Cart

Your Cart Is Empty

Altered Traits: Science Reveals How Meditation Changes Your Mind, Brain, and Body

Altered Traits: Science Reveals How Meditation Changes Your Mind, Brain, and Body

image

Author

Ani

Published

Februari 16, 2024

Kita sering mendengar tentang meditasi dan manfaatnya untuk kesehatan, mengatasi stress, dll. Tapi tahukah kita apa sebenarnya ‘meditasi’ itu?
“Some of what you know about meditation may be wrong. But what is true about meditation, you may not know,” dan melalui buku ini, dua ilmuwan praktisi meditasi berusaha mengklarifikasinya.

Altered Traits: Science Reveals How Meditation Changes Your Mind, Brain, and Body

Daniel Goleman & Richard Davidson
Avery (2017)
267 hal

Daniel Goleman sudah dikenal luas sebagai jurnalis sains di NYTimes dan melalui buku best-sellernya “Emotional Intelligence”, sementara Richard Davidson adalah ilmuwan neurosains, profesor psikologi dan psikiatri di University of Wisconsin-Madison, juga mengepalai Center for Healthy Minds di sana. Keduanya juga adalah board member Mind & Life Institute yang didirikan oleh Dalai Lama, yang rutin mengadakan dialog antara sains dan spiritualisme, berangkat dari kepercayaan bahwa sains dan agama/spiritualisme sama-sama bertujuan ‘mencari kebenaran dan melayani kemanusiaan’.

Goleman dan Davidson bertemu ketika masing-masing masih jadi dosen dan mahasiswa di departemen psikologi Harvard pada era 70an. Keduanya sama-sama tertarik dengan topik consciousness dan meditasi, di jaman ketika hal itu masih tabu di dunia psikologi akademik Barat. Mereka bahkan terjun langsung belajar meditasi ke India dari para master asal India, Tibet, dan Burma sejak jaman mereka masih graduate students.

Masa itu dipercayai bahwa ‘nature’ (dalam hal ini, otak, karakter) tidak bisa diubah, perilaku (behavior)lah yang bisa. Namun dengan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang neurosains, penelitian tentang fungsi dan struktur otak semakin akurat. Berlawanan dengan kepercayaan dunia psikologi mainstream, tahun 80an mulai ditemukan bahwa struktur fisik otak memang bisa berubah karena pengaruh lingkungan. Misalnya otak tikus yang stress terus menerus ternyata mengalami penyusutan sel syaraf di hippocampus (bagian yang berperan penting dalam memproses memori). Atau pada otak tunarungu, bagian yang memproses suara tidak berfungsi, dan beradaptasi memanfaatkannya untuk memproses visual (karena mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat).

Tahun 90an akhirnya pandangan sains tentang otak mulai berubah, dan konsep ‘neuroplasticity’, yaitu bahwa otak bisa dibentuk dan diubah oleh pengalaman berulang, semakin diterima. Nature dan nurture terkait erat dan saling mempengaruhi. Otak bisa dibentuk/diubah oleh lingkungan ke arah yang baik maupun buruk. Misalnya, trauma dan stress bisa membajak amygdala (bagian otak yang berfungsi sebagai radar bahaya) sehingga sangat mudah terpicu. Sebaliknya, otak anak yang dibesarkan dalam kondisi aman dan bahagia sel syarafnya lebih kuat, menjadikannya tidak mudah stress, kalau marah cepat reda.

Sekarang konsep neuroplasticity sudah diterima sebagai fakta sains, dan studi tentang meditasi sangat berkaitan dengan konsep ini.

