Our Most Fascinating and Imaginative Art Form
Paul Lockhart
Bellevue Literary Press (2009)
140 hal
Paul Lockhart adalah seorang doktor matematika lulusan Columbia University dan sempat menjadi dosen di kampus Ivy League Brown University, juga di UC Santa Cruz. Namun rasa frustrasinya akan bagaimana matematika diajarkan di sekolah dasar dan menengah, membuatnya menulis esai “A Mathematician’s Lament” tahun 2002, kemudian meninggalkan pekerjaannya di universitas dan terjun langsung menjadi guru matematika anak-anak sekolah.
Esai “A Mathematician’s Lament” sudah viral di dunia matematika selama beberapa tahun sampai suatu hari sampai di tangan Keith Devlin, matematikawan Stanford yang juga aktif mempopulerkan matematika lewat website, majalah, dan buku. Ia mengangkat esai ini di kolomnya tahun 2008, dan responnya luar biasa. Karena itu Devlin lalu menghubungi Lockhart dan memintanya menuliskannya kembali dalam bentuk buku. Tahun 2009 terbitlah buku ini sebagai pengembangan dari esai aslinya.
Bagian pertama, “Lamentation” merupakan esai asli yang viral tadi, dan berisi kritik pedas akan pendidikan matematika di sekolah, yang melucuti segala keindahan matematika dan justru menghancurkan daya kreatif anak-anak yang mempelajarinya. Kalau orang menyebut bidang ‘kreatif’ jarang sekali terpikir matematika sebagai salah satunya, padahal menurut Lockhart “Nothing as dreamy and poetic, nothing as radical, subversive, and psychedelic, as mathematics.”
Lockhart menganalogikan keabsurdan pengajaran matematika ini melalui ‘mimpi buruk’ seorang ahli musik. Di mimpinya, pelajaran musik menjadi pelajaran wajib di sekolah, dan dibuat suatu kurikulum standar. Yang pertama diajarkan pada anak-anak adalah notasi musik, karena bulatan-bulatan bertangkai itulah ‘bahasa musik’. Bermain dan mendengarkan musik dianggap skill level advanced, yang baru akan diajarkan di universitas. Anak SD dan SMP harus berkutat dengan segala aturan bahasa musik dulu, dan menghafal rumus-rumus notasi dan menerapkannya pada kunci-kunci berbeda. Pelajaran musik di SMA lebih berat lagi karena bersaing ketat untuk tes masuk universitas. “Nanti setelah masuk jurusan musik mereka akhirnya akan tahu apa arti simbol-simbol tadi dan suara yang direpresentasikannya, dan bersyukur telah mempelajarinya di sekolah.” Sebagian besar orang tidak akan pernah mendengar ‘musik yang sebenarnya’ karena hanya sedikit yang mengambil jurusan musik.
Untunglah ini hanya mimpi buruk. Memang terdengar absurd, kan?
Lalu apa itu matematika?
Mengutip matematikawan G.H.Hardy “A mathematician, like a painter or poet, is a maker of patterns. If his patterns are more permanent than theirs, it is because they are made with ideas.” Dalam matematika, kita bebas bermain dan berimajinasi tentang berbagai ide dan bertanya tentangnya. Bagaimana menjawab pertanyaannya? Dengan berpikir, tanpa perlu alat bantu eksperimen segala seperti bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Lockhart memberi contoh bagaimana bermatematika. Ia berimajinasi tentang sebuah segitiga dalam persegipanjang, tidak penting ukurannya berapa. “Hmm kira-kira segitiganya mengambil ruang segimana sih di persegipanjang itu?”. Dari pertanyaan (problem) ini, ia harus mencari jawabannya (solve). Lalu ia bermain, mencoba-coba, gimana kalo segitiganya dibagi dua? Ooh ternyata hasilnya adalah 2 persegipanjang dengan sisi miring segitiga sebagai diagonalnya! Ooh jadi segitiga tadi mengambil setengah ruang persegi panjang! Ooooh I solve the problem!
Seperti inilah bermatematika! kata Lockhart. Tapi di sekolah, ‘petualangan’ memecahkan masalah ini hilang, karena murid langsung saja diberi rumus tanpa pernah merasakan kegembiraan dan keseruan menemukan rumus itu. Just plug it in, kids!
(Jadi inget Don Joffray guru kalkulus Steven Strogatz di buku The Calculus of Friendship ya, dengan pertanyaan kambing muter-muterin pohon itu)
Dengan menghilangkan proses kreatifnya dan hanya menyertakan hasil dari proses itu sebagai fakta yang harus diterima, sudah pasti tidak akan ada rasa keterlibatan (apalagi kecintaan) akan pelajaran itu pada diri pelaku(/murid)nya.
