Menciptakan semesta hanya dari matematika? Memangnya bisa?
Big Bang, sebagai teori asal usul semesta, sudah dianggap sebagai teori yang kokoh di dunia fisika, karena cocok dengan hasil berbagai eksperimen yang sudah dilakukan, bukan ‘cuma teori’ dalam arti yang sering dilontarkan di kalangan umum.
Tapi apa yang terjadi sebelum Big Bang? Tidak ada yang tahu. Mengapa peristiwa Big Bang juga ‘memuntahkan’ ruang waktu dan hukum-hukum matematika yang mengatur segala sesuatu? Apakah artinya matematika sudah ada sebelum Big Bang?
Melalui buku The Big Bang of Numbers, Manil Suri mengajak pembaca melakukan thought experiment, bagaimana seandainya kita meracik matematika dari ‘nothing’ sehingga ketika ‘dimuntahkan’ saat Big Bang, semesta seperti yang kita tempati ini bisa muncul.
The Big Bang of Numbers: How to Build the Universe Using Only Math
Manil Suri
W.W.Norton & Co (2022)
367 hal
Manil Suri adalah profesor matematika di University of Maryland, Baltimore. Selain menjalankan profesi sebagai matematikawan, ia juga adalah penulis yang sudah menelurkan 3 novel, salah satunya mendapatkan beberapa penghargaan.
(Ah, pantesan tulisannya enak banget dibaca, dan banyak ceritanya!)
Menurut Suri, pergaulannya di kalangan penulis dan seniman (non-matematikawan) ia manfaatkan untuk mengenalkan konsep-konsep matematik seperti infinity dalam bentuk yang mudah dimengerti. Kadang ia memberi acara bincang-bincang topik matematika di…festival sastra. Meskipun aktif mempopulerkan matematika ke publik, dia merasa tidak sukses. “Selalu deh kalah populer sama topik lain, apalagi agama,” katanya.
Tahun 2013, ia menulis sebuah artikel berjudul “How to Fall in Love with Math” di New York Times di mana ia berusaha mengajukan argumen bahwa inti matematika adalah tentang ide dan pemikiran, tidak seperti anggapan populer bahwa ‘matematika itu sinonim dengan urusan hitung-menghitung’. Artikelnya lumayan sukses, bahkan hampir menempati nomor 1 minggu itu, kalau saja bukan karena sebuah berita tentang Pope Francis yang melesat ke nomor 1 minggu itu.
“Lagi-lagi kalah dengan berita agama,” candanya. Hahaha…
Kenapa sih ‘kisah’ matematika nggak bisa sepopuler yang lain, fisika misalnya? Mengutip seorang editor NYT, alasannya karena “Matematika tidak menggugah emosi. Fisika menantang pemikiran dan kepercayaan kita akan asal usul semesta. Matematika tidak.”
Eh, siapa bilang, omel Suri, dan lahirlah buku ini.
Sebelum komentar ‘ini buku sesat’ segala macam, Suri mengingatkan ini adalah thought experiment dan ia tidak sedang melawan agama. Ia hanya sedang menjelaskan konsep-konsep fundamental matematika dalam bingkai ‘kisah asal usul semesta’. Ia juga mengangkat kisah-kisah penciptaan di Kristen dan Hindu. Pope Francis pun ia jadikan teman diskusi (imajiner) yang bersahabat di dalam buku ini (perlu diingat bahwa Pope Francis berlatar belakang pendidikan kimia, dan termasuk tokoh agama yang science-friendly, seperti Dalai Lama) “I’m sure he would enjoy this thought experiment,” tulisnya.
Buku ini disusun seperti “7 days of creation”. Hari pertama, menciptakan Arithmetic (bilangan dan berbagai operasinya), lalu Geometry, Algebra, Patterns, Physics, Infinity, dan hari terakhir Emergence.
Jadi, bagaimana sih menciptakan semesta dengan matematika?
“We start with nothing”.
Bab Arithmetic bercerita bagaimana konsep bilangan muncul dari teori himpunan. “Nothing” di sini adalah empty set atau himpunan kosong (eh, ini memang pelajaran pertama di kelas 1 SD ya). Himpunan kosong ini menjadi bilangan nol. Lalu 1 adalah himpunan di mana anggotanya hanya satu, yaitu si himpunan kosong tadi. Begitu seterusnya sehingga ‘tercipta’ bilangan asli (Naturals = N).
