Ternyata hari ini adalah #BiodiversityDay dan pas sekali saya baru selesai baca buku tentang biodiversity dari pakarnya, E.O.Wilson, yang dijuluki “the father of biodiversity”.
Half-Earth: Our Planet’s Fight for Life
Edward O.Wilson
Liveright Publishing (2016)
259 hal
E.O.Wilson adalah pakar biologi dan evolusi/sejarah alam (naturalist) dengan spesialisasi studi mirmekologi/persemutan sehingga dijuluki “Ant Man”. Ia juga penulis handal, merupakan satu dari hanya dua penulis yang pernah 2 kali menerima penghargaan Pulitzer bidang Nonfiksi Umum.
Buku ini merupakan bagian terakhir dari trilogi buku-buku Wilson yang membahas tentang bagaimana spesies manusia menjadi penguasa bumi, dengan membawa konsekuensi bagi segala lapisan kehidupan di alam. Buku pertama adalah The Social Conquest of Earth, dan The Meaning of Human Existence (dua2nya belum saya baca, tapi diterangkan sekilas di awal buku ini).
Half-Earth berusaha mengedepankan argumen bahwa kita harus menyisihkan setengah bagian planet Bumi untuk konservasi dan ‘dibiarkan apa adanya’ tanpa diolah manusia. Hanya dengan begitu keragaman hayati bisa dipertahankan keseimbangannya, yang saat ini sudah sangat timpang. Laju kepunahan spesies bergerak sangat cepat sejak kemunculan spesies Homo Sapiens, akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali.
Aktivitas seperti apa yang menghancurkan itu? Ilmuwan konservasi menyingkatnya dengan HIPPO:
– Habitat destruction
– Invasive species (termasuk spesies flora dan fauna yang dibawa manusia dan menghancurkan spesies lokal)
– Pollution
– Population growth. Wilson mengatakan bahwa pernyataan ini memang sangat tidak populer, tapi “we MUST really slow down”. Tentu saja reproduksi itu penting, katanya, tapi mbok ya pikirin juga sumber daya penunjang hidup manusianya. Jangan “keep on multiplying like rabbits”, memangnya nanti makan minumnya dari mana kalau penduduk Bumi terlalu banyak?
– Overhunting
Wilson menyayangkan bahwa sebagian ilmuwan menganggap bahwa kepunahan spesies itu memang ‘sudah waktunya saja’ dan kita harus ‘adapt and move on’ serta mengatasinya dengan teknologi. Ia menganggap pandangan ekstrim ini ceroboh dan berbahaya, karena menurutnya dari keseluruhan spesies di Bumi ini hanya sedikit sekali yang sudah kita ketahui baik identitasnya maupun perannya bagi kehidupan, jadi manusia sebaiknya tidak sok tahu.
Ia membandingkan dengan bidang neurosains. Ilmu phrenologi jaman dulu yakin bahwa pikiran bisa dipelajari melalui bentuk tengkorak kepala, sementara ilmuwan jaman sekarang menyadari bahwa masih banyak sekali yang tidak kita ketahui tentang cara kerja otak, sehingga harus hati-hati mengambil langkah-langkah yang berkaitan dengannya.
“Bersikaplah hati-hati seperti itu!” kata Wilson.
Yang juga menarik di buku ini diceritakan tentang usaha restorasi ekosistem yang dilakukan oleh 2 pengusaha kaya yang peduli lingkungan. MC Davis dari Florida menyelamatkan ekosistem spesies Pinus Palustris di daerah teluk Mexico, sementara Gregory Carr dari Idaho merestorasi Taman Nasional Gorongosa di Mozambique. Jadi hal seperti ini bukan tidak mungkin, tetapi perlu diusahakan.
Karena saya baru minggu lalu selesai baca buku “What Has Nature Ever Done For Us?” (https://www.facebook.com/bookolatte/posts/171132141952352) yang juga mengulas tentang biosfer dan biodiversity, jadi membaca buku ini seperti membaca kembali beberapa bagian dari buku Juniper, tetapi yang ini lebih ilmiah dan ‘biologi banget’. Banyak sekali istilah biologi dan nama-nama latin di dalamnya, tidak seperti buku Juniper yang lebih umum.
Tapi intinya sama, mengutip kata-kata Wilson: “We are (the Earth’s) steward, not their owners.”
“The universe is not human centric. Every life form has a role to play — that’s the beauty of it.” – Sadhguru
Selamat Hari Keberagaman Hayati Internasional.
NB: buku ini banyak menampilkan ilustrasi flora dan fauna dari abad 17-19 yang menggunakan teknik pen & ink, koleksi berbagai museum. Bagus-bagus banget.