Maryanne Wolf adalah ilmuwan, guru, dan aktivis gerakan membaca dalam tumbuh kembang anak. Ia meneliti bidang neurosains kognitif dan psikolinguistik berhubungan dengan kegiatan membaca, literasi, dan disleksia; tentang bagaimana proses kerja otak ketika kita membaca, dan apa saja yang mempengaruhi pembentukan ‘reading circuit’ dalam otak.
Sebelumnya ia sudah menulis buku berjudul “Proust and the Squid: The Story and Science of the Reading Brain” (Harper Prennial, 2008), yang membahas secara mendalam tentang proses neurobiologi dalam aktivitas membaca (saya belum baca yang ini). Di buku terakhirnya “Reader, Come Home”, ia membahasnya lebih jauh karena menyadari bahwa era digital telah mengubah cara manusia membaca, dan tentunya pembentukan ‘reading circuit’nya pun akan berbeda.
Reader, Come Home: The Reading Brain in a Digital World
Maryanne Wolf
Harper Collins (2018)
260 hal
Buku ini ditulis dalam bentuk ‘surat kepada pembaca’, terdiri dari 8 surat (bab) yang mengemukakan argumen Wolf tentang pembentukan ‘reading circuit’, bagaimana perubahannya di era digital, bagaimana pengaruhnya bagi generasi ‘digital native’ dan solusi yang ia ajukan.
Di halaman pertama Wolf menyebutkan satu fakta yang jarang kita sadari: bahwa manusia tidak terlahir untuk membaca.
“Human beings were never born to read. The acquisition of literacy is one of the most important epigenetic achievements of Homo Sapiens. To our knowledge, no other species ever acquired it.”
Ya, otak manusia memang punya fondasinya, seperti fungsi berpikir, berbahasa, penglihatan, dll, namun belajar membaca menciptakan sirkuit baru di otak homo sapiens, dan kegiatan membaca memperkuatnya.
Bab 2 membahas secara mendalam proses yang terjadi di otak ketika kita membaca. Ternyata kegiatan membaca, bahkan hanya satu kata saja, mengaktifkan segala penjuru otak: belahan otak kiri dan kanan, keempat lobus (frontal, temporal, parietal, oksipital) di tiap belahannya, dan lima lapisan otak di atas, tengah, dan bawah. Ibaratnya, ketika membaca, seluruh bagian otak ‘menyala’.
Tapi nyala itu cemerlang atau remang-remang, sangat dipengaruhi oleh APA yang dibaca, BAGAIMANA kita membaca, dan DENGAN CARA APA sirkuit tersebut dibentuk (metoda belajar membaca).
“Jika satu kata saja bisa menyalakan tak terhitung neuron, bayangkan apa yang terjadi ketika membaca satu kalimat, esai Nicholas Kristof, puisi Adrienne Rich, cerpen Andrea Barrett, buku linguistik Ray Jackendoff, atau kritik sastra Michael Dirda” tulis Wolf (fyi, semuanya penulis dan linguist peraih penghargaan).
Bab 3 yang membahas Deep Reading bagi saya paling menarik karena topiknya persis dengan apa yang saya pikirkan sejak lama: apa yang terjadi jika manusia makin malas membaca, apakah kita secara kolektif akan kehilangan kemampuan deep reading?
Apa saja yang terjadi ketika pembaca berinteraksi secara mendalam dengan bacaannya?
– Imagery : pembaca ‘memanggil’ kapasitas pembentukan imaji untuk membayangkan apa yang ia baca.
– Empathy : pembaca ‘meminjam’ perspektif tokoh-tokoh yang dibacanya, dan dengan begitu ikut merasakan apa yang dialami mereka, dan meluaskan pengetahuan tentang dunia luar, tanpa mengalaminya secara langsung => meluaskan perspektif, membuka wawasan, menjadi penawar bagi prasangka terhadap mereka yang berbeda.
(disebutkan sebuah penelitian yang mengatakan menurunnya kadar empati di kalangan anak muda dalam 20 tahun terakhir)
– Background knowledge : deep reading menuntut ‘tabungan’ pengetahuan yang memadai, baik itu kosa kata, atau memori dari apa yang pernah dibaca/dialami/dipelajari sebelumnya. Dengan tabungan yang besar, upaya deep reading akan semakin ringan. Semakin banyak seseorang membaca, semakin mudah pula ia melakukan deep reading, karena tabungan pengetahuannya bertambah terus. Sebaliknya, semakin jarang membaca, deep reading akan terasa semakin berat, semakin tidak mampu melakukan refleksi dan proses kognitif mendalam.
“(They) will not know what they do not know,” tulis Wolf.
