Carlo Rovelli adalah fisikawan teori ternama Italia yang studinya fokus di bidang gravitasi kuantum. Ia juga adalah salah satu fisikawan yang merumuskan teori Loop Quantum Gravity, yang berusaha menyatukan relativitas umum dan mekanika kuantum.
Selain itu, ternyata ia juga merumuskan tafsiran sendiri atas mekanika kuantum, yang lain dari tafsiran Copenhagen atau Many-Worlds yang sudah banyak dikenal. Ia merumuskan Relational Interpretation of Quantum Mechanics, yang menjadi inti dari buku ini.
Disclaimer: saya nggak akan pura-pura ngerti apa yang dibahas di buku ini. Rovelli sendiri di halaman depan mendedikasikan buku ini kepada Ted Newman (Ezra T.Newman, seorang fisikawan ternama) “who made me understand that I did not understand quantum theory”. Fisikawan saja mengaku nggak ngerti, apalagi saya.
Jadi review ini lebih tentang kesan saya membacanya ya.
Helgoland: Making Sense of The Quantum Revolution
Carlo Rovelli
Riverhead Books (2021)
233 hal
“On the island of Helgoland…Werner Heisenberg lifted a veil. An abyss opened.”
Judul buku ini diambil dari nama kepulauan Helgoland di Laut Utara, tempat Werner Heisenberg di usianya yang baru 23 tahun, berhasil menyingkap misteri perilaku elektron dalam orbit atom (menandakan ‘kelahiran’ mekanika kuantum) ketika ia sedang menyepi di musim panas tahun 1925 untuk memulihkan diri dari alergi.
Penemuan tersebut kemudian diperbaiki dan dikembangkan bersama-sama dengan Max Born dan Pascual Jordan yang menghasilkan paper terobosan di dunia fisika kuantum, yang kemudian dikenal dengan ‘matrix mechanics’. Wolfgang Pauli dan Paul Dirac kemudian juga berkontribusi mengembangkannya lebih jauh.
Buku ini terbagi menjadi 3 bagian besar (meskipun bukunya kecil). Bagian pertama “A Strangely Beautiful Interior” membahas mekanika kuantum sebagai ilmu baru yang misterius: sejarah kelahiran mekanika kuantum dan perkembangan awalnya, apa itu fisika kuantum, bagaimana para fisikawan berusaha memahami pengetahuan baru yang ‘aneh’ ini. Bagaimana Schrödinger menemukan ‘wave mechanics’, sebagai cara lain memahami dunia kuantum. Ke depannya Heisenberg dan Schrödinger memperdebatkan tafsirannya masing-masing.
Bagian kedua membahas fenomena-fenomena dalam fisika kuantum dan tafsiran-tafsirannya. Di sini dibahas tentang superposisi, Many Worlds (yang katanya saat ini sedang ‘fashionable’ di sebagian kalangan filosof, fisikawan teori dan kosmolog), Hidden Variables (tafsiran dari deBroglie-Bohm), Physical Collapse (tafsiran Copenhagen), dan QBism atau Quantum Bayesianism. Menurut Rovelli, semua tafsiran ini masih seperti pengulangan debat antara Schrödinger dan Heisenberg, yang satu menghindari ketidakpastian dan probabilitas, yang satu terlalu bergantung pada ‘observer’.
Bagi Rovelli, di sini tafsirannya berbeda. Menurutnya, fenomena-fenomena kuantum perlu dilihat dari relasi antara satu bagian dari semesta terhadap bagian semesta lainnya. Fenomena kuantum kan tidak hanya terjadi ketika ilmuwan di laboratorium mengamatinya, ia terjadi setiap saat, mau diamati atau tidak. Yang diamati dan pengamatnya, juga alat pengukurnya, semua adalah bagian dari semesta. Karenanya, menurut tafsiran Rovelli, teori kuantum sebenarnya “cara bagaimana suatu bagian semesta mewujudkan dirinya terhadap bagian semesta lainnya”. It exists only through its interaction.
“Quantum theory is the theory of how things influence each other. And this is the best description of nature that we have”
Ia juga menjelaskan fenomena entanglement dalam tafsiran Relation, yang menurutnya harus dilihat dalam relasi relatif terhadap pihak ketiga. “The apparent incongruity raised by what seemed like communication at a distance between two entangled objects was due to neglect of this fact: the existence of a third object that interacts with both the systems is necessary to give reality to the correlations. Everything that manifests itself does so in relation to something.”
Bagian ketiga berisi renungan Rovelli tentang apa yang dia pelajari tentang fisika kuantum sejauh ini, ketika ia sampai pada penafsiran Relational Interpretation. Menurutnya tafsiran ini sangat cocok dengan filosofi Buddhis tentang kekosongan, emptiness, bahwa segala wujud di semesta tidak punya eksistensi yang berdiri sendiri (kosong), melainkan melalui relasi terhadap wujud lainnya.
Sampai di sini saya langsung inget bukunya Dalai Lama The Universe In A Single Atom, karena beliau menyatakan seperti itu juga tentang teori kuantum. Silakan dibaca reviewnya di sini https://www.facebook.com/bookolatte/posts/142634178135482
Menarik sekali kesimpulan Rovelli. Pertama karena menurut Wikipedia, Rovelli ini adalah atheis. Tetapi dalam buku ini Rovelli mengatakan bahwa seseorang, terutama ilmuwan, harus siap mengubah cara pandangnya, termasuk pandangan metafisika, ketika ia mempelajari hal baru.
“I believe that we need to adapt our philosophy to our science, and not our science to our philosophy.”
Saya membaca buku ini membayangkan “Oh mungkin ‘just another book on quantum physics'” tetapi ternyata saya salah. Ini lebih cocok sebagai buku filsafat atau spiritualitas.
Buku kecil pendek yang sangat menarik.
NB: Saya baru tahu kalau Carlo Rovelli ini beberapa kali bekerjasama menerbitkan paper dengan fisikawan-fisikawan ITB.
Yang juga menarik adalah, ketika bekerja dengan problem kuantum ini, Heisenberg, Jordan, Dirac, Pauli, semua berusia 20an. Pendidikan jaman itu gimana ya, kok di usia segitu mereka sudah memecahkan persoalan-persoalan mendalam?? Belum lagi kalau mengingat Einstein, Gödel, juga kasusnya sama. Atmosfir akademik Eropa awal abad 20 pasti sangat spesial 😮