Cart

Your Cart Is Empty

Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality

Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality

image

Author

Ani

Published

Februari 3, 2024

Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality

Max Tegmark
Vintage Books (2014)
398 hal

Our Mathematical Universe adalah buku pertama Max Tegmark, profesor fisika dan kosmologi Swedia-Amerika lulusan UC Berkeley dan pengajar di MIT.

Melalui buku ini ia menyampaikan argumen bahwa matematika bukan sekadar ‘jendela’ untuk memahami realitas. Semesta bukan hanya ‘dijelaskan’ oleh matematika, tetapi justru semesta ini ADALAH matematika, tepatnya suatu struktur matematika.

Buku ini (selain intro) dibagi 3 bagian: Zooming Out, Zooming In, dan Stepping Back.

Bagian intro membahas “What is Reality?”. Inti bab ini adalah, realitas yang utuh tidaklah seperti yang kita pahami, atau, pemahaman kita terlalu sempit. “Benarlah kata Plato dengan analogi bayangan di dinding gua-nya,” kata Tegmark, “fisika modern telah menunjukkan dengan jelas bahwa pada hakikatnya realitas ini tidak seperti yang terlihat.”

Bagian “Zooming Out” mengekplorasi realitas fisik dalam skala besar, dari planet, bintang, galaksi, supercluster, observable universe, dan dunia paralel level I dan II.

Kita diajak memahami di mana tempat kita di semesta dengan membahas jarak bumi ke bulan, ke matahari dan planet-planet lainnya di Tata Surya, ke bintang-bintang dan galaksi lain.
Kemudian kita diajak berjalan mundur menyelidiki awal mula bagaimana terbentuknya tata surya, galaksi, Big Bang, bagaimana semesta berkembang dan bagaimana perkembangannya bisa dijelaskan secara akurat oleh hukum-hukum fisika. Dan karena hukum-hukum fisika ini digambarkan oleh persamaan matematika yang semakin lama semakin presisi, maka bisa dibilang sejarah kosmos kita berupa matematika.
Berhenti di Big Bang? Tidak! Karena ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab oleh teori ini. Ilmuwan terus bertanya “Ada apa sebelum Big Bang?”. Tegmark menyebutnya ‘The Bang Problem: who puts the bang into the Big Bang’.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian terjawab oleh teori Cosmic Inflation dari fisikawan dan kosmolog Alan Guth dan dikembangkan Andrei Linde yang menyatakan kira-kira bahwa semesta kita berkembang seperti bayi, berakselerasi di awal lalu perkembangannya melandai. Akselerasi ini yang mendorong Big Bang. Lalu lewat teorema Borde-Guth-Vilenkin dirumuskan bahwa inflasi kosmos berlangsung terus menerus di segala penjuru, dan memprediksikan bahwa space ini tidak hanya luar biasa besar, malahan tak terbatas.

Inflasi abadi ini memunculkan konsekuensi bahwa semesta kita ini, hanyalah satu dari tak terhingga gelembung semesta yang ada (disebut Level I multiverse). Apapun yang mungkin terjadi, terjadi di suatu tempat di multiverse, yang tak teramati oleh kita saking jauhnya.

Level I-nya sebesar itu, level II lebih besar lagi: multiverse level I yang tak terhingga jumlahnya, dan masing-masing diatur hukum fisika yang berbeda! Ini bukan sekadar imajinasi, melainkan prediksi matematis dari teori Cosmic Inflation.

Bagian “Zooming In” mengeksplorasi realitas fisik dalam skala terkecil, dari atom hingga bagian-bagian terkecilnya, dan bertemu dengan level ketiga dunia paralel.

Tegmark menganalogikan semesta ini sepert Lego, tersusun dari bagian-bagian terkecil. Semua benda tersusun dari atom; atom tersusun dari neutron, proton, dan elektron; dan ternyata mereka ini masih juga tersusun dari bagian yang lebih kecil lagi. Tepatnya atom tersusun dari lepton (termasuk di dalamnya elektron) dan quark, yang masing-masing ada banyak macamnya.

