Cart

Your Cart Is Empty

How Architecture Works : A Humanist Toolkit

How Architecture Works : A Humanist Toolkit

image

Author

Ani

Published

Januari 20, 2024

How Architecture Works : A Humanist Toolkit

Witold Rybczynski
Farrar, Strauss and Giroux (2013)
355 hal

Baca buku ini rasanya “jamais vu”, merasa asing terhadap sesuatu yang seharusnya familiar (kebalikan dari “deja vu”, di mana kita merasa familiar terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kita temui).
Sebagai lulusan jurusan arsitektur, seharusnya saya familiar dengan topiknya. Tapi kok nggak ya?

Setelah membaca dua bab, baru sadar alasannya : buku ini membahas teori-teori arsitektur dalam bentuk studi kasus yang rata-rata membahas bangunan-bangunan di Amerika Utara. Karenanya saya tidak begitu familiar, karena saat kuliah dulu nama-nama arsiteknya hanya diajarkan di mata kuliah Arsitektur Modern atau Struktur tahun ketiga. Dan saya dulu bukan mahasiswa yang rajin baca buku referensi arsitektur modern 😁

Witold Rybczynski adalah arsitek Kanada-Amerika, profesor di University of Pennsylvania (dan sebelumnya di McGill University Montreal), sepanjang hidupnya banyak menulis tentang arsitektur di majalah dan suratkabar, serta menulis buku-buku populer tentang arsitektur yang ditujukan BUKAN untuk sesama arsitek, di antaranya adalah buku ini.

Menurutnya, buku “How Architecture Works” ditulisnya untuk membantu pembaca non-arsitek supaya mendapat gambaran apa yang dikerjakan oleh arsitek dari segi praktis dan estetis, dalam usaha memahami apa dan bagaimana arsitektur itu.

Di buku ini ia menjabarkan sepuluh topik yang berkaitan dengan arsitektur dan bagaimana para arsitek kontemporer mengolahnya.
Tiga topik pertama adalah mengenai hal-hal yang paling mendasar:
ide perancangan; setting, berkaitan dengan lokasi bangunan relatif terhadap sekitarnya; dan site, ini lebih tentang dengan lokasi geografis dan bentang alamnya, berkaitan dengan kontur tanah, arah sinar matahari,dll.
Empat topik berikutnya adalah tentang berbagai aspek ekspresi desain seorang arsitek:
denah, struktur, fasade atau kulit luar sebuah bangunan, dan detail.
Tiga topik terakhir membahas gaya dan selera arsitektur, serta pengaruh masa lalu/sejarah/tradisi dalam arsitektur.

Rybczynski fokus membahas bangunan-bangunan yang pernah ia kunjungi sendiri, karenanya hampir semuanya adalah bangunan-bangunan di Amerika Utara dan Eropa.
Para arsitek yang banyak dibahas di buku ini antara lain adalah Mies van der Rohe, Alvar Aalto, Le Corbusier, Frank Lloyd Wright dari generasi modernis awal, kemudian para arsitek kontemporer di antaranya Frank Gehry, Robert Stern, Renzo Piano, Louis Kahn, Norman Foster, Philip Johnson, Eero Saarinen, James Stirling, Robert Venturi.

Buat saya pribadi, ini seperti mengulang kuliah Arsitektur Modern-nya pak Eko Purwono, tapi kali ini saya memperhatikan pelajaran, dan rajin membaca referensi. Menarik sekali mempelajari bagaimana setiap arsitek melakukan beragam pendekatan desain untuk setiap proyeknya. Ada yang menggabungkan tradisi dan modern, ada yang membuang tradisi jauh-jauh, ada yang berangkat dari fungsi (form follows function), ada yang berangkat dari bentuk luar, denahnya belakangan (seperti Frank Gehry).

Kadang suatu desain tampak bagus dalam skala maket, namun ketika bangunannya sudah jadi, ternyata gagal menjalankan fungsinya dengan baik, seringkali karena si arsitek terlalu mengedepankan ide/konsep alih-alih fungsi. Contohnya, sebuah perpustakaan dengan dinding kaca, membuat para pustakawan protes karena sinar matahari langsung merusak buku, karenanya rak-rak buku harus dijauhkan dari dinding, mengurangi area efektif. Atau sebuah area baca yang tampak muram karena arsiteknya bersikeras menggunakan material beton ekspos yang dingin dan warna redup. “Rasanya seperti berada di basement saja.”
Baru-baru ini diberitakan tentang sebuah museum/galeri karya Mies van der Rohe di Berlin yang sebenarnya tidak berfungsi dengan baik sebagai sebuah museum, justru karena pilihan desain arsiteknya.

