*Mengapa pandangan sempit mengenai identitas bisa memicu tindak kekerasan?*
Kekerasan dan Identitas
Penulis: Amartya Sen
Terbit pertama tahun 2006, penerbit edisi bahasa Indonesia: Margin Kiri, 2016
Tahun 1940, sebuah kerusuhan meledak di India. Amartya Sen, saat itu berusia 11 tahun, menyaksikan seorang buruh ditusuk di depan rumahnya. Sambil menunggu ayahnya memanggil ambulans, dia menemani Kader Mia, sang buruh yang sekarat di pangkuannya. Kader Mia adalah seorang buruh miskin. Dia terpaksa keluar rumah di tengah kerusuhan karena keluarganya tak punya apapun lagi untuk dimakan hari itu. Namun nasibnya sungguh buruk. Dia bertemu segerombolan buruh Hindu, dan ditusuk. Kader Mia muslim. Sampai dewasa, Amartya Sen yg muslim, dihantui oleh pertanyaan: ‘mengapa sesama buruh yang sama-sama miskin, tiba-tiba kehilangan solidaritas sesama buruh, bahkan sesama manusia, hanya karena yang satu Hindu dan yang satu Muslim?’ Hal ini tidak hanya terjadi antara dua orang berbeda agama, tapi juga pada suku Hutu vs Tutsi, Sunni vs Syiah, Irlandia vs British. Kenapa masalah identitas malah jadi bahan bakar kekerasan, padahal seseorang bisa memiliki banyak identitas?
Buku ini ditulis berdasarkan pertanyaan tersebut. Buku ini juga merupakan kritik keras pada buku Samuel Huntington ‘Benturan Peradaban’. Sen menegaskan bahwa tesis Huntington bermasalah sejak awal, karena membedakan peradaban dunia semata berdasarkan pembagian agama, dan juga pembagian teritorial. Seolah dunia secara murni terbagi-bagi dalam ‘peradaban Kristen barat’, ‘peradaban Islam timur tengah’, ‘peradaban Hindu India’, ‘peradaban Buddhis timur jauh’. Tidak hanya itu, Huntington juga menghayalkan bahwa masing-masing peradaban ini otomatis saling bermusuhan satu sama lain! Padahal, sejarah membuktikan bahwa dunia berjalan dengan metode yang sama sekali berbeda. Amartya Sen mengambil India sebagai contoh. Dia menggugat pelabelan India sebagai ‘pusat peradaban Hindu’, karena India sesungguhnya memiliki jumlah penganut Islam kedua terbesar di dunia, hanya dikalahkan oleh Indonesia. Begitupula warga Kristennya, yang jumlahnya melebihi banyak negara yang mayoritas Kristen. Budaya India sendiri merupakan campuran berbagai budaya sejak ribuan tahun lalu, dimana masing-masing sudah tercampur dan terintegrasi sedemikian rupa. Di masa modern, jarang sekali orang India memandang sesamanya dengan identitas berdasar agama, kecuali orang-orang ekstrimis yang menginginkan ‘India untuk Hindu saja’. Dalam lingkup lebih luas, Sen mengingatkan bahwa apa yang dibanggakan Barat sebagai ‘pencapaian gemilang Eropa’ yaitu sains dan demokrasi, sesungguhnya merupakan sumbangan dari berbagai kebudayaan selama ribuan tahun. Sistem bilangan desimal dari India, dikembangkan oleh ilmuwan muslim, barulah diperkenalkan ke Eropa. Diluar itu, baik Cina maupun Jepang punya sistem sains mereka sendiri yang tak kalah maju. Mengklaim bahwa sains merupakan hasil kerja budaya Barat semata, adalah sangat menggelikan.
Sen juga menggugat anggapan bahwa peradaban yang berbeda cenderung bermusuhan. Dunia tidak akan bisa semaju sekarang jika tidak ada kerjasama perdagangan dan pertukaran budaya masif antar pelaku peradaban. Agama-agama telah menyebar dan berkembang jauh dari tempat lahirnya. Teknologi pertanian sudah campur baur sedemikian rupa. Kertas yang ditemukan di Cina sudah mendorong kemajuan peradaban di seluruh dunia. Jika ada peperangan antar bangsa atau antar pemeluk agama, penyebabnya ada di masalah politik dan sosial yang dibentuk oleh kondisi lokal. Diluar daerah perang, dunia berjalan damai dan lancar.
Di buku ini, Sen juga mengingatkan bahwa sikap anti Barat berakibat jauh lebih buruk bagi peradaban lainnya. Sikap ini justru mendorong radikalis dari tiap agama dan negara untuk bertindak kejam. Yang lebih parah lagi, menolak segala hal yang berbau Barat malah membuat terjadinya penolakan pada sains dan demokrasi, dua hal yang justru diperlukan bagi manusia di mana pun. Sen memberi contoh ekstrim di Afrika, di mana kolonialisme Eropa telah meninggalkan jejak yang sangat buruk. Tapi ketika negara-negara Afrika merdeka, kondisi tidak segera membaik karena mereka malah membenci sains dan demokrasi. Akibatnya penyakit merajalela dan kekuasaan dipegang oleh tiran-tiran kecil. Harus disadari bahwa sains dan demokrasi adalah suatu yang universal, tanpa harus dianggap sebagai buah karya suatu ras tertentu. Oh ya, Sen juga menceritakan contoh praktek demokrasi dari Raja Asoka yang jauh lebih maju daripada praktek yang dilakukan di Yunani yang dianggap sebagai tempat lahir demokrasi.
Akhirnya Sen menekankan bahwa seseorang bisa memiliki banyak identitas: muslim, pemain biola, penggemar sepak bola, pekerja kantor, seorang ayah, dll. Mencap seseorang murni sebagai salah satunya hanya akan memutus jaring kemanusiaan. Menggunakan hanya satu identitas untuk memprovokasi benturan antar manusia itu sangat jahat.
Semoga kita terhindar dari pandangan picik seperti itu.