Lockhart menyampaikan kritiknya dengan meminjam karakter-karakter Salviati dan Simplicio, yang dulu dipakai oleh Galileo Galilei dalam buku Dialogue Concerning the Two Chief World Systems
yang membandingkan sistem tata surya Copernicus dan Ptolemy. Di sini Salviati menjadi pengritik pengajaran matematik, sementara Simplicio berperan sebagai ‘status quo’ yang skeptis dengan bantahan-bantahan semacam “Ah, tapi kan…”
“By concentrating on ‘what’, and leaving out ‘why’, mathematics is reduced to an empty shell. The art is not in the ‘truth’ but in the explanation, the argument. It is the argument itself that gives the truth its context, and determines what is really being said and meant.”
“Mathematics is the art of explanation. If you deny students the opportunity to engage in this activity — to pose their own problems, to make their own conjectures and discoveries, to be wrong, to be creatively frustrated, to have an inspiration, and to cobble together their own explanations and proofs — you deny them mathematics itself. I’m not complaining about the presence of facts and formulas in our mathematics classes, I’m complaining about the lack of mathematics in our mathematics classes.”
Bagian “Lamentation” secara lengkap bisa dibaca sendiri di tautan ini http://worrydream.com/refs/Lockhart-MathematiciansLament.pdf .
Saya sendiri pertama kali membaca esai aslinya tahun 2013. Tapi bagi saya yang jauh lebih menarik adalah pengembangannya di bagian 2, “Exultation”, ketika Lockhart menjelaskan lebih jauh apa sebenarnya matematika itu, dengan mengajak pembaca berpetualang ke ‘rimba matematika’. Di sana Lockhart mengajak mengobservasi objek-objek matematik dan mengamati perilakunya. Tidak terlalu berbeda dengan seandainya seorang ahli biologi pergi ke hutan dan mengamati, katakanlah, hamster. Bagaimana perilakunya, sifat dan karakternya, kebiasaannya.
Bagi Lockhart, dan matematikawan umumnya, bilangan dan objek-objek matematika itu ya seperti itulah. Kita bisa mengamati, bereksperimen, tapi objek-objek ini juga punya karakter sendiri yang tidak bisa diatur-atur oleh pengamatnya. Bilangan 1, 2, 3, itu adalah suatu wujud, entitas, being, yang direpresentasikan oleh simbol-simbol Hindu-Arabic. Jangan terlalu fokus pada simbolnya, ingatlah bahwa simbol itu hanya representasi sesuatu di baliknya. Seperti nama orang, kan? Sekadar simbol, permukaan, dari sesuatu yang lebih besar, kompleks, dan punya karakteristik dan kepribadian tersendiri.
Contohnya 5 ditambah 7 hasilnya 12. “12” ini bukan sekadar angka, yang terdiri dari angka 1 dan 2. “12” adalah sebuah entitas baru tersendiri, yang muncul ketika 5 ditambah 7.
Saya jadi ingat buku The Big Bang of Numbers dari Manil Suri, yang juga menjelaskan matematika seperti ini.
Matematikawan senang bermain dengan objek-objek ini, tanpa peduli apakah ia ada gunanya di ‘dunia nyata’ atau tidak. Kalau nanti ternyata ada gunanya, well that’s good. Tapi bukan itu tujuan mereka bermatematika.
“Mathematical objects… are created by us… they are what we ask them to be. We are free to embellish or ‘improve’ our imaginary structures if we see fit. The mathematical landscape is filled with these interesting and delightful structures that we have built (or accidentally discovered) for our own amusement. We observe them, notice interesting patterns, and try to craft elegant and compelling narratives to explain their behavior.”
Sebuah ‘mathematical discovery’ bagi Lockhart adalah sebuah pencerahan. “A feeling of divine revelation. A glimpse of secret underlying truth, some sort of message from the gods.”
Lockhart berharap melalui bukunya ini ia bisa meyakinkan pembaca bahwa matematika jauh lebih indah dan lebih menakjubkan daripada yang dikira selama ini.
Terkait, buku-buku tentang matematika:
The Joy of X (Steven Strogatz)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid0SjV4gcSecf7HsiCxkSNrMtm76tbV5gs81n72kqMaUXt9iAAndDC88qJvA7LK53Jdl
The Calculus of Friendship (Steven Strogatz)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid028e5qHBwCKQxwngu537ZHskYu1cea9aMESYipPfd4N4jaHR6LErC6doMbUw42147Gl
The Big Bang of Numbers (Manil Suri)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid02mb7YcuTbsnVuXZbp8fLDbGrHX6js5e3QHqBywRgWS2Fuq4y5euPs3zQzn88RSCuol
Love & Math (Edward Frenkel)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid02DKoGGC5NGEXvMPhwBchkmDx4SdA2MqCja4totBXzmvPprUyiSh3RnNrd7jQf1Govl
Untuk buku lokal, bisa dicari buku Prof Hendra Gunawan “Bermatematika Bukan Sekadar Berhitung” , atau buku prof Iwan Pranoto “Berpikir Majemuk Dalam Matematika”.