James Stirling berpendapat, seorang arsitek seharusnya tidak melulu memikirkan ekspresi atau teknik tertentu (gaya arsitektur tertentu) sebagai solusi arsitektur. Pertimbangan manusiawi (pemakainya) harus tetap menjadi prioritas utama pengembangan desain.
“Jangan terkurung oleh style,” kata Renzo Piano. “Salah satu keindahan arsitektur justru karena tergantung dia ada di mana, kapan, dan untuk apa. Arsitektur adalah cermin sebuah momen, dan manusia pemakainya.”

Karena semua topik dibahas melalui studi kasus, dan memperlihatkan bagaimana setiap arsitek mengolah ‘bahan’ yang sama menjadi karya yang berbeda, Rybczynski secara langsung dan tidak langsung mengemukakan pendapatnya tentang arsitektur, bahwa tidak ada satu pendekatan arsitektur yang paling benar. “Benar” bagi satu arsitek, bisa jadi “salah” bagi arsitek lain.

Renzo Piano menyatakannya dengan tepat: “This is what you get when you (the architect) are yourself and they are themselves.”

“Meskipun saya sulit menerima suatu bangunan yang gagal menjalankan fungsinya, atau tidak mempedulikan lingkungannya, atau buruk konstruksinya, tidak berarti saya tidak bisa menghargai berbagai pendekatan desain para arsitek. Saya harap semua yang telah saya jabarkan di sini, dapat membantu memahami keragaman ini,” tutup Rybczynski.

===

Setelah membaca buku ini, saya jadi berpikir tentang ‘romantisme arsitektur’ vs ‘pengalaman arsitektur’. Maksudnya bagaimana?
Seperti yang ditulis Rybczynski di buku ini, bahwa “lukisan dan patung adalah karya seni yang bisa dinikmati secara mandiri, namun karya arsitektur selalu, tidak bisa tidak, menjadi bagian dari sebuah tempat.”
Seringkali kita melihat karya arsitektur para arsitek ‘top’ hanya dari foto, tetapi ketika kita kunjungi, barulah kita bisa mengalami dan menyerap secara keseluruhan efek arsitektur dari bangunan tersebut. Sesuatu yang tampak ‘wow’ di foto, atau yang terasa ‘wow’ di pikiran karena ‘karya arsitek top lho’, bisa jadi setelah dikunjungi menghasilkan efek yang berbeda. Begitupun sebaliknya.

Saya tinggal tidak jauh dari 3 bangunan karya Mies van der Rohe. “Wow”? Hmmm… meskipun pada masanya bisa jadi rancangannya memang sesuai ‘zeitgeist’, tapi yang saya lihat dan alami, bangunan kotak tersebut adalah komplek apartemen menengah ke bawah yang sekarang kurang terurus, dan berada di daerah hiruk pikuk lalu lintas mobil dan kereta komuter. Bangunan apartemen berdinding kaca permanen tanpa bukaan yang membuat hawa tak tertahankan saat musim panas dan musim dingin.

Kemarin saya ke Jersey City, karena ingin tahu daerah Hamilton Park yang (kalau lihat di foto) banyak bangunan brownstone bagus. Secara individual, ya, memang bangunannya banyak yang bagus. Tapi kalau memperhatikan faktor sekelilingnya, jalan-jalan satu arah yang macet dan penuh kendaraan parkir (karena tidak ada garasi), hiruk pikuk suara klakson, trotoar yang tidak rata, saya pikir ini daerah yang tidak nyaman untuk ditinggali.

Cerita lain yang ada hubungannya, saya baca di artikel tentang Rybczynski (bukan di buku ini), ketika ia dihadiahi kursi rancangan seorang arsitek ternama yang sudah lama diidam-idamkannya. Ternyata setelah didudukinya, “Ah, ternyata nggak nyaman duduk di sini”.

Hal seperti ini pula yang membuat “barang bermerk” bisa berjaya, ketika romantisme menang dari fungsi.
Kadang romantisme ide perlu ‘dibangunkan’ atau ‘diturunkan ke bumi’, dipertemukan dengan realita melalui pengetahuan dan pengalaman manusiawi.

Join Us

Book

O Latte

Follow IG untuk membaca review kami

Join Us on Spotify

Our Location

My Place

The place I like the most

Get Direction