Mungkin sebagian besar dari kita hanya tahu fotosintesis dari pelajaran SD, sebagai proses di mana “klorofil di daun menyerap cahaya matahari untuk memasak makanannya sendiri agar tetap bertahan hidup”, lalu melupakannya seolah-olah tidak berhubungan dengan hidup kita sehari-hari. Padahal menurut ilmuwan biokimia Raffael Jovine, fotosintesis bukan semacam proses ‘sampingan’ sebagai reaksi dari bertemunya cahaya, air, dan udara. “Justru fotosintesislah mekanisme terpenting dalam kehidupan di Bumi.”
How Light Makes Life: The Hidden Wonders and World-Saving Powers of Photosynthesis
Raffael Jovine
The Experiment (2022)
240 hal
Raffael Jovine adalah ilmuwan biokimia dan biofisika molekul dari Yale, doktor ilmu kelautan dari UC Santa Barbara dan periset di MIT. Sejak kecil ia tertarik dengan ‘keajaiban’ fotosintesis, yang dapat mengubah sinar matahari menjadi energi kimia. Selama puluhan tahun ia belajar dan meneliti fotosintesis, dan tahun 2013 mendirikan perusahaan yang memanfaatkan air laut, sinar matahari, dan angin untuk menghasilkan makanan di pesisir gurun Afrika dan Arabia, dengan memanfaatkan fotosintesis tumbuhan alga.
Fotosintesis adalah mekanisme konversi sinar matahari menjadi energi kimia, yang melibatkan serangkaian proses biologi yang rumit. Sayangnya ternyata buku ini tidak ditulis pak Jovine untuk mengeksplorasi proses biologi fotosintesis (padahal saya justru ingin tahu bagian ini, haha!), melainkan untuk menjelaskan betapa luarbiasanya proses alam yang biasanya tidak kita pikirkan ini, bagaimana dampak hebatnya bagi kehidupan, dan bagaimana potensi besarnya untuk mengatasi perubahan iklim serta menyembuhkan ekosistem planet Bumi.
Sampai 400 tahun yang lalu, manusia tidak tahu bahwa tanaman membutuhkan sinar matahari untuk tumbuh. Dikiranya mereka ‘makan’ tanah saja. Baru setelah abad 17, lambat laun mulai muncul pemahaman itu. Dimulai dari seorang ilmuwan yang mencoba mengetes apa benar tanaman makan tanah (akhirnya ada yang penasaran!) dengan menanam sebuah pohon di pot tertutup yang terukur berat tanahnya. Setelah 5 tahun ditimbang lagi, ternyata tanahnya hanya berkurang 50 g padahal berat pohon bertambah 70 kg. Kesimpulannya waktu itu “Oh, tanaman nggak makan tanah, melainkan minum air!”.
Kemajuan ilmu pengetahuan abad 19 mendorong pemahaman lebih mendetail tentang bagaimana tanaman tumbuh. Hal ini dimotori 3 ilmuwan Jerman dan Prancis, yang menemukan berturut-turut: pupuk kimia (ternyata tanah bisa dinaikkan kemampuan produksinya); keberadaan kloroplast, penyerapan karbondioksida, pentingnya cahaya untuk produksi pati di daun dan membangun struktur tanaman; dan bagaimana persamaan kimia proses fotosintesis. Nama ‘fotosintesis’ sendiri baru diciptakan oleh seorang ilmuwan Amerika di akhir abad 19, untuk menjelaskan suatu ‘proses menghasilkan senyawa karbon kompleks dari asam karbonat dengan bantuan klorofil dan cahaya’.
Dengan semakin canggihnya saintek, sekarang ilmuwan tahu lebih banyak tentang fotosintesis:
1. Secara umum fotosintesis berarti “sebuah proses di mana cahaya diserap dan disimpan oleh suatu organisme, dan energi yang tersimpan itu digunakan untuk menggerakkan berbagai proses sel yang membutuhkan energi”.
2. Organisme yang dapat melakukan fotosintesis berperan sebagai produsen utama dan menjadi dasar rantai makanan di planet Bumi.
