Cart

Your Cart Is Empty

REFLEKSI BACAAN 2022

REFLEKSI BACAAN 2022

image

Author

Ani

Published

Februari 13, 2024

REFLEKSI BACAAN 2022p PKK LM
(panjang banget, cuma buat yang mau baca)

Perjalanan membaca saya tahun 2022, yang banyak mestakungnya itu, awalnya didorong oleh rasa ingin tahu tentang kejeniusan, dan ‘kenapa ada konsentrasi kejeniusan di kelompok orang tertentu?’. Buat saya ini nggak masuk akal kalau tidak berhubungan dengan genetik. Karena itulah saya sengaja banyak baca buku tentang jenius, genetika dan hereditas. Tapi ternyata buku-buku topik lain yang nggak sengaja saya cari, mendukung pencarian saya.

Di buku Pattern Seekers, disebutkan bahwa curiosity, atau rasa ingin tahu, atau rasa penasaran, adalah yang mendorong ‘systemizing mechanism’, yaitu mekanisme ‘mencari jawaban’ yang dimulai dengan bertanya, lalu mencari data, mengolahnya dengan logika, reasoning, dan (kalau perlu) eksperimen, dan proses ini diulang terus sampai mendapatkan jawaban atau hasil yang memuaskan (“memuaskan” ini sangat subyektif. Ada yang puas dengan ‘cukup mendekati’, ada yang ‘harus sempurna’).

Saya pikir perjalanan membaca saya taun 2022 itu seperti tahap mencari data. Dalam proses pengolahannya, saya banyak nyari bahan lain via internet, bertanya, diskusi, dan berpikir. Sekarang sepertinya saya sudah dapat kesimpulannya, bukan cuma tentang pertanyaan awal tadi, tetapi juga tentang hal yang lebih luas, yaitu tentang keistimewaan manusia.

Kesimpulannya kira-kira bisa dirangkum dalam beberapa kata kunci yaitu: NATURE, NURTURE, EVOLUTION, PRIVILEGE, COLLABORATION, HIDDEN PATTERNS & SYMMETRIES

***

Setengah jawaban dari pertanyaan awal tadi, saya temukan di buku The Pattern Seekers. Simon Baron-Cohen yang sudah meneliti autisme selama puluhan tahun menemukan pola(!) tipe-tipe manusia dalam skala Empathizing(E)-Systemizing(S), yang distribusinya membentuk simetri bell curve (buku Sam Kean juga menyebutkan distribusi gen dan ekspresinya membentuk simetri bell curve). Neurodiversity muncul dari genetic diversity.
Kesimpulannya kira-kira adalah bahwa otak, cara berpikir, dan kepribadian manusia, sebagiannya ditentukan oleh genetik (buku Paul Nurse juga mengatakan begitu).

Para jenius itu banyak ditemukan di tipe manusia yang kuat/sangat kuat mekanisme systemizingnya, dan ini terkait dengan gen-gen tertentu. Lebih jauh lagi, jika pasangan tipe S/XS ini bereproduksi, besar kemungkinan keturunannya memiliki karakteristik yang sama dan mungkin lebih ekstrim. Di skala S-XS ini kejeniusan banyak muncul, karena berisi mereka yang terlahir dengan kemudahan mencari pola (Pattern Seekers!). Mengapa banyak jenius musik? Karena musik itu pola. Mengapa anak kecil yang naturally curious itu biasanya mudah belajar bahasa? Karena bahasa itu pola. Kenapa banyak prodigy matematik? Karena matematika bicara pola dan struktur.

Apakah lalu orang lain tidak bisa mencapai level smart seperti jenius itu? Teorinya sih bisa saja, tapi karena faktor genetik, para jenius itu punya kelebihan, yang berkaitan dengan principle of least action => energi untuk melakukannya lebih sedikit, jadi lebih mudah bagi mereka untuk mencapainya. Jadi bagi mereka yang tidak mempunyai kelebihan yang sama, energi/usaha yang dibutuhkan lebih besar, waktunya bisa jadi lebih lama untuk mengenali/menemukan/memahami pola yang sama.

But it can be done, karena potensinya ada. Masa? Lho iya kan, otak rata-rata orang punya systemizing mechanism yang bisa dipicu kerjanya dengan BERTANYA, disambung dengan proses BERPIKIR dengan dipandu LOGIKA. Jadi bisa, tapi harus dikerjakan.
Kalau nggak mau bertanya dan berpikir, ya sulit.

***

Jawaban yang setengahnya lagi saya temukan di tiga buku terakhir yang saya baca di 2022, yaitu bukunya Mario Livio tentang simetri, buku Sam Kean tentang DNA, dan buku Paul Nurse “What is Life?”.

Dari buku Mario Livio saya jadi tahu bahwa bangsa Babilonia sudah bermatematika aljabar dari 4000 tahun yang lalu. Selain bermatematika (=berlogika), mereka juga menulis dan membaca. Semua kegiatan ini mengubah anatomi otak, memperkuat area-area tertentu, dan bisa diturunkan ke generasi-generasi sesudahnya.
Buku Sam Kean lebih detail menjelaskan sebuah studi yang menemukan mutasi gen-gen tertentu puluhan ribu tahun yang lalu yang bertanggung jawab atas perkembangan otak dan membuat Sapiens merajai Bumi dengan sangat cepat di satu rentang waktu tertentu, dan rentang waktu itu bertepatan dengan munculnya peradaban-peradaban kuno: di Mesopotamia/Middle East, Mesir, India, Cina, Amerika Selatan.

