Ini adalah review dari Eva Amalia Sofa, sebagai reviewer tamu kami. Terima kasih!
—–
Tiba-tiba dapat jatah review buku dari Book-o-latte . Baca judulnya koq kaya pernah baca –judulnya doang sih. Ya ternyata wajarlah … bukunya Mega Best Seller (baru tau) jadi pasti gampang nemu (selama masih dicetak tentu saja). Bukunya enak dibaca, ga bikin sakit mata, penuturan kalimatnya sederhana memudahkan pikiran yang sudah lama tak melumat buku tebal (mohon maaf pemirsa pecinta buku). Dan akhirnya yeayy.. berhasil tamat bacanya!
Filosofi Teras
Henry Manampiring
Cetakan ke-50, 2023
PT. Kompas Media Nusantara
324 halaman
Buku ini diawali dengan informasi hasil survei Khawatir Nasional yang mencapai 63% responden, tentunya tidak sulit membayangkannya karena terjadi juga secara umum di saat ini –dan mungkin sudah dari sejak lama, terutama ketika bertanya pada diri sendiri tentang kekhawatiran masing-masing.
Sempat orang ramai bicara tentang bagaimana berpikir positif ketika menghadapi masalah, namun bagi sebagian orang berpikir demikian malah membuat mereka tenggelam ke dalam depresi ketika merasa sedih akan suatu kegagalan dan menyalahkan diri sendiri kenapa tidak berbahagia (toxic positivity).
Buku ini mengajak pembaca untuk menengok filsafat Stoisisme. Dikatakan bahwa Stoisisme mengajarkan pandangan hidup yang selaras dengan alam. Berbeda dengan makhluk lain, manusia memiliki nalar, akal sehat, rasio dan kemampuan menggunakannya untuk kebaikan hidup. Manusia juga adalah makhluk sosial yang satu sama lain berkaitan (langsung atau tidak langsung). Segala kejadian pun saling terkait. Berdasarkan hal ini, Stoisisme melihat segala hal dari sudut pandang mengenai apa yang bisa dikendalikan dan apa yang tidak bisa dikendalikan (Dikotomi Kendali/Trikotomi Kendali). Dua hal yang menjadi tujuan Stoisisme adalah hidup yang bebas dari emosi negatif, dan hidup untuk mengasah kebaikan (kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan menahan diri).
Seringkali emosi negatif muncul bukan karena suatu peristiwa yang meresahkan, melainkan disebabkan oleh interpretasi dan persepsinya. Sesungguhnya kita punya kemampuan mengubah pikiran/persepsi kita sendiri mengenai suatu peristiwa tanpa mengubah peristiwa eksternal yang terjadi. Pikiran punya kuasa untuk aktif menentukan respon atas peristiwa yang terjadi. Kita dapat berhati-hati mengelola interpretasi spontan atas sebuah peristiwa yang biasanya mencetuskan emosi negatif, dengan langkah STAR ( Stop, Think & Asses, Respond ) agar interpretasi yang muncul adalah rasional hasil nalar yang memunculkan emosi positif.
Selain itu, buku ini menyebutkan tips praktek Premeditatio Malorum sebagai imunisasi mental, melatih diri membayangkan hal-hal buruk yang terjadi agar lebih siap dan santai menghadapi hari.
Yang menarik di buku ini adalah gambaran bagaimana filsafah ini bekerja ketika hidup berada di antara orang-orang yang menyebalkan. Yaitu dengan tidak memberi kuasa kepada orang lain untuk mengganggu, karena butuh dua pihak untuk merasa terhina. Jika kita menyadari adanya kemungkinan bahwa orang lain tidak bermaksud menyakiti kita melainkan dia melakukannya untuk “kebaikan” menurut sudut pandang dia, bisa membantu kita agar tidak terlalu reaktif terhadap ujaran atau tindakan orang lain. Namun hidup bersama manusia menuntut lebih dari sekedar “mentoleransi” perilaku mereka. Mengajukan keluhan dengan tujuan memperbaiki situasi tidak bertentangan dengan Stoisisme, yang tidak didukung adalah menggerutu, menggosipkan kesalahan orang lain tetapi tidak memperbaiki keadaan atau orang lain menjadi lebih baik. Beberapa tips berurusan dengan orang lain dari Marcus Aurelius (salah satu tokoh fillsuf Stoa) yang dicuplik dari buku Meditation memberi gambaran tentang pandangan filsafah ini, diantaranya:
– Menyadari bahwa orang lain didorong oleh apa yang mereka percayai, dan mereka bangga dengan apa yang mereka lakukan.
– Jika yang mereka lakukan benar maka tidak ada alasan bagi kita untuk mengeluh. Jika yang mereka lakukan keliru dan mereka tidak melakukannya dengan sengaja, maka yang mereka lakukan lebih karena ketidaktahuan.
Dalam bab-bab selanjutnya, penulis memberi gambaran pandangan Stoisisme dalam menghadapi kesusahan dan musibah, bagaimana menjadi orangtua, menjadi bagian dari penduduk dunia, hingga pandangan tentang kematian. Semuanya menarik karena tentu saja sangat relate dan dekat dengan kehidupan kita pada umumnya. Sebagai tambahan juga dalam cetakan terakhir ini adanya catatan tentang pandemi yang kita semua saat ini sama-sama telah mengalami dan survive melaluinya, juga membahas peristiwa hot menjelang di depan mata kita saat ini yaitu tahun politik.
Buku ini sangat detil menjawab hal-hal kecil yang bisa jadi ada banyak dalam pikiran banyak orang, dengan ditampilkannya banyak contoh keseharian yang menggambarkan bagaimana semua teori yang dipaparkan bekerja dalam kejadian yang sebenarnya. Buku ini seperti catatan penulis sendiri atas bagaimana dia memahami dan menerapkan filsafah ini dalam setiap sisi kehidupan yang dilaluinya, sehingga mudah diterima pembaca tanpa merasa digurui. Semua peristiwa menjadi tantangan untuk ditempatkan dalam penerapan Filosofi Teras ini.
Saya membayangkan ajaran Stoisime ini bermula diajarkan dari semacam ngopi-ngopi cantik sekumpulan orang-orang yang menyimak paparan Zeno (perumus filsafah Stoisisme) di teras alun alun yang banyak pilarnya (stoa), hingga para pengikutnya sering kena stempel masyarakat umum sebagai kaum Stoa. Mengacu pada peristiwa tersebut juga nampaknya penulis menuliskan judul bukunya sebagai Filsafah Teras alih-alih Stoisisme itu sendiri.
Dengan gaya bahasa yang relate dengan kehidupan saat ini, tidak heran buku ini bisa membius banyak orang, memberikan ide pandangan bagaimana menyikapi hidup dan permasalahannya. Tertulis juga intisari dari setiap bab yang mungkin bisa menjadi pengingat suatu saat diperlukan kembali.
Jadi siapa yg mau mulai membaca lagi? Atau baru mau suka membaca? Buku ini bisa direkomendasikan karena mudah dicerna bagi yang suka cara berpikir sederhana straight to the point, tapi juga cocok untuk pembaca dengan pikiran njelimet.
Selamat membaca!