Houston, We Have A Narrative : Why Science Needs Story
Randy Olson
Univ. of Chicago Press (2015)
260 hal
Bayangkan situasi seperti ini:
Ilmuwan mengeluh “Ini publik kok susah amat memahami pentingnya sains. Akibatnya kebodohan massal.”
Publik mengeluh “Ilmuwan ini kok susah amat ngejelasin kerjaannya. Garing, bosenin, ya males lah dengerin kalian.”
Di satu sisi ilmuwan ingin publik tercerahkan, di sisi lain sebenarnya publik pun ingin mengerti, namun sayang ada miskomunikasi di antara mereka. Ilmuwannya ‘terlalu akademik’, berkomunikasi dengan istilah-istilah rumit yang sulit dimengerti, malah kadang dengan sikap angkuh merasa paling pintar, tidak merasa perlu mendengarkan saran orang lain.
Mana bisa berharap publik yang awam “Kalian dengarkan saja supaya mengerti.”
Apa bahayanya jika ilmuwan tidak mengomunikasikan ilmunya secara efektif? Salah satunya, media jadi membesar-besarkan hal yang tidak tepat, dan publik akan salah tangkap.
Buku ini ditulis Randy Olson, seorang ilmuwan, doktor biologi kelautan yang sempat mendapat posisi dosen tetap (tenure) di universitas, namun meninggalkannya untuk…sekolah film di Hollywood. Aneh ya?
Namun dari pengalamannya ini ia mendapatkan pencerahan mengenai masalah di dunia akademik: ilmuwan, kalian perlu mengemas caramu menyajikan ilmu agar orang lain mau mendengarkan dan mengerti pentingnya! Tidak ada yang mau mendengarkan kalau disajikan secara berbelit-belit dan membosankan. Jangankan publik, sesama akademisi pun tidak.
Di sini Hollywood bisa menjadi guru.
Apakah ilmuwan lalu harus jadi entertainer? Tidak begitu. Tetapi, menurut Olson, kalau ingin komunikasi sainsnya efektif, aturlah penyampaiannya dalam suatu struktur yang simpel tapi jelas.
Ia memberi nama metodanya ABT: And, But, Therefore. Ini bukan suatu metoda baru, kurang lebih seperti Thesis-Antithesis-Synthesis -nya Hegel, atau struktur standar suatu cerita Beginning-Middle-End. Namun dengan penyederhanaan dalam template ABT, kita akan lebih mudah mengenali strukturnya.
Olson mengajarkan metoda ABT ini dalam workshop bagi para profesional dan mahasiswa di berbagai institusi dan universitas. Tidak hanya melatih penyampaian presentasi dalam seminar, juga memperbaiki struktur menulis paper ilmiah untuk jurnal atau proposal dana riset.
Ada beberapa contoh kasus yang diceritakan di buku ini, misalnya ketika ia bekerjasama dengan 2 ilmuwan senior bidang kelautan. Tadinya mereka menolak mengemas ulang presentasi mereka, karena “Biasanya juga gini, kami udah sering”. Tapi ketika akhirnya mereka setuju dan bekerjasama menerapkan metoda Olson (termasuk mengganti judul seminar “Responding to Sea Level Rise” yang garing dan membosankan menjadi “Sea Level Rise: New, Certain, and Everywhere” yang lebih jelas dan terasa urgensinya) presentasinya sangat sukses.
Di bab lain Olson juga menganalisa beberapa abstrak dari paper ilmiah. Ada yang terlihat strukturnya jelas, ada yang strukturnya AAA (And And And), dengan kata lain monoton dan membosankan. Sementara ada juga yang strukturnya DHY (Despite However Yet), alias tidak fokus.
Ia memberi contoh tulisan ilmiah yang bagus, jelas, dengan struktur yang kuat: paper Watson&Crick dan buku Double Helix James Watson. Terlepas dari berbagai problem etika dan kontroversi Watson, dia pandai mengomunikasikan ilmunya.
Di akhir buku Olson menyarankan para ilmuwan melatih kemampuan narasinya, karena semakin dilatih maka skill ini akan semakin otomatis dan intuitif. Kalau mungkin ajarkan teknik komunikasi sains di kampus sejak tingkat undergraduate, supaya ke depannya ilmuwan punya skill yang cukup untuk mengomunikasikan ilmu mereka secara lebih efektif kepada publik.
If you care about your work, you’d care about how it’s communicated.
Catatan pribadi:
Karena saya punya beberapa buku tentang teknik kepenulisan (termasuk “They Say, I Say” yang juga direkomendasikan Olson), saya cukup familiar dengan hal-hal yang dibahas di sini. Tapi buku ini menarik karena ditulis oleh orang yang berpengalaman baik di dunia akademik maupun di dunia storytelling, dikhususkan bagi para ilmuwan dan dunia akademik, dan metodanya sangat sederhana.
Mungkin tepat kata Leonardo da Vinci yang dikutip di buku ini, “Simplicity is the ultimate sophistication.”