Eric Weiner jadi spesialis menulis tentang topik rumit dengan bahasa kocak yah. Saya curiga kalau dia sengaja memilih topik yang memberinya alasan untuk bepergian keliling dunia, hahaha. Kali ini, Eric memilih topik agama sebagai alasan agar dia bisa mengunjungi pusat-pusat agama di dunia, walaupun ternyata kebanyakan bisa ditemui ‘di halaman belakang rumahnya’, masih di Amerika juga.
Apa hasil investigasi Eric soal agama? Mari kita baca buku kocak ini!
Man Seeks God: Mencari Tuhan ke Berbagai Penjuru Dunia
Eric Weiner
Edisi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh penerbit Mizan, 2016
496 halaman
Saat terbaring lemah di rumah sakit gara-gara masalah pencernaan, Eric mendapatkan pertanyaan tak terduga dari seorang perawat. ‘Sudahkah kamu menemukan Tuhanmu?’ begitu katanya. Sang perawat bertanya sepintas lalu, tapi pertanyaan itu melekat di benak Eric jauh setelah kejadiannya. Eric, yang terlahir di keluarga Yahudi, secara tradisional bisa dibilang menganut Yahudi. Tapi dalam kehidupannya, agama Yahudi hanya muncul beberapa kali dalam upacara religius standar. Eric bertengkar dengan adiknya, seorang Yahudi taat, karena Eric melontarkan kelakar sinis soal agama. Lama sekali Eric tidak memikirkan agama, sampai kejadian di rumah sakit menggugah pemikirannya.
Aku butuh Tuhan, begitu kesimpulannya.
Tapi…. Tuhan yang mana?
Eric enggan untuk kembali ke akar Yahudinya. Jadi buku ini ditulis dengan gaya seorang laki-laki yang menulis iklan untuk menemukan jodoh di kolom jodoh surat kabar: ‘Laki-laki, putih, lagi bingung: mencari Tuhan.’ Tiap bab membahas satu agama, diawali dengan ‘iklan jodoh’ yang menuliskan kriteria Tuhan yang sesuai dengan agama yang dibahas. Agama yang di’icip-icip’ oleh Eric: Sufisme, Buddhisme, Fransiskan, Raelisme, Taoisme, Wicca, Syamanisme, Kabbalah. Ya, pada akhirnya Eric mencoba kembali ke agama lamanya lewat Kabbalah, sekte mistik Yahudi.
Eric memang tidak membahas agama secara luas, misalnya seluruh agama Islam, tapi hanya memilih bagiannya saja yaitu Sufisme. Lagi pula, untuk tiap agama dia hanya punya waktu beberapa minggu untuk riset. Walau begitu, kisahnya membuka wawasan menarik soal agama dan perilaku penganutnya. Misalnya, untuk mendalami agama Buddha, setelah Eric jauh-jauh datang ke Nepal, dia disarankan untuk mencari Lama bijak yang saat itu malah sudah bermukim di Amerika. Ya, diam-diam Amerika sudah jadi pusat baru untuk banyak agama. Agama masih sangat laku di Amerika. Segala macam jenis agama ada perwakilannya di sana.
Oh ya, yang disebut ‘icip-icip’ agama adalah bergabung dengan ritual agama misalnya Sema (tarian sufi), meditasi Buddha, doa kegiatan amal Fransiskan, tai chi Taoisme, seminar dan workshop Raelisme. Eric juga diajak menghayati jiwa hutan dan ritual sihir Wicca, lalu menemukan ruh binatang pelindung diri lewat Syamanisme. Sebagai pembaca dengan latar belakang agama yang ‘serius’, membaca kisah Eric tentang ritual agama Raelisme, Wicca, dan Syamanisme, rasanya lucu, absurd, tapi juga ada unsur liar yang menyenangkan. Ternyata agama-agama di dunia itu sangat beragam ya!
Lalu, Tuhan apa yang akhirnya berjodoh dengan Eric?
Ternyata dia tidak memutuskan menganut agama apapun. Di akhir buku dia hanya menuliskan bahwa dia mendapat pelajaran baik dari setiap agama. Mungkin dia akan ‘mengambil satu unsur dari tiap agama’ untuk kebutuhan yang berbeda-beda. Kalau butuh ketenangan dia bermeditasi, kalau butuh tenang sekaligus sehat dia ber-tai chi, kalau lagi ingin senang-senang dengan agak liar dia ikut seminar Raelisme. Setidaknya, sampai Tuhan yang berjodoh dengannya betul-betul ‘menyapa’ Eric lewat suatu pengalaman spiritual kuat, begitu katanya.
Ya, membaca buku ini jangan terlalu serius dan jangan terlalu cepat menghakimi. Buku ini merangkum fenomena beragama yang beragam, berbagai konsep tentang Tuhan, begitu pula berbagai jenis jalan hidup yang ditawarkan. Kita bisa saja sangat yakin agama kita paling benar, tapi orang lain pun punya keyakinan sama dalamnya tentang kebenaran agamanya, atau meyakini bahwa yang paling cocok untuknya adalah tidak beragama sama sekali.
Lalu, kita juga bisa mengajukan pertanyaan yang sama buat diri kita sendiri. Apakah kamu sudah menemukan Tuhanmu?
-Ani-