Tahukah Anda, bahwa milyaran penduduk bumi (kurang lebih 30-40%) mempunyai paling tidak satu jenis alergi? Lebih jauh lagi, beberapa dekade terakhir ini jumlah penderita alergi terus meningkat, bahkan muncul alergi-alergi jenis baru yang tidak pernah tercatat sebelumnya.
Buku ini membahas secara komprehensif apa yang dimaksud dengan alergi, apa penyebabnya, mengapa semakin banyak terjadi, dan apa yang dapat kita lakukan tentangnya.
Allergic: Our Irritated Bodies In A Changing World
Theresa MacPhail
Random House (2023)
369 hal
Theresa MacPhail adalah penulis, doktor (bukan dokter) antropologi medis dari UC Berkeley, yang banyak meneliti dan menulis mengenai penyakit dan kesehatan global dan topik biomedis. Ia juga mengajar antropologi medis di NYU dan Stevens Institute of Technology di Hoboken, New Jersey.
Ayah MacPhail meninggal akibat reaksi alergi akut (anafilaksis) dari sengatan lebah yang tidak sengaja masuk melalui jendela terbuka ke dalam mobil yang sedang dikemudikannya. Tekanan darahnya turun drastis secara tiba-tiba, saluran pernapasan menyempit. Tanpa suntikan adrenalin yang dapat menolongnya, ayah MacPhail meninggal di dalam ambulans dalam perjalanan ke rumah sakit.
Belasan tahun kemudian, MacPhail mengalami iritasi saluran pernapasan berat yang tidak sembuh-sembuh, sampai akhirnya ia menemui dokter spesialis THT yang menyimpulkan bahwa masalahnya berakar dari alergi. Sejak itu ia meneliti dan menelusuri permasalahan alergi dari segala aspeknya, mewawancara para pakar alergi dan imunologi, dan menuliskannya dalam buku ini.
Buku “Allergic” terbagi menjadi 3 bagian besar:
“Diagnosis”, yang membahas apa itu alergi (dan apa yang bukan alergi), bagaimana sejarah diagnosanya di dunia medis, bagaimana mekanisme terjadinya alergi secara biologis di dalam tubuh, bagaimana proses diagnosa alergi oleh tenaga medis, dan tentang semakin banyaknya penderita alergi di seluruh dunia.
“Theories”, yang mengulas temuan-temuan riset tentang alergi dan bagaimana pendapat para pakar tentangnya.
“Treatments”, yang mengupas bagaimana perkembangan dunia medis dalam mengatasi alergi, bagaimana pengobatan di masa lalu dibandingkan dengan masa kini, dan berbagai riset farmasi yang berusaha mencari obat alergi untuk masa depan.
Sebenarnya alergi itu apa sih?
Yang biasanya dimaksud dengan alergi adalah suatu kondisi di mana sistem imun bereaksi secara hipersensitif terhadap suatu zat (alergen) yang sebenarnya tidak berbahaya, dan biasanya tidak memicu reaksi pada orang-orang yang tidak punya alergi. Namun alergi adalah suatu proses biologis yang kompleks dan melibatkan banyak komponen dalam sistem imun, dan tidak persis sama antara satu tubuh dengan tubuh lainnya. Karenanya, alergi itu sangat personal dan spesifik.
Fungsi sistem imun kita sebenarnya bukan untuk ‘perang melawan musuh’, melainkan untuk mengenali sel tubuh sendiri dari selainnya. Ketika bertemu sesuatu yang asing (atau ‘nonself’) dari sekitar, sistem imun bisa mentolerirnya (seperti terhadap kebanyakan protein yang dikonsumsi melalui makanan), atau menyerangnya (seperti terhadap virus dan bakteri).
Sistem imun kita terbagi menjadi dua: yang pertama yaitu imunitas bawaan (innate) yang bekerja sebagai pertahanan pertama terhadap zat asing, terdapat di seluruh bagian tubuh utamanya kulit dan selaput luar dari organ-organ tubuh; yang kedua adalah imunitas adaptif, yang akan bekerja jika imunitas bawaan tidak cukup. Imunitas adaptif bersifat spesifik, karena ia bisa ‘mengingat’ zat tertentu yang ditemuinya, dan akan bereaksi pada pertemuan berikutnya. Sistem kedua inilah yang sangat berkaitan dengan alergi.