Aslinya, dalam tradisi spiritual, meditasi difokuskan sebagai eksplorasi diri yang mendalam dengan tujuan transformasi diri secara menyeluruh, mencapai kondisi selfless, tenang, pengasih dan penyayang. Namun di sisi lain, aplikasi praktis meditasi (seperti praktek mindfulness) menarik orang banyak tapi tidak mendalam, hanya di permukaan. Jadi pada dasarnya ada dua jalan meditasi: the deep and the wide.
Meditasi ‘the deep’ ada 2 macam: Level 1 yg intensif, dipraktekkan melalui tradisi spiritual (misalnya) pendeta Buddha atau yogi master. Level 2, meditasi mendalam yang tidak sampai ke mengubah gaya hidup (menjadi pendeta/yogi), seperti yang dipraktekkan oleh Goleman dan Davidson.
Meditasi ‘the wide’ juga ada beberapa level: Level 3 menerapkan praktek-praktek meditasi tanpa mengaitkannya dengan konteks spiritual. Contohnya metode MBSR (mindfulness-based stress reduction, yang didirikan ilmuwan MIT Jon Kabat-Zinn) yang sekarang ditawarkan di banyak klinik dan pusat medis.
Level 4, atau meditasi ‘tipis-tipis’, yang paling populer dipraktekkan sekarang, seperti misalnya istirahat meditasi 10 menit di meja kerja.
Level 5 yang mulai banyak muncul misalnya meditasi mindfulness lewat aplikasi seluler.

Meskipun tidak mendalam, ‘the wide’ juga tetap penting. Menurut para master, bentuk meditasi manapun yang bisa mengangkat penderitaan dan bermanfaat bagi orang banyak, maka layak dipraktekkan oleh siapapun, meskipun lepas dari aspek spiritualnya.

Nah, apa temuan sains tentang meditasi ini?

Sebelumnya perlu dijelaskan dulu sirkuit-sirkuit otak berikut:
1. Amygdala, berfungsi sebagai radar bahaya. Ketika merasa ada bahaya, sirkuit amygdala memicu respon “freeze-fight-or-flight” dan memicu produksi hormon cortisol dan adreanalin yang menyiapkan tubuh untuk beraksi. Amygdala juga bereaksi terhadap apapun yang dianggapnya perlu diperhatikan berkaitan dengan bahaya ini, mau kita suka ataupun tidak.
Amygdala tersambung kuat dengan sirkuit-sirkuit otak yang berperan untuk (a) memusatkan perhatian dan (b) reaksi emosi yang intens. Makanya ketika dianggap ada bahaya, perhatian kita terpecah, karena informasi bolak-balik antara kedua sirkuit itu, atau bahkan tidak bisa fokus sama sekali ketika emosi jadi terlalu intens.
2. Prefrontal cortex (PFC) yang berperan sebagai pusat fungsi eksekutif, ‘manajer’ yang mampu mengendalikan, belajar, merenung, memutuskan, memusatkan perhatian dan menentukan tujuan.
3. Sirkuit otak yang memproses rasa sakit ada beberapa macam: yang memproses rasa sakitnya saja, dan yang memproses emosi ‘tidak suka’ akan rasa sakit itu. Otak menyatukannya dalam satu kesatuan insting “Aduh, sakit!”
4. Ada 3 macam empati: empati kognitif (memahami pikiran/perspektif orang lain), empati emosional (merasakan perasaan orang lain), dan empati kepedulian (yang berkaitan dengan rasa kasih sayang).
5. Insula, yaitu sirkuit otak yang aktif ketika kita merasa menderita. Ketika stress, insula mengaktifkan respon detak jantung dan napas, membuat kita ikut merasa menderita ketika melihat penderitaan orang lain.

Riset meditasi menemukan bahwa teknik meditasi yang berbeda mempengaruhi sirkuit otak yang berbeda:

1. Berkaitan dengan stress:
orang yang mengalami stress kronis mengalami pembesaran amygdala, serta koneksi yang lemah dengan PFC yang bisa menenangkan aktivitas amygdala. Mereka yang trauma lebih parah lagi, PFC tidak lagi mampu menyetop aktivitas amygdala.
Meditasi mindfulness, yang fokusnya mengobservasi berbagai sensasi di dalam tubuh dan mengatur pernapasan, dapat melemahkan bahkan memutus koneksi antara sirkuit otak yang memproses rasa sakit murni dengan sirkuit emosi, sehingga meskipun kita merasakan sensasi rasa sakit, kita tidak merasa menderita.
Meditasi tipe ini dapat menurunkan reaktivitas amygdala dan memperkuat koneksinya dengan PFC, sehingga reaksinya dapat dikontrol. Semakin lama meditasi, koneksinya semakin kuat, semakin tenang dan tidak mudah reaktif.
Meditasi juga membantu mengurangi depresi dan gangguan kecemasan. Meditasi kasihsayang tercatat sangat membantu para pasien yang menderita Post Traumatic Stress Disorder.