Mungkin ibaratnya seperti data komputer dalam machine learning: semakin banyak input data, semakin akurat outputnya. Data yang sedikit membuat outputnya melenceng. Komputer yang datanya sedikit tidak tahu bahwa outputnya melenceng, karena tabungan datanya memang cuma seadanya.
– analogy & inference : dengan menerapkan kedua hal ini pembaca berlatih menangkap lapisan-lapisan makna berbeda dari apa yang dibacanya. Dan analogi juga sangat berkaitan dengan background knowledge (data) di atas.
– critical analysis : dengan deep reading pembaca mengerahkan proses berpikir ilmiah yang melibatkan data, analogi, deduksi, induksi, inference, dan mengevaluasi apa yang dibacanya.
“The more we know, the more we can draw analogies, and the more we can use those analogies to infer, deduce, analyze, and evaluate our past assumptions — all of which increases and refines our growing internal platform of knowledge.
The less we know, the fewer possibilities we have for drawing analogies, for increasing our inferential and analytical powers, and for expanding and applying our general knowledge”
Ini dia jawaban pertanyaan saya. Memang benar ternyata, semakin malas membaca, kita akan kehilangan kemampuan deep reading dengan berbagai proses yang terkait dengannya, yang artinya semakin tidak mampu juga berpikir kritis.
“…with harsh implications for our present and future society,” tulis Wolf.
ERA DIGITAL
Memang bagaimana sih bedanya cara kita membaca di era digital dan era medsos ini?
– Dengan banyaknya distraksi saat membaca di komputer, proses deep reading terganggu, karena fokus menjadi ‘tercacah’. Proses-prosesnya tidak selesai. “It is rarely continuous, sustained, or concentrated”. Ibaratnya nyala otaknya kelap kelip. Kualitasnya perhatiannya tidak sama dengan ketika membaca buku cetak.
– Dengan membaca virtual, proses mengenali dimensi spasial ‘di mana saya berada’ juga terganggu. Deep reading membutuhkan proses ‘recurrence’ ini, mengulang kembali apa yang sudah dibaca. Membaca virtual memang susah dibolak-balik halamannya ya.
– Di era digital, memang kita membaca lebih banyak kata. Tapi kualitasnya rendah. Hanya besar di jumlah. Ya bandingkan saja membaca 1000 random tweets dengan membaca 1 esai filsafat.
– Membaca digital membuat kita cenderung membaca zig-zag (baca paragraf awal, tengahnya dibaca sepintas, dan baca paragraf akhir), akhirnya banyak info (dan makna serta proses) yang hilang.
– Membaca digital mendorong kita membaca dengan cepat, dan hal itu membuat kita tidak cukup sabar ketika kembali ke bacaan yang menuntut pemahaman lebih dalam (slower reading process).
Wolf sendiri baru sadar bahwa setelah lama membaca digital untuk riset buku Squid, dia agak sulit kembali membaca buku sastra kesukaannya, karena perbedaan laju membaca yang dibutuhkan ketika membaca digital vs membaca print. Buku tulisan pemenang Nobel literatur itu, tiba-tiba jadi tampak berat dan tidak menarik, bahkan sempat terpikir olehnya “Susah dibaca gini kok menang Nobel”. Perlu 3 kali baginya membaca ulang untuk kembali bisa menikmati buku tersebut.
Kebiasaan membaca online tanpa sadar mengubah perilaku offline.
MEMUPUK PONDASI BILITERASI
Wolf tidak anti membaca digital, tetapi menurutnya kita perlu mengantisipasinya supaya tidak kehilangan skill-skill penting yang didapat dari deep reading membaca buku cetak. Menurutnya sebelum anak ‘terjun’ ke dunia digital, mereka perlu dikuatkan dulu pondasi berbahasa dan sirkuit membacanya. Ia menyarankan beberapa hal, terutama berkaitan dengan bagaimana anak-anak belajar/diajari membaca:
– sampai umur 2 tahun, batasi penggunaan alat elektronik.
– membaca buku fisik bersama orang tua, untuk menciptakan ‘dialogic reading’, komunikasi interaktif yang membangun kemampuan berbahasa dan keterlibatan dengan apa yang dibaca.
– anak yang sudah besar, ada baiknya belajar coding, karena dengan begitu mereka paham pentingnya berpikir logis (yang juga dipakai dalam deep reading)
Intinya di era digital transisi seperti sekarang, anak-anak perlu mempunyai dua kaki yang kuat di kedua dunia, supaya mendapat manfaat dari keduanya.
Alangkah sayangnya jika teknologi yang datang memudahkan manusia, malah membuat kita kehilangan kemampuan berempati dan berpikir kritis yang penting dalam menjalani kehidupan. Karenanya dengan menjelaskan betapa luarbiasanya efek deep reading bagi kita, melalui buku ini Wolf mengajak kita, “Reader, come home.” Sediakan waktu untuk membaca lebih dalam.