Walaupun buku ini termasuk buku lama karena terbit tahun 1983, namun isinya menarik untuk dibaca. Sayang sekali, versi terjemahan ini sangat buruk. Semua masalah penerjemahan muncul di sini: istilah ilmiah yang diterjemahkan secara tidak tepat, anekdot yang diterjemahkan langsung tanpa melihat konteks, dan pembentukan kalimat bahasa Indonesia yang sebenarnya hanya menerjemahkan bentuk kalimat bahasa Inggris. Buku ini sangat tidak nyaman dibaca. Saya berhasil membacanya sampai tamat hanya karena saya sudah membaca banyak buku mengenai fisika kuantum, sehingga saya bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang dibicarakan. Buku ini saya review, tapi tidak saya rekomendasikan untuk dibaca versi Indonesianya.
Mencari Tuhan dengan Fisika Baru (God and the New Physics)
Paul Davies
Terjemahan Indonesia diterbitkan oleh Nuansa Cendekia, 2020
321 halaman
Paul Davies telah banyak menulis buku bertema kosmologi, astrobiologi, dan fisika kuantum. Tidak seperti fisikawan lain yang enggan mengaitkan fisika dengan Tuhan, Paul Davies memanfaatkan temuan-temuan kuantum untuk menggali pertanyaan filosofis tentang Tuhan. Di buku ini dia mengajukan pertanyaan: ‘bagaimanakah temuan fisika terbaru mempengaruhi gagasan kita mengenai penciptaan alam semesta dan Tuhan?’
Buku ini terbit pertama kali tahun 1983. Cukup ‘tua’ untuk sebuah buku ilmiah populer, mengingat cepatnya perkembangan teknologi belakangan ini. Salah satu yang membuat saya senyum-senyum membacanya adalah bab yang membahas kesadaran. Pak Davies menulis bahwa ‘… sampai saat ini (1983), komputer hanya mampu mengerjakan komputasi algoritma sederhana, walaupun harus diakui bahwa komputasi tersebut dilakukan dengan akurasi dan kecepatan sangat tinggi. Komputer tidak akan mampu membuat puisi atau membuat gambar.’ Hahaha.
Walaupun demikian, hampir seluruh isi buku ini tidak ketinggalan zaman. Karena walaupun teknologi terapan yang dibuat berdasarkan temuan kuantum telah sangat maju, namun teori dasarnya tetap merupakan misteri besar. Sampai saat ini, fisikawan tidak bisa memahami sepenuhnya dunia kuantum dengan segala perilakunya, karena memang diluar intuisi mental manusia. Hanya dengan bantuan matematika, fisikawan dapat menggambarkan dunia kuantum. Seperti yang telah dibahas dalam buku-buku lain dengan tema fisika kuantum, kebanyakan fisikawan lebih memilih untuk menghitung secara praktis saja daripada berusaha memahami dunia kuantum. Yang penting bagaimana caranya memanfaatkan sifat kuantum untuk teknologi, daripada pusing mempertanyakan mengapa sifat kuantum begini dan begitu.
Lalu, apa yang ditawarkan oleh penemuan dunia kuantum bagi kepercayaan akan Tuhan?
Paul Davies mengekplorasi hal-hal berikut dalam bukunya:
– Kejadian (penciptaan)
– Apakah Tuhan menciptakan alam semesta?
– Apakah kehidupan itu?
– Akal dan Jiwa
– Diri
– Waktu
– Free will dan determinisme
– Kebetulan atau perencanaan
– Mukjizat
– Berakhirnya alam semesta (kiamat)
Semua topik ini terpengaruh oleh fakta empiris yang ditemukan oleh fisika kuantum. Kehidupan, akal, jiwa, identitas diri kita, dianggap terpengaruh karena diri fisik, otak, serta aliran listrik di otak adalah fenomena kuantum, terbuat dari atom-atom. Dulu hal-hal seperti ini merupakan wilayah perdebatan filsafat metafisik. Saya jadi teringat perdebatan legendaris antara Imam Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd mengenai apakah alam semesta selalu ada, abadi, ataukah bermula dalam waktu. Di zaman hidupnya dua filsuf Islam terkemuka itu, informasi mengenai alam semesta sangat sedikit, sehingga perdebatan panas tersebut tidak didukung bukti-bukti empiris. Namun di masa kini, teori Big Bang telah sangat kuat, sehingga alam semesta pasti memiliki awal. Walaupun demikian, teori Big Bang pun memiliki beberapa kelemahan. Teori ini tidak bisa menjelaskan mengapa alam semesta kita seperti ini adanya. Mengapa kekuatan nuklir antar atom harus tepat sekian (jika meleset, maka alam semesta hanya akan berisi sup quark yang tidak membentuk atom), mengapa harus ada perbedaan jumlah materi dan anti materi (sehingga lagi-lagi, bisa tercipta galaksi, bintang, dan planet), dan mengapa perimbangan kritis antara kekuatan gravitasi dan kekuatan lontaran Big Bang adalah sedemikian rupa sehingga alam semesta kita tidak robek? Tidak ada penjelasan memuaskan mengenai hal ini. Tapi teori Big Bang didukung data-data empiris, sehingga kalau ada orang yang masih mengatakan bahwa alam semesta tidak punya awal, tentu pendapatnya akan dianggap mengada-ada.