2. Berkaitan dengan rasa kasih sayang:
Meditasi metta/kasih sayang, fokusnya memunculkan rasa kasih sayang kepada satu objek kemudian meluaskannya sehingga mencakup seluruh makhluk, bahkan bisa diperluas ke seluruh alam. Meditasi jenis ini meningkatkan empati kepedulian (empathic concern), mengaktifkan sirkuit rasa nyaman dan cintakasih, sirkuit yang responsif terhadap penderitaan orang lain, dan menyiapkan kita untuk ‘berbuat sesuatu’ ketika melihat penderitaan orang lain.
Meditasi ini meningkatkan aktivitas amygdala berkaitan dengan rasa penderitaan, tapi karena digabungkan dengan teknik pernapasan, aktivitasnya tidak intens.
Meditasi jenis ini termasuk yang cepat efeknya, artinya sifat mengasihi sebetulnya laten di dalam diri manusia.

3. Berkaitan dengan fokus dan memusatkan perhatian: Inti dari meditasi memang melatih fokus dan perhatian, dan perbedaan tipe meditasi melatih aspek fokus yang berbeda. Metoda mindfulness seperti MBSR misalnya, memperkuat fokus pada satu hal dan mengabaikan distraksi. Metoda Vipassana juga selain memperkuat fokus dan memori, meningkatkan kewaspadaan, dan kemampuan mempertahankan fokus. Pikiran jadi tidak jalan-jalan ke mana-mana.
Catatan penting: ketika multitasking, otak sebenarnya tidak melakukan beberapa hal secara paralel, melainkan bolak-balik antara sirkuit satu dan lainnya. Jadinya kerjanya malah tidak efisien. Hasilnya, selain merusak konsentrasi, juga menurunkan pemahaman analitis dan empati.

4. Berkaitan dengan kesehatan:
Metoda mindfulness dapat mengurangi aspek emosional dari rasa sakit, mengurangi produksi cytokine (molekul yang bertanggung jawab dalam proses peradangan), meningkatkan enzyme telomerase yang memperlambat penuaan sel.

5. Berkaitan dengan ‘kemelekatan’
Ketika sedang tidak melakukan apa-apa, secara default yang aktif bekerja adalah sirkuit otak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan ‘diri’. Self-centered.
Meditasi mindfulness dan kasihsayang mengurangi aktivitas sirkuit ini. Semakin lama meditasi, aktivitasnya semakin melemah, semakin self-less.

Studi terhadap otak para pendeta dan yogi yang jam terbangnya sudah tinggi (puluhan ribu jam) menemukan bahwa struktur otaknya sudah berbeda dari rata-rata orang. Artinya semakin lama dipraktekkan, meditasi memang bisa mengubah karakter secara permanen.

Saya jadi berpikir tentang perintah sholat dalam Islam. Bukankah sholat itu seperti gabungan teknik-teknik meditasi yang berbeda? Dalam sholat, seorang muslim harus tenang, memusatkan perhatian, melafalkan kata-kata baik, atas nama kasih sayang. Selain itu, karena diwajibkan, paling tidak seorang muslim yang sudah baligh akan ‘bermeditasi’ selama 5×5-10 menit per hari, kira-kira 300 jam per tahun. Di usia 40, ia sudah ‘bermeditasi’ selama 7500 jam.

Jika dilakukan dengan niat yang benar, dengan khusyuk, dengan mengingat Yang Maha Pengasih dan Penyayang, seharusnya karakter seorang muslim sudah berubah ke arah yang lebih baik.

Kalau ternyata puluhan tahun sholat malah karakternya suka marah-marah dan membenci sesama, pertanyaannya adalah, kenapa karakternya tidak membaik?
Jangan-jangan, sholatnya belum dilakukan dengan benar.
Mumpung bulan Ramadhan, bulan turunnya Al-Qur’an, ini saat paling tepat untuk merenungkan hal ini.