Selama ini saya cuma tahu nama Frederick Law Olmsted sebagai perancang Central Park, New York. Ternyata peran dan pengaruhnya bagi Amerika jauh lebih besar dari itu.
Genius of Place: The Life of Frederick Law Olmsted, Abolitionist, Conservationist, and Designer of Central Park
Justin Martin
Da Capo Press (2011)
464 hal
Frederick Law Olmsted lahir 26 April 1822 di Hartford, Connecticut, sebagai keturunan langsung pendiri kota Hartford. Keluarganya termasuk berada, sehingga meskipun jaman itu sekolah di Amerika masih belum jelas bentuknya (biasanya berupa kelas-kelas kecil di gereja, dipandu oleh pendeta. Kadang isinya bukan belajar, malah dipekerjakan di pertanian), Olmsted kecil bisa mengakses buku-buku berkualitas dari rumah neneknya dan perpustakaan Hartford. Olmsted senang membaca, tetapi juga senang berada di alam. Keluarganya membiasakan pergi ke alam terbuka di pinggir kota untuk menikmati suasana. Dua kegiatan ini (membaca dan menikmati alam) sangat berpengaruh membentuk karakter Olmsted.
Olmsted bukan tipe pelajar. Dengan keingintahuannya yang besar, dia lebih cocok menjadi explorer. Dia hanya mau tekun mempelajari sesuatu yang memang menarik untuknya. Karenanya, dia tidak mengenyam pendidikan formal yang teratur seperti layaknya anak-anak keluarga berada lainnya, tidak seperti adiknya yang kemudian bersekolah di Yale untuk menjadi dokter, misalnya.
Tetapi hidup Olmsted penuh petualangan, baik fisik maupun sosial intelektual. Ia berlayar ikut kapal dagang ke Cina, sempat mampir di pulau Jawa dan berlabuh di Anyer. Ia bergaul dengan grup pertemanan adiknya di Yale yang kemudian menjadi teman-teman baiknya seumur hidup. Bahkan ia sempat ikut kuliah (dengan status special student observer) di Yale meskipun cuma 3 bulan. Lalu ia belajar scientific farming dengan serius dari seorang ahli pertanian, dan membuka lahan pertaniannya sendiri. Kemudian ia, adiknya, dan Brace, seorang teman Yale-nya, mengunjungi Inggris dan berjalan-jalan di daerah pinggiran yang hijau. Di sana Olmsted mengunjungi sebuah taman kota umum dan ia terkesima melihat taman tempat orang-orang dari berbagai kelas sosial menikmatinya bersama-sama. Ia juga mengunjungi taman dari sebuah kastil, dan tidak suka dengan susahnya akses memasuki taman itu bagi publik. Ini menjadi cikal bakal visinya bagi Central Park: sebuah taman publik bagi semua orang.
Semua petualangannya ini didukung penuh secara materi oleh ayahnya yang sangat menyayanginya.
Olmsted yang tidak bisa diam kemudian mencari petualangan baru. Ia dipekerjakan oleh suratkabar New York Daily Times yang baru berdiri (di masa depan menjadi New York Times), untuk pergi ke selatan dan meliput tentang situasi perbudakan. Pada masa itu isu abolisi perbudakan sedang memanas antara Utara dan Selatan. Olmsted sendiri awalnya memandang abolisi seharusnya dilakukan secara gradual, karena budak-budak yang mendadak bebas tidak punya pendidikan dan skill yang cukup untuk hidup mandiri. Opini ini cukup populer di masa itu. Tetapi sambil berkeliling di perkebunan di Selatan dan melihat sendiri situasi perbudakan di sana, Olmsted berubah pikiran. Berbeda dengan sentimen anti perbudakan pada umumnya yang berdasarkan moralitas, Olmsted memandangnya dari segi ekonomi. Perbudakan adalah sistem yang tidak efisien. Tanpa insentif, budak tidak punya keinginan untuk bekerja. Selain itu, orang-orang kulit putih pun jadi kehilangan skill dan keinginan bekerja juga, karena ‘bekerja itu urusan budak’. Olmsted adalah orang yang sangat menghargai kerja. “Pantas saja infrastruktur di Selatan sangat buruk dan tidak ada yang berusaha memperbaikinya,” lapor Olmsted.