Alergi harus dibedakan dengan ‘intolerance’, ‘sensitivity’, ataupun penyakit autoimun. Perbedaan mereka terletak pada proses biologis atau mekanisme imunitas yang terjadi pada masing-masingnya.
– Alergi adalah ketika sistem imun kita bereaksi terhadap suatu antigen (zat yang memicu respon sistem imun) atau alergen (jenis antigen yang memicu respon antibodi IgE).
– Intolerance adalah ketika muncul gejala mirip alergi makanan, tapi sebenarnya disebabkan oleh sistem/kondisi/mekanisme tubuh selain sistem imun. Misalnya lactose intolerance yg disebabkan tubuh yang tidak membuat cukup enzim laktase untuk memecah laktosa => bukan respon sistem imun.
– Sensitivity adalah jika kulit kita bereaksi terhadap tes alergi (skin prick), tapi tidak mengalami gejala alergi ketika terekspos alergen terkait. (Sebaliknya, seseorang yang alergi bisa saja tidak bereaksi ketika diberi tes skin prick)
– Autoimun adalah ketika sistem imun salah mengenali sel tubuh sendiri sebagai zat asing, sehingga malah bereaksi terhadapnya.
Rumit ya kategorisasinya? Ya, jangankan buat kita yang awam, buat kalangan medis juga rumit kok, karena memang mekanismenya kompleks dan sangat spesifik tergantung tubuh setiap individu. Karenanya diagnosa alergi sebaiknya ditangani oleh spesialis alergi, karena (menurut buku ini), soal alergi tidak dipelajari secara komprehensif di jenjang kedokteran umum. Mendiagnosa alergi melibatkan macam-macam tes. MacPhail sendiri menjalani banyak tes alergi, dites ini itu tetap negatif, sampai akhirnya ditemukan diagnosa ‘localized allergic rhinitis’ yang artinya alergi pollen yang dideritanya hanya terlokalisasi di selaput hidung dan matanya saja.
Alergi makanan lebih sulit lagi diagnosanya, karena gejalanya mirip dengan banyak penyakit lain. Malah pada awalnya, alergi makanan dianggap bohongan lho. Tapi percayalah, alergi makanan itu nyata. Anak saya sendiri punya alergi makanan, yang bagi orang Indonesia mungkin aneh: alergi wijen. Tersentuh wijen sedikit saja lidahnya gatal, apalagi kalau termakan, bisa kram perut, mual, muntah-muntah, lalu biduran seluruh badan. “Waduh nggak bisa makan onde-onde dong” hehe. Ya mungkin bagi orang Indonesia dan Asia pada umumnya, yang makanannya banyak pakai produk wijen, ini alergi yang aneh. Tapi di Amerika ada jutaan orang yang menderitanya, dan termasuk dari 10 alergi makanan yang paling banyak diderita anak-anak Amerika (meskipun genetically orang Indonesia, hehe).
Sayangnya sampai sekarang pun masih banyak yang menganggap alergi makanan itu mengada-ada, dan penderitanya dibully. Padahal kadang akibatnya fatal. Mereka yang ‘normal’ tidak suka hidupnya diatur-atur untuk mengakomodasi penderita alergi. Hasilnya, penderita alergi memilih untuk menyembunyikan alerginya supaya diterima masyarakat, atau tidak bersosialisasi demi kesehatannya dengan resiko dijauhi dan dianggap antisosial.
Karena mekanisme yang berkaitan dengan alergi ini kompleks, dunia medis juga masih belajar memahaminya, dan karenanya diagnosa serta anjuran mengatasinya masih berubah-ubah (memang begitulah ilmu pengetahuan bekerja, bukan? Belajar dari eksperimen dan kesalahan). Sampai 10 tahun yang lalu, anjuran dokter anak menghadapi alergi makanan adalah menjauhi sumbernya sama sekali. Namun sekarang mulai dipahami bahwa sedikit-sedikit mengenalkan makanan-makanan sumber alergi itu baik untuk melatih sistem imun manusia di tahun-tahun pertama dia hidup. Memang beresiko, tapi menjauhinya sama sekali juga tidak baik.
Alergi secara umum, terutama alergi makanan, beberapa puluh tahun terakhir ini menjadi semakin banyak dan semakin parah. Apa penyebabnya? Menurut para ahli, penyebabnya tidak mungkin karena genetik, sebab perubahan genetik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyebar. Mereka sepakat bahwa penyebabnya adalah perubahan aspek lingkungan, dalam hal ini termasuk gaya hidup dan makanan yang dikonsumsi.
