Sebuah review di Amazon mengingatkan bagi yang berniat membaca buku ini: “If you hated biology, are squeamish, or have strong religious beliefs about how the dead must be treated, this book might not be for you.”
Stiff: The Curious Lives of Human Cadavers
Mary Roach
Norton (2003)
303 hal
Mary Roach adalah penulis buku-buku sains populer yang terkenal dengan gaya penulisannya yang ringan tapi teliti, dan penuh humor (susah dijelaskan, harus baca sendiri buku-bukunya). Ini yang membuat saya penasaran dengan buku ini. Topiknya morbid sekali, bagaimana Roach menuliskannya? Namun buku ini dipuji banyak kritikus, so she must be good at it. Buku ini bahkan dicetak ulang tahun lalu.
“Many people will find this book disrespectful,” tulis Mary Roach di awal buku. “Banyak yang beranggapan tidak ada yang boleh dilakukan terhadap jasad orang yang meninggal selain dikubur atau dikremasi. Hal-hal selain itu adalah tidak pantas bahkan kurang ajar. Mungkin menuliskannya pun tidak pantas,” lanjutnya.
“Tetapi buku ini bukan tentang kematian. Kematian adalah hal yang berat dan menyedihkan. Buku ini tentang ‘the already dead, the anonymous, behind-the-scenes dead, ‘the dead of science'”.
Menurut saya, hal-hal yang diceritakan di sini merupakan sesuatu yang familiar (dan memang perlu dipelajari) bagi mereka yang berprofesi dokter, perawat, penyelidik forensik dan semacamnya. It’s a part of science. It’s our own biology. Dan dengan membacanya kita akan bisa melihat betapa besar jasa mereka (jasad yang sudah meninggal) bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
(Catatan pribadi : Dalam review ini saya menggunakan istilah “jasad yang sudah meninggal” atau pendeknya ‘jasad’ saja, alih-alih ‘mayat’ atau ‘jenazah’, karena dua kata terakhir ini menurut saya sudah memiliki kaitan emosi tersendiri yang bisa mengganggu proses review).
***
Bagi Mary Roach, jasad yang sudah meninggal tidaklah sama dengan manusia yang ‘menempati’nya semasa hidup. Jasad adalah asing. Ia bercerita ketika ibunya meninggal, ia serta adiknya menghabiskan waktu satu jam di rumah duka beserta jasad ibunya yang terbaring di dalam peti mati.
“Seeing her cadaver was strange, but it wasn’t really sad. (because) It wasn’t her”.
Menurut Roach, ada banyak hal yang bisa ‘dilakukan’ jasad yang sudah meninggal selain terbaring di kubur. Ya, meskipun sudah mati, jasad masih bisa ‘melakukan sesuatu’, seperti terlibat dalam kemajuan ilmu pengetahuan (didonasikan untuk kepentingan pendidikan kedokteran dan berbagai riset), menjadi bagian dari museum, atau diproses menjadi kompos.
Roach membahas berbagai aspek keterlibatan jasad dalam sejarah ilmu pengetahuan. Jasad berjasa besar dalam riset anatomi karena punya ‘superpower’ yaitu mereka tidak bisa (lagi) merasa sakit. Sebagian besar tentu saja berkaitan dengan ilmu kedokteran, tetapi selain itu juga dalam riset industri mobil (simulasi kecelakaan untuk meneliti trauma fisik terhadap bagian-bagian tubuh tertentu. Riset ini tidak bisa dilakukan terhadap crash test dummy), ilmu forensik, dan riset militer.
Diceritakan sejarah penggunaan jasad untuk mempelajari anatomi sejak ratusan tahun yang lalu. Bagaimana jaman dahulu yang menjadi objek adalah jasad para kriminal yang dieksekusi dan orang-orang miskin yang tidak mampu membayar prosesi pemakaman, dan bahkan jaman dulu para ahli anatomi bekerja sama dengan penggali kubur untuk mendapatkannya, karena pada saat itu belum ada cara lain untuk mempelajari anatomi manusia selain membedah jasad. Begitu banyak praktek-praktek yang bagi kita di jaman modern ini tampak sangat barbar (ehm, membuat kita bersyukur hidup di jaman sekarang ya).