Percakapannya dengan para budak yang ditemuinya juga ikut mengubah pandangannya tentang perbudakan. Meskipun ada budak-budak yang tidak mau bebas (kebetulan tuan tanahnya baik?), tetapi banyak yang ingin bebas dan memiliki tanah garapan sendiri. Sebuah insiden penyiksaan budak mengeraskan pendirian Olmsted untuk mendukung abolisi.
Pulang dari perjalanannya ke Selatan, Olmsted kembali ke New York dan mencari pekerjaan baru. Kala itu New York sudah memutuskan area yang akan dijadikan Central Park, dan membutuhkan superintendent untuk urusan pembersihan area. Olmsted melamar dan diterima. Awalnya orang yang didapuk untuk merancang taman ini adalah Andrew Downing, seorang perancang taman terkemuka. Namun dalam perjalanan kapal ke New York, ia tenggelam. Maka diputuskanlah untuk mengadakan kompetisi perancangan Central Park. Calvert Vaux, seorang arsitek didikan Inggris, yang juga asisten Andrew Downing, mengajak Olmsted bekerjasama. Sebagai superintendent Central Park, pengetahuan Olmsted tentang lahan sangat berguna dalam perancangan. Namun peran Olmsted dalam kemitraan ini lebih dari itu. Ia lebih pandai bicara dan bernegosiasi daripada Vaux, ia punya banyak koneksi media, ia berpengetahuan luas tentang tanaman dari pengalamannya bertani, dan ia bisa menangkap ‘genius loci’ (spirit of the place) dan mengekspresikannya dalam rancangan lansekap. Tidak heran jika kemudian publik menganggap Olmstedlah arsitek utamanya (sesuatu yang di kemudian hari membuat Vaux jengkel).
Singkat kata, rancangan Vaux dan Olmsted menang kompetisi, dan Central Park mulai dibuka untuk publik 11 Desember 1858.
Sementara itu, tulisan-tulisannya di New York Daily Times (yang kemudian dibukukan, juga diterbitkan di Inggris) membantu mempengaruhi opini publik di Utara dan di Inggris untuk mendukung abolisi perbudakan.
Pertentangan soal perbudakan ini memuncak menjadi Perang Saudara.
Lagi-lagi Olmsted tidak bisa berdiam diri. Meskipun pada saat itu ia baru mengalami patah tulang, ia ingin melakukan sesuatu untuk negara. Dari pengalamannya di Central Park, terbukti Olmsted ternyata berbakat sebagai manajer. Ia kemudian ikut mengorganisir United States Sanitary Commission, suatu badan perbantuan kesehatan dan logistik bagi para prajurit di medan perang, bekerjasama dengan biro medis pemerintah. Begitu penting peran USSC, sampai seorang sejarawan mengatakan USSC inilah yang ikut berjasa melahirkan American Red Cross di masa depan.
Masih panjang petualangan Olmsted setelah perang. Ia pindah ke California menjadi manajer tambang emas yang ternyata bangkrut. Di sana ia ‘menemukan’ keindahan Yosemite dan lalu ikut berjuang menjadikan tempat itu taman nasional yang dilindungi, supaya tidak diakuisisi oleh pengusaha-pengusaha tambang. Kembali ke Timur, ia yang sekarang sudah terkenal sebagai perancang Central Park, ditawari proyek-proyek perancangan taman dan kota di banyak tempat. Di Buffalo, NY, selain merancang taman ia juga aktif memperjuangkan daerah seputar Niagara Falls yang tidak teratur. Ia dan Vaux juga menawarkan rancangan lansekap bagi banyak kota, institusi, dan orang-orang kaya. Ada yang tembus, tapi banyak juga yang tertunda atau ditolak. Brooklyn, Chicago, Albany, Providence, Maine College, Yale, Tarrytown, semua pernah jadi objek rancangan Olmsted & Vaux.