Apakah ini berarti fisika mendukung pandangan kitab suci (Injil, Al-Qur’an)?
Ternyata tidak sesederhana itu. Temuan fisika kuantum tidak berhenti pada momen penciptaan alam. Secara alamiah, fisikawan bertanya pula ‘apa yang terjadi sebelum Big Bang?’. Teori gelembung multiverse pun muncul. Lalu saat menginvestigasi daya-daya yang ada dalam atom, muncul String Theory. Temuan fisika membuat pengetahuan kita mengenai alam semesta meluas hingga keluar batas alam yang kita ketahui saat ini. Betul bahwa kita tidak tahu apa-apa mengenai sesuatu yang berada dibalik horizon semesta, ataupun yang ada sebelum waktu (dalam fisika kuantum, waktu dianggap tercipta bersamaan dengan alam semesta). Tapi kita mulai bisa menduga-duga, tinggal menunggu datangnya bukti-bukti empiris seiring perkembangan teknologi.
Ternyata dengan kemajuan fisika, kita masih belum dapat memastikan apakah alam semesta ini diciptakan oleh pencipta super cerdas, ataukah semuanya hanya proses kebetulan yang alamiah. Pada akhirnya, semua diserahkan pada pilihan keyakinan masing-masing. Salah satunya tentang konstanta kosmologis (Cosmological Constant), yaitu angka-angka ajaib yang muncul di alam semesta seperti yang disebutkan di atas: angka kekuatan ikatan nuklir atom, angka perimbangan kekuatan gravitasi dengan gaya nuklir dan elektromagnetik, angka laju luruhnya proton, dan lain-lain. Semua konstanta kosmologis harus tepat sekian, jika tidak, alam semesta kita tidak akan bisa mengembangkan galaksi, bintang, dan planet tempat manusia hidup. Dapat dikatakan bahwa seluruh alam semesta seperti berkonspirasi untuk menciptakan area Goldilock yang tepat dan nyaman untuk dihuni kita, manusia. Tapi apakah keberadaan konstanta kosmologis diterima sebagai bukti adanya Tuhan sang Perancang Agung? Ataukah hanya kocokan dadu keberuntungan di antara multiverse yang tidak terbatas? Silahkan dijawab sendiri.
Yang jelas, bagi orang beriman, temuan fisika tidak menghapus Tuhan, tapi justru membuat Tuhan semakin agung. Jika dulu kita mengira bahwa Tuhan hanya menciptakan alam semesta kita saja, sekarang ada multiverse tak terhingga di luar sana, mungkin dengan hukum alam dan konstanta kosmologisnya masing-masing, semua diciptakan olehNya.
Di sisi lain, Paul Davies mengatakan bahwa orang beriman juga tidak bisa lagi percaya bahwa kisah penciptaan, kiamat, surga dan neraka dalam kitab suci adalah sebuah fakta ilmiah. Menafsirkan kisah-kisah tersebut sebagai alegori adalah jalan yang paling aman, sehingga keyakinan tidak bentrok dengan realitas. Walaupun tentu saja, tidak semua orang beriman menyukai jalan ini.
Di akhir buku, Paul Davies mengatakan bahwa gagasan baru mengenai ruang, waktu, dan materi yang ditemukan fisika kuantum seharusnya tidak diabaikan begitu saja oleh pemikir agama yang serius. Semoga kelak muncul lebih banyak pemikir agama yang juga paham fisika kuantum, sehingga kehidupan beragama lebih dinamis dengan integrasi antara sains dan agama, tanpa harus melalui cocoklogi.
Semoga.
-Ani-