Kebanyakan orang menganggap bahwa Homo Sapiens adalah puncak penciptaan, hasil akhir dari proses evolusi mahluk hidup selama jutaan tahun. Kita, Homo Sapiens, merajai bumi, mengubah lingkungan, dan menguasai teknologi. Kita telah tumbuh dari mahluk tak penting dalam tatanan kehidupan bumi, menjadi penguasa tunggal paling mulia.
Tapi, bagaimana kalau Homo Sapiens mengambil alih proses evolusi dan menciptakan spesies manusia baru, sang Homo Deus yang jauh lebih tangguh, sehat, dan cerdas? Jika manusia memiliki kekuatan para dewa, apakah dia masih bisa disebut manusia?
Homo Deus: The Brief History of Tomorrow
Yuval Noah Harari
Harvill Seker 2016
514 halaman
Setelah memukau pembaca dalam buku Sapiens, pak Yuval kali ini memancing kontroversi yang jauh lebih besar. Bagaimana jika manusia menjadi dewa? Bagaimana jika manusia bisa hidup abadi, memiliki kebijaksanaan sangat luas, dan mampu menciptakan bintang? Sebagian orang mungkin tertawa mendengar premis ini. Ya ya, mimpi aja kau. Tapi perjalanan teknologi di abad modern ini betul-betul menunjukkan bahwa semua impian itu mungkin. Sangat mungkin! Di buku tebal ini, pak Yuval merinci semua bukti bahwa manusia sudah nyaris menjadi dewa. Apa saja buktinya?
Perang, kelaparan, bencana dan wabah, adalah tiga hal yang menjadi momok mengerikan bagi umat manusia sepanjang sejarah. Mereka adalah penghapus populasi. Namun dengan keajaiban teknologi, semua penyebab kematian massal itu sudah terkendali. Keajaiban kedokteran modern sudah berhasil mengendalikan penyakit, baik wabah maupun penyakit individu. Buku ini ditulis sebelum pandemi Covid, tapi pak Yuval pasti menambahkan keberhasilan kita menghalau Covid sebagain contoh kemajuan kedokteran. Usia harapan hidup semakin meningkat. Saat ini, orang berusia 50 masih segar dan aktif bekerja. Usia nonproduktif bahkan diganti bukan lagi 60 tahun, tapi 70 bahkan 80 tahun. Kalau mau, dokter bisa mempertahankan badan kita tetap hidup, jauh setelah otak kita berantakan karena pikun. Itupun masih bisa diakali dengan kemajuan neurosains terkini. Toh jiwa (dianggap) cuma hasil dari reaksi impuls listrik di otak. Apa susahnya memindahkan kesadaran dari tubuh yang rusak ke wadah baru, ke tubuh robot, misalnya?
Kelaparan di masa lalu bisa membunuh jutaan orang. Saat pemerintah komunis Cina salah ambil kebijakan pertanian, sepuluh juta petani mati kelaparan tanpa sepengetahuan pemerintah pusat. Sekarang dunia terikat dalam network informasi yang kuat. Kekurangan pangan di satu daerah bisa diatasi dengan cepat dengan pengiriman bantuan pangan. Teknologi pertanian pun terus diperbaiki untuk menciptakan tanaman (dan ternak) yang mampu memberi hasil lebih banyak daripada pendahulunya. Kelaparan saat ini bukan masalah teknik pertanian, tapi masalah politik.
Bagaimana dengan perang? Walaupun perang tetap mengerikan dan mencabik rasa kemanusiaan, perang modern adalah perkara sekumpulan elit pemegang tombol senjata, bukan lagi masalah jumlah tentara. Cyberwar membawa kerusakan jauh lebih besar daripada perang senjata, dan cyberwar hanya butuh beberapa menit untuk memporakporandakan seluruh negara, bahkan mungkin seluruh benua. Perang bukan lagi upaya untuk membunuh musuh secara langsung, melainkan memicu kepanikan massal yang membuat musuh menghancurkan dirinya sendiri.
Lalu, siapa atau apakah Homo Deus di tatanan dunia yang makin rumit ini?
Homo Deus adalah manusia yang kecerdasan dan kesehatannya telah dipercanggih, sehingga kematian adalah masalah teknis atau kesialan, bukan alamiah. Kecerdasannya bisa memproses data jauh lebih banyak daripada manusia, yg saat ini kalah main catur melawan komputer. Dengan kecerdasan dan rentang hidup yang lama, dia bisa mengakumulasikan kekayaan dan kebijaksanaan jauh melebihi manusia biasa yang paling tua hidup satu abad saja. Bumi mungkin menjadi tempat main yang membosankan baginya, dia lebih suka main-main dengan kekuatan bintang. Manusia yang menggenggam kekuatan dewa.
Jika Homo Deus mewujud, kemanakah Homo Sapiens? Pak Yuval bilang, saat mobil tercipta, apa yang terjadi dengan kuda sebagai alat transportasi?
Terus terang, buku ini berat banget dibaca. Bukan karena tebal, tapi karena sangat menyerempet keyakinan agama. Walaupun begitu, buku ini sangat penting untuk memahami dunia modern yang kita tinggali saat ini. Tentu saja, kalau mau paham ya. Kalau lebih suka tenggelam dalam gambaran dunia dua, empat, bahkan belasan abad lalu, ya jangan dibaca.
Berbahaya, hehehehe.