Bahkan Branch Brook Park Newark, New Jersey, tempat saya piknik di bawah cherry blossom tiap musim semi, pun awalnya adalah rancangan Olmsted, meskipun realisasinya tertunda dan baru puluhan tahun kemudian dikembangkan oleh anaknya, FLO Jr.
Karena suatu hal Vaux dan Olmsted pisah kemitraan dan jalan sendiri-sendiri. Vaux yang arsitek merancang bangunan-bangunan di New York City sementara Olmsted fokus di lansekap. Di masa ini Olmsted merancang lansekap Stanford University, Capitol grounds, dan Biltmore Estate milik keluarga Vanderbilt. Dan di akhir hayatnya ia merancang area Chicago World Fair (White City) dan jaringan area hijau Emerald Necklace kota Boston.
***
Hidup Olmsted berawal di Connecticut dan berakhir di Massachusetts. Pas sekali saya selesai baca buku ini ketika sedang melewati Connecticut dalam perjalanan kereta ke Massachusetts.
Saya pikir perjalanan hidup Olmsted ini sangat inspiratif dan luar biasa. Ia menyentuh hidup banyak orang dan mereformasi struktur kehidupan sosial di Amerika melalui tulisan dan karya-karyanya. Baginya keindahan alam adalah anugerah Tuhan yang berhak dinikmati semua orang, tidak peduli kaya atau miskin, tidak peduli strata sosialnya. Selain itu, Olmsted sudah berpikir tentang konservasi lingkungan di saat Amerika sedang bersemangat membuka dan mengakuisisi lahan. Karenanya semua rancangannya dibuat dengan publik dan perlindungan lingkungan sebagai fokusnya (Makanya buat saya jadi ironis bahwa di Indonesia, Central Park adalah nama mall, hehehe).
Penulis Justin Martin, juga berhasil membuat buku ini sangat memikat untuk dibaca. Bacanya betah meskipun tebalnya hampir 500 halaman. Saya tempatkan sejajar dengan Walter Isaacson dan Stephen Budiansky sebagai penulis biografi yang sukses.
Buku ini saya pikir penting buat dibaca para arsitek, untuk inspirasi spirit keadilan sosial dan lingkungan dalam perancangan.
Ada satu lagi pelajaran penting yang saya tangkap dari biografi Olmsted: privilege. Ya, privilege itu jelas ada. Tanpa ayah yang berkelebihan dalam materi, tanpa status sosial yang tinggi, tanpa koneksi media, banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh Olmsted. Tetapi Olmsted memanfaatkan privilege-nya dengan sebaik-baiknya, selain bagi dirinya juga bagi banyak orang lain yang tidak seberuntung dirinya.
Setiap kita punya privilege, tidak selalu berupa materi, tetapi juga situasi, kondisi, dan kesempatan.
Privilege saya, salah satunya, adalah akses ke buku-buku ilmiah populer yang bagus-bagus dan susah dicari di Indonesia. Maka mengikuti spirit Olmsted, sudah sepantasnya saya memanfaatkan privilege ini untuk minimal berbagi pengetahuan dalam bentuk review.
Belajar dari Olmsted, mari kita manfaatkan privilege kita untuk kebaikan bersama. Anda kaya? Anda cerdas? Banyak koneksi? Manfaatkan kekayaan, kecerdasan, dan koneksi anda untuk membantu orang, lingkungan, negara, dunia. Dengan seperti inilah kita bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam.
“Where your talents and the needs of the world cross, there lies your vocation” – Aristoteles