Tahun 2010 nama Cédric Villani mencuat ke dunia internasional sebagai matematikawan peraih Fields Medal (penghargaan tertinggi bidang Matematika untuk yang berusia di bawah 40 tahun). Tapi yang paling menarik perhatian media internasional adalah penampilannya yang nyentrik: rambut gondrong, setelan jas lengkap dengan dasi sutra model cravat dan bros laba-laba, sampai ia dijuluki “The Lady Gaga of Mathematics”.
Birth of A Theorem: A Mathematical Adventure
Cédric Villani
(diterjemahkan dari bhs Prancis oleh Malcolm DeBevoise)
Farrar Straus Giroux (US edition 2015)
Kalau dalam buku memoarnya “The Double Helix” James Watson mengajak pembaca mengikuti pengalamannya bersama Francis Crick menemukan struktur DNA yang membawa mereka meraih Nobel, buku Birth of A Theorem adalah memoar Cédric Villani yang menceritakan petualangannya mencari dan menemukan bukti suatu problem matematika yang membawanya meraih Fields Medal atas pembuktiannya tentang “nonlinear Landau damping and convergence to equilibrium for the Boltzmann equation.”
Seperti juga ketika membaca buku Watson (atau buku Jennifer Doudna tentang perjalanan menemukan CRISPR-Cas9), saya nggak ngerti bagian teknisnya. Buku ini memang tidak bermaksud menjelaskan pada awam tentang pembuktiannya sendiri, melainkan menceritakan proses kreatif seorang matematikawan ketika berusaha memecahkan suatu problem.
Jadi ya, tentu saja bagian teknisnya bisa diskip (buku ini bahkan lebih teknikal daripada buku Watson dan Doudna).
Tapi pembaca awam tidak perlu berkecil hati, karena Cédric adalah pencerita yang jago. Menurut saya buku ini lebih asyik dibaca dibandingkan buku Watson. Tidak heran, karena ternyata Cédric memang senang bercerita. Penikmat manga dan anime (beberapa yang disebut di buku ini misalnya Black Jack dari Osamu Tezuka, Death Note, dan The Rose of Versailles) serta karya-karya Neil Gaiman, Cédric senang mengarang cerita untuk pengantar tidur kedua anaknya. Pantas saja alur buku ini mengalir dan asyik diikuti meskipun penuh dengan simbol dan istilah matematika.
“Petualangan” intelektual Cédric di buku ini berawal di Lyon, di mana ia bersama koleganya Clement Mouhot mendiskusikan persamaan Boltzmann. Proses ‘ngulik’ problem ini disampaikan selain dalam bentuk narasi pemikirannya, juga melalui email antara keduanya dan catatan-catatan pribadi perkembangan pembuktian problem tersebut. Masa-masa intens dan klimaks proses ini berlangsung ketika Cédric berada di Institute for Advanced Studies di Princeton sebagai invited member selama 6 bulan.
(Karena pernah berkunjung ke Princeton saya jadi bisa membayangkan cerita-ceritanya tentang suasana IAS dan sekitarnya).
Yang menarik, dalam proses pembuktian ini ia mengalami ‘divine inspiration’. Beberapa kali ia mendapat inspirasi dari mimpi, atau “I hear a voice in my head telling me to do (this and this) to solve the problem”. Mungkin seperti Ramanujan atau Mendeleyev ya. Tidak seperti rata-rata ilmuwan jaman sekarang, Cédric tidak menolak bahwa hal-hal seperti ini bisa terjadi, karena ia mengalaminya beberapa kali.
“Technique is the only thing that matters in a proof. It’s a pity there’s no place for the most important thing of all : illumination.”
Yang saya tangkap dari memoar ini adalah: Cédric Villani adalah polymath jenius yang ekstrovert, tidak bisa diam, dan “bubbling with energy & curiosity”. Mungkin seperti Richard Feynman. Ia punya keingintahuan dan ketertarikan besar terhadap banyak hal dan ia kerjakan semuanya tanpa terlalu peduli kata orang.
“…my range of interests, unusually broad for someone of my generation: analysis, geometry, physics, partial differential equations…”
Selain meraih Fields Medal, Cedric juga meraih berbagai penghargaan matematika sejak usia 20an, termasuk penghargaan bergengsi seperti Henri Poincare Prize dan Fermat Prize.
Cédric cocok dengan definisi ‘jenius’ yang saya simpulkan beberapa waktu yang lalu: seseorang yang bisa mengenali pola tersembunyi.
“The ability to detect hidden connections between different areas of mathematics is what has made my reputation…Everywhere you look, the world is filled with unsuspected connections!” tulisnya.
Selain menggeluti matematika, ia juga main piano, menikmati puisi, buku-buku fiksi, manga, anime, musik klasik, rock, folk dan pop. Buku ini penuh dengan kutipan dari komik, cerpen Neil Gaiman, puisi William Blake, lirik lagu, bahkan narasi mimpi. Rame!
Dari 2009 hingga 2017, Cédric Villani mengepalai Institut Henri Poincaré yang bergengsi, dan setelah itu terjun ke politik hingga saat ini, melalui partai Ecology Generation. Udah sibuk gitu, masih sempat-sempatnya bekerjasama bikin komik (Les Rêveurs Lunaires, 2015).
Menarik sekali bagaimana Cédric Villani mengekspresikan energi kreatifnya di berbagai bidang dengan sebaik-baiknya.