Apa saja? Di antaranya adalah polusi udara dan perubahan praktek pertanian yang mulai terjadi setelah revolusi industri. Masalah pernapasan seperti asma semakin banyak terjadi. Bahkan, hay fever (rhinitis allergy) baru mulai tercatat dalam ilmu pengetahuan di awal abad 19, ketika praktek agrikultur pedesaan mulai berubah: ternak yang tadinya makan sayuran dan sorgum, diganti dengan hay (jerami/rerumputan kering), sehingga semakin banyak partikel yang menimbulkan iritasi di udara akibat produksi jerami.
Di India, polusi tidak hanya disebabkan oleh asap industri dan kendaraan, melainkan juga pembakaran lahan (hmmm jadi ingat Sumatera dan Kalimantan beberapa tahun yang lalu). Kebetulan sekali ketika sedang baca buku ini, daerah saya terkena asap kebakaran hutan Kanada, yang menyebabkan Air Quality Index melejit ke angka 400an yang terbilang ‘hazardous’. Pelajaran berharga buat para climate change deniers ya, hehehe…
Contoh lain perubahan gaya hidup yang berpengaruh pada peningkatan alergi adalah semakin banyaknya ibu yang melahirkan secara C-section (yang bukan karena alasan darurat), alih-alih melahirkan normal. Ketika bayi dilahirkan secara vaginal, ia ‘diperkenalkan’ pada dunia bakteri lewat jalan lahir, dan bakteri-bakteri inilah yang akan melatih sistem imunnya pertama kali. Hal ini tidak terjadi pada bayi yang dilahirkan secara caesar (soal ini juga disinggung di buku Gut dari Giulia Enders).
Selain itu, semakin banyaknya orang yang tinggal di perkotaan, membuat mereka tidak terbiasa terpapar pollen (serbuk sari) tanaman, sehingga lama-lama malah jadi alergi. Ini mirip dengan kasus bayi tadi, yang perlu terpapar bakteri dari sejak lahir supaya sistem imunnya terlatih sejak dini. Intinya, hidup terlalu steril dan jauh dari alam itu nggak bagus, karena sistem imun juga butuh ‘lawan main’ untuk melatih diri sesuai fitrahnya.
Lalu, apakah alergi bisa disembuhkan? Sayangnya, alergi umumnya disandang seumur hidup. Sejak dikenal di dunia medis, banyak pengobatan alergi berbeda yang dicobakan, namun beberapa hal tetap sama: menghindari alergen, minum obat antihistamin, atau corticosteroid. Untuk alergi makanan yang cenderung parah, disarankan selalu sedia suntikan adrenalin. EpiPen adalah merknya yang paling terkenal, namun harganya yang mahal menyulitkan bagi mereka yang kurang mampu.
Namun dengan berkembangnya teknologi rekayasa genetik, juga meningkat pesatnya kemampuan komputer (apalagi komputer kuantum yang mampu melakukan komputasi jutaan kali lebih cepat –baca buku Quantum Supremacy dari Michio Kaku), diharapkan pengobatan alergi yang lebih efektif akan ditemukan.
Dalam 5 tahun perjalanannya menulis buku ini dan mendapat banyak informasi tentang alergi, MacPhail tergerak untuk mengubah gaya hidupnya. “Saya berusaha menolong sistem imun saya dengan makan lebih banyak makanan alami yang tidak diproses, tidur cukup, olahraga, tidak terlalu banyak memakai produk untuk kulit (make up dll), tidak terlalu sering mandi, juga tidak terlalu sering mengganti seprai dan sarung bantal. Saya juga berkomitmen mengurangi carbon footprint dan memilih politisi yang peduli lingkungan,” tulisnya.
Membaca buku ini saya lagi-lagi jadi ingat buku The Myth of Normal: bahwa segala penyakit fisik dan psikis yang semakin lama semakin banyak dan parah ini, adalah pertanda bahwa lingkungan di mana kita beradalah yang menjadi sumber masalahnya. Dan sebagai penduduk planet yang sama, kita harus berkolaborasi bersama-sama mengatasinya.
Buku ini mengulas berbagai aspek alergi dengan sangat ekstensif (bahkan mekanisme reaksi alergi secara molekular) dan mencerahkan dalam bahasa yang mudah diikuti. Saya sangat rekomendasikan untuk dibaca para penderita alergi dan keluarganya, para tenaga medis, juga siapa saja yang ingin memahami masalah alergi.