Semua partikel elementer ini dideskripsikan oleh angka kuantum. “Mereka adalah objek matematik murni, dalam artian mereka tidak punya sifat intrinsik apapun selain angka kuantum yang mewakili besar energi dan muatan si partikel,” kata Tegmark. Intinya, semesta tersusun dari struktur ‘Lego’ yang berhierarki, dan yang terkecil adalah objek matematika murni!

Di level kuantum ini, partikel tidak mengikuti hukum fisika Newton, melainkan diatur oleh persamaan Schroedinger, dan ‘keruntuhan fungsi gelombang’ (seperti dalam tafsiran Copenhagen) menyalahi persamaan ini. Konsekuensi dari sini adalah: fungsi gelombang sebenarnya tidak runtuh, melainkan BERCABANG ke dunia paralel. Ini disebutnya Level III multiverse (Yang tertarik dengan pembahasan mendalam tentang ini, baca buku “Something Deeply Hidden” dari Sean Carrol, pernah saya review).

Bagian “Stepping Back” menganalisa apa yang dimaksud dengan ‘realitas’. Menurut Tegmark, meskipun pada hakikatnya realitas itu hanya satu, tetapi ‘perspektif’lah yang membedakannya. Ia membaginya menjadi 3:
– Realitas eksternal yang bisa dijelaskan oleh matematika.
– Realitas internal, yaitu realitas subjektif yang dialami ‘conscious beings’, yang mana hanya berupa bagian kecil dari keseluruhan realitas, dan bisa terdistorsi dengan berbagai cara.
– Di antara keduanya, terdapat ‘realitas konsensus’, yaitu deskripsi realitas dunia fisik yang disepakati semua observer.

Fisika, adalah jalan yang menghubungkan realitas eksternal dengan realitas konsensus, atau dengan kata lain, cara manusia menjelaskan realitas eksternal ke dalam ‘bahasa’ yang dimengerti sesamanya. Bahasa itu termasuk simbol-simbol matematika (ciptaan manusia), TETAPI matematikanya sendiri BUKAN kreasi manusia, ia sudah ada dari sananya, sebagai STRUKTUR SEMESTA. Manusia hanya menemukannya, berusaha memahaminya dan menerjemahkannya dengan bantuan bahasa simbol.

Alexander Vilenkin menunjukkan bahwa melalui quantum tunneling, ‘something’ bisa muncul dari ‘nothing’. ‘Nothing’ di sini secara fisika memang ‘nothing’ karena berupa entitas dengan radius nol, tetapi di sana tetap ada matematika yang mengaturnya. Ya, sebelum ada partikel atau apapun, sudah ada matematika sebagai strukturnya.
Itulah mengapa matematika ada di mana-mana, dan alam semesta bisa dijelaskan oleh matematika, karena pada hakikatnya, semesta ini ADALAH matematika!
Di sinilah multiverse Level IV, ialah keseluruhan struktur matematika yang ada (termasuk di multiverse yang hukum fisikanya berbeda-beda).

Bahasan buku ini berat dan dalam, tetapi relatif mudah diikuti karena dijelaskan tahap demi tahap.

Max Tegmark menuliskan buku ini tidak dengan gaya ‘pakar yang tahu segala’, justru ia menulis sebagai orang yang penuh keingintahuan, banyak bertanya. Katanya ini dipicu oleh kesukaannya membaca buku-buku detektif Agatha Christie, dan juga terinspirasi oleh Richard Feynmann. Ia senang memecahkan misteri. Memecahkan misteri realitas melalui fisika dan matematika menjadi petualangan intelektual dan tujuan hidup “detektif” Tegmark.

Silakan dicari bukunya bagi yang tertarik memahami lebih jauh tentang semesta dan realitas. Dijamin tidak akan mengecewakan.

Join Us

Book

O Latte

Follow IG untuk membaca review kami

Join Us on Spotify

Our Location

My Place

The place I like the most

Get Direction