Ada beberapa cerita yang ‘menarik’ (diberi tanda kutip karena sebetulnya juga tragis), seperti ketika Taliban berkuasa, di Afghanistan tidak diperbolehkan melakukan bedah jasad untuk belajar anatomi di sekolah kedokteran. Seorang mahasiswa dengan terpaksa menggali kubur neneknya sendiri, mahasiswa lain menggali kubur tetangganya, untuk pelajaran anatomi. Tentu emosi mereka berkecamuk dalam dilema antara kesedihan dan perasaan harus maju belajar demi menjadi dokter yang ke depannya akan bermanfaat bagi sesama.
Etika penggunaan jasad dalam riset jaman sekarang sudah sangat berubah dari masa lampau. Di sekolah-sekolah kedokteran, mahasiswa diarahkan untuk menghormati jasad yang menjadi objek bedahnya, dan di akhir tahun ajaran (di buku ini diceritakan di University of California San Francisco) mereka mengadakan memorial penghormatan, layaknya memorial dalam proses pemakaman seseorang.
Selain membahas pemanfaatan jasad dalam dunia sains, Roach juga membahas tentang bagaimana hukum menentukan seseorang itu sudah mati atau belum dan hubungannya dengan donasi organ tubuh. Diceritakan suatu kasus kriminal di mana seseorang mati ditembak di kepala tapi jantungnya didonasikan. Si pengacara kriminal tersebut berargumen bahwa “Kalau jantungnya masih berdegup berarti dia belum mati dong? Klien saya nggak bersalah dong?”. Hakim tidak menerima argumen ini dan memutuskan bahwa sesuai dengan keputusan Harvard Medical School tahun 1968 kematian ditentukan oleh ‘irreversible coma’ atau brain death. Sebelum keputusan ini memang dokter sering dituding sebagai pembunuh dalam kasus-kasus donasi organ tubuh.
Roach yang mengobservasi sebuah proses pengambilan organ jantung, hati, dan ginjal seorang pasien yang baru meninggal, mengekpresikan opininya tentang donasi organ :
“She (the patient) has made three sick people well…To be able, as a dead person, to make a gift of this magnitude is phenomenal. Most people don’t manage this sort of thing while they’re alive… Cadavers like her are heroes… (She) has no heart, but heartless is the last thing you’d call her.”
Hal lain yang dibahas di buku ini adalah proses alternatif yang dilakukan terhadap jasad, selain dikubur atau dikremasi. Di Swedia sebuah perusahaan menawarkan jasa mengubah jasad menjadi kompos melalui proses freeze dry. Dasar pemikirannya adalah persoalan ekologi, prinsipnya dari alam kembali (dan memberi manfaat) kepada alam.
(Bab yang membahas kanibalisme banyak saya skip karena nggak kuat baca beberapa bagiannya hehehe)
Di akhir buku Roach menimbang-nimbang kira-kira kalau dia meninggal, apa yang diinginkannya terhadap jasadnya nanti. Ia ingin menyumbangkannya untuk sains, meskipun dia juga tahu bahwa setelah didonasikan dia tidak tahu jasad itu akan diapakan atau digunakan untuk jenis riset seperti apa.
Namun baginya, keputusan itu ia serahkan kepada keluarganya. Karena setelah meninggal ia sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kontrol terhadap jasadnya. Yang akan menghadapi segala konsekuensi dan emosi terkait jasad tersebut adalah keluarganya, dan ia tidak ingin membebani mereka. Jika ternyata keluarganya tidak setuju jasadnya didonasikan, itu terserah keluarganya.
***
Saya yakin dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ke depannya penggunaan jasad untuk berbagai riset akan bisa diganti dengan alternatif lain, seperti misalnya (mungkin) 3D printing. Namun sampai hal itu terjadi, kita perlu mengapresiasi apa yang sudah disumbangkan oleh jasad (dan para penelitinya) bagi ilmu pengetahuan.
Buku ini menurut saya sangat informatif untuk sebuah topik yang sensitif dan sangat jarang muncul dalam bentuk buku populer. Mary Roach menuliskannya sebagai seorang penulis yang memang ingin tahu, dan ia tetap menghormati objek yang ditulisnya dengan caranya yang khas (meskipun tentu saja, pandangan pembaca bisa berbeda).
Bagi saya pribadi, kesan saat membaca buku ini kurang lebih sama dengan ketika nonton film Fargo (1996). Temanya morbid, tapi dengan kemasan humor yang bukan slapstick. Kalau sudah pernah nonton, kira-kira tahu yang saya maksud.
Yang pasti emosi saat membacanya bisa campur aduk antara ingin tahu, ngeri, sedih, kaget, bergidik, kadang jijik, tapi juga bisa membuat tertawa. Memang buku yang unik.