2. Organisme yang dapat melakukan fotosintesis bukan hanya tanaman hijau di daratan. Ada banyak jenis organisme lain yang berperan penting dalam menyeimbangkan siklus kimia, nutrisi, dan energi global.
Bagian paling menarik buat saya di buku ini adalah bab “Sun Powered Changes to Earth” yang menceritakan bagaimana fotosintesis mengubah planet Bumi yang tadinya berupa planet batu, air, dan gas, menjadi planet bertanah subur yang memangku ragam kehidupan.
Ketika makhluk hidup mulai muncul di Bumi, berupa mikroorganisme bersel satu, tidak ada yang bisa ‘dimakan’ selain apa yang ada di sekitarnya. Apa yang ada? Air, gas, mineral, dan cahaya matahari. Jadi itu yang menjadi ‘makanan’ mereka. Lalu muncul cyanobakteri, yang dengan bantuan energi matahari mampu memecah air dan menghasilkan oksigen sebagai ‘limbah’nya. Karena air banyak tersedia di Bumi, cyanobakteri mulai menguasai planet karena dia punya skill yang tidak dipunyai bakteri lain. Mereka ‘makan’ sumber karbon di udara dan laut dengan rakus, pelan-pelan mengubah atmosfer Bumi, menyuplainya dengan oksigen. Ia juga membersihkan laut yang tadinya merah kecoklatan oleh unsur besi, menjadi bening karena oksigen mengikatnya menjadi endapan yang tenggelam ke dasar laut. Setelah atmosfer bersih dan jumlah oksigen banyak, mulailah organisme berevolusi semakin besar dan kompleks, merambah seantero planet, mengubah batu menjadi tanah, dan terus berkembang.
(Wow, tanpa proses ini di masa awal Bumi kayaknya kita nggak bakalan ada ya!)
Karena oksigen semakin memenuhi atmosfer, karbondioksida dilahap oleh cyanobakteri, dan fotosintesis jenis lain yang menghasilkan metan kalah, maka berkuranglah jumlah gas penghangat bumi. Terjadilah Zaman Es.
Hmmm… dari sini sudah tertangkap belum kira-kira argumen pak Jovine selanjutnya? Ya, ini sangat berkaitan dengan masalah besar yang sedang kita hadapi bersama yaitu pemanasan global akibat kenaikan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Inti argumen pak Jovine adalah bahwa fotosintesis merupakan senjata paling ampuh untuk mengatasi pemanasan global, jika saja kita memanfaatkannya sebaik-baiknya, dengan cara memelihara para ‘photosynthesizers’ sebaik-baiknya, sebanyak-banyaknya, sebisa mungkin. They are our greatest allies. Merekalah yang mampu ‘memakan’ kelebihan CO2 di atmosfer dan menyimpannya, membersihkan udara, dan dalam prosesnya menurunkan suhu global.
Tapi apa yang terjadi selama ini? Manusia menghancurkan habitat para photosynthesizers ini, baik di darat maupun di laut. Pohon ditebangi, hutan dibakar dan digunduli, laut dikuras. Manusia tidak menyadari bahwa mereka menghancurkan hal yang justru melindungi dan melestarikan kelangsungan hidup mereka. Para photosynthesizer darat dan laut yang memberi hidup (memangnya manusia bisa hidup tanpa menghirup oksigen?), memberi makan, tapi disia-siakan. Tragis kan? Sekarang kita merasakan akibatnya.
Jadi melalui buku ini pak Jovine ingin meyakinkan bahwa tanpa kita sadari, kita punya senjata penyembuh pemanasan global: penuhi Bumi dengan para photosynthesizer. Tentu, ilmuwan juga sedang mengupayakan teknologi-teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis. Namun sebenarnya kita tidak usah menunggu teknologi-teknologi canggih yang menghabiskan jutaan dolar ini. “Plant more trees, everywhere we can,” tulis Jovine. Setiap orang bisa ikut andil menanam tanaman. Mau di balkon rumahnya, di halaman belakang, ataupun bekerjasama dalam gerakan menanam jutaan pohon seperti yang telah dilakukan di India, Ethiopia, dan Pakistan.
“We can be the solution. Harvest the light and make our planet grow again,” pesan Jovine.