Ini jawaban pertanyaan saya. Mengapa banyak konsentrasi jenius pada kelompok orang tertentu (bisa dicek ras para prodigies, paling banyaknya orang mana: Yahudi, Eropa, Cina, India, Persia). Ya karena mereka keturunan kelompok-kelompok manusia yang pertama-tama develop systemizing mechanism di otaknya. Jadi wajar kalau generasi-generasi berikutnya juga kuat dan semakin kuat. Di luar kelompok itu tentu saja ada juga jenius lainnya, tapi seperti bell curve, ada konsentrasi di tengah, dan melandai di ujung-ujungnya.
Nature, nurture, (+mutation), & evolution membuatnya begitu.

Lho itu yang Amerika Selatan gimana? Di sini peran ‘nurture’ begitu jelas. Mengapa peradaban Amerika Selatan tidak berkembang? Karena hancur. Generasinya terputus. Dihancurkan oleh pendatang Eropa, yang selain membawa penyakit, juga melakukan genosida. Lalu status mereka juga di’turun’kan levelnya menjadi tidak setara, karena orang kulit putih Eropa merasa superior. Para pendatang mengeksploitasi privilege mereka untuk kepentingan pribadi, selfish motive.

Terus, Arab gimana? Kan Middle East juga? Nurture juga jawabannya. Apakah potensi yang diberi nature itu di-nurture? Dipelihara dengan bertanya, berpikir, dan berlogika? Ataukah bertanya pun dilarang? Kalau bertanya saja tidak boleh, bagaimana mau memulai systemizing mechanism? Bagaimana mungkin potensi ini bisa muncul jika tidak dipelihara?
Arab jenius di abad modern tentu ada, contohnya Sir Michael Atiyah matematikawan pemenang Fields Medal dan Abel Prize.
Sebaliknya, ada juga komunitas Yahudi yang menjauhi sains/matematika dan menganggapnya tidak penting. Potensi ada, tapi tidak dikembangkan.

Nurture the potential, then we’ll see result.

Ah ini kesimpulan yang rasis!

Hehehe… dua buku terakhir menekankan bahwa, ya, memang ada ciri-ciri genetik yang membedakan ras/kelompok etnik. Dan ciri khas ini beda-beda area. Ada yang kuat fisik sehingga jago olahraga, ada yang kuat mikir sehingga jago akademik, ada yang kuat pita suara sehingga suaranya bagus-bagus, dllsb. Ini fakta saja. Tapi fakta ini JANGAN SAMPAI membuat satu ras merasa lebih superior dari ras lain, jangan membuat kita jadi diskriminatif. Ini KESALAHAN yang sudah menodai sejarah manusia sampai sekarang.

Masalahnya manusia itu terlalu menekankan pada identitas luar, seperti ras, negara, agama, dll. Padahal seperti ditekankan Paul Nurse, DNA antar manusia hampir 100% sama, tidak peduli gender, ras, agama, dan status sosial. “Ini fakta kesetaraan yang penting, yang perlu disadari semua orang”
Faktanya, KITA SEMUA BERSAUDARA, sumbernya satu.

Tidak masuk akal mendiskriminasi berdasarkan sesuatu yang ALAMI, dianugerahkan oleh alam (atau Tuhan, bagi orang beragama, silakan tafsirkan berdasarkan kepercayaan masing-masing).
Think about it.

Keistimewaan itu privilege. Dan privilege itu mengandung tanggung jawab di dalamnya, yaitu agar digunakan sebaik-baiknya sehingga pihak lain yang tidak punya privilege yang sama, ikut mendapatkan manfaatnya.
Yang namanya privilege itu bukan untuk dibangga-banggakan, melainkan untuk dipakai dan dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kebaikan, untuk mengangkat dan memajukan umat manusia seluruhnya, menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Gunakan sebaik-baiknya untuk berkontribusi bagi alam seluruhnya, bukan hanya untuk diri sendiri atau kelompok sendiri. Selfless, not selfish. Kenapa? Karena privilege itu bukan hasil karya individu, melainkan diberi. Namun manusia punya kuasa mengolah dan memanfaatkannya.

Jadi harusnya bagaimana memperlakukan keistimewaan ini? Pelihara dengan memberi lingkungan yang tepat, supaya potensi itu bisa berkembang baik dan memberi manfaat. Lalu saling BERKOLABORASI dengan pihak-pihak dengan keistimewaan berbeda, agar BERSAMA-SAMA menaikkan level kehidupan secara keseluruhan.

Saya menganalogikannya seperti sebuah orkestra. Masing-masing punya spesialisasi, entah itu piano, biola, cello, gitar, terompet, oboe, flute, harpa, timpani, ataupun vokal. Tapi semua berkolaborasi, memainkan bagiannya dengan fokus dan sungguh-sungguh, sehingga menghasilkan musik yang harmoni untuk didengar.

Jadi, carilah keistimewaan masing-masing, privilege masing-masing, dan gunakan sebaik-baiknya untuk menjadi manfaat bagi sekitar.
Menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Terakhir, bacaan di akhir-akhir 2022 juga memberi pemahaman bahwa kita tidak bisa hanya mengandalkan panca indera untuk menangkap hakikat realitas. Ada realitas yang tersembunyi dari indera dan persepsi kita yang terbatas. Tapi manusia menyimpan potensi untuk menembus batas itu dan menemukan apa yang tersembunyi di baliknya, yaitu melalui kemampuan ‘seeking’ tadi.

Seek, and ye shall find.

Join Us

Book

O Latte

Follow IG untuk membaca review kami

Join Us on Spotify

Our Location

My Place

The place I like the most

Get Direction