Lewat perumpamaan antropomorfisme, dikisahkan bilangan-bilangan ini menciptakan permainan-permainan di antara mereka, yang memunculkan konsep-konsep ‘order’, ‘kurang/lebih’, tambah, kurang, kali, bagi, negatif, garis bilangan, rasional, irasional, akar, desimal, dst, sampai bilangan imajiner dan kompleks.
Di bab Geometry kita menciptakan ruang (kan nanti semesta butuh ruang untuk eksis!) dari titik. Titik ini diibaratkan ‘tempat tinggal’ para bilangan. Titik pertama jadi ‘rumah’ si Nothing, Nol. Lalu dibuat titik-titik lain untuk ditempati bilangan-bilangan lainnya. Dari relasi titik-titik ini, muncullah konsep-konsep dimensi, garis, jarak, bidang, ruang, bentuk (muncul dari ‘permainan’ para titik dan garis). Di sini juga membahas apa yang dimaksud garis lurus, bagaimana kalau bidangnya tidak datar (Euclidean) melainkan melengkung.
Yang lucu, ada bab khusus tentang Crocheting untuk menjelaskan bidang lengkung ‘hyperbolic plane’, berdasarkan karya prof. Daina Taimina dari Cornell University. Buat saya yang suka merajut sih ini lucu dan menyenangkan, ada crochet di buku matematika, apalagi prof Taimina ternyata bikin buku “Crocheting Adventures with Hyperbolic Planes”.
Di bab Algebra, dimunculkan tokoh Nature sebagai ‘kontraktor’ yang akan membangun fisik semesta. Nah, aljabar ini adalah bahasa yang kita gunakan untuk mengomunikasikan dan menerjemahkan ide kita ke dalam bentuk fisik. Maksudnya gimana?
Misalnya, kita kan nggak bisa bikin garis lurus tak terhingga dengan menyebutkan semua titiknya, jadi dipakailah huruf x. Misalnya x=0 adalah rumus yang mengekspresikan garis lurus sebagai axis horizontal pertama.
Di bab ini Suri menjelaskan tentang polinomial (ekspresi matematika bersuku banyak, dengan variabel, koefisien, dan operasi aritmetika), untuk membuat garis lurus, lengkung, lingkaran, mengekspresikan jarak, bentuk 3D, dll. Bagaimana rumus-rumus yang berbeda menghasilkan bentuk-bentuk yang berbeda.
Ya kan Nature butuh rumus yang bisa dioprek-oprek angkanya untuk membuat segala macam bentuk di alam semesta. Lengkungan kelopak bunga kan beda sama lengkungan buah pir? Jangan khawatir Nature, nih ada rumus cubic dan quartic, tinggal mainkan angkanya aja! Kalau bentuknya aneh-aneh gimana, lengkang-lengkung nggak karuan? No worries, pakai piecewise!
Bab Patterns menjelaskan tentang simetri, kesempurnaan/bentuk ideal vs keterbatasan dunia fisik (tidak ideal, misalnya tidak ada lingkaran sempurna di dunia), deret Fibonacci, golden ratio, fraktal, segitiga Sierpinski, dan bagaimana pola-pola yang ada di alam bisa terbentuk.
Bab Physics membahas rumus-rumus matematika yang diciptakan untuk mengatur benda-benda pembangun semesta, bagaimana supaya partikel-partikel kecil itu berinteraksi membangun benda yang lebih besar. Bagaimana reasoning sehingga muncul gaya gravitasi, bagaimana membuat ruangwaktu, lalu apakah semestanya datar atau melengkung, reasoningnya bagaimana?
Akhir bab ini memikirkan ‘semesta ini sebesar apa’, membawa ke bab selanjutnya tentang Infinity.
Bab Infinity membahas dengan detail apa yang dimaksud dengannya, tentang ‘extent’ dan ‘continuity’, tentang bagaimana Georg Cantor menemukannya (katanya dapat divine inspiration lho), memformulasikannya bahkan mengkomunikasikan temuannya ke Pope Leo XIII. Tapi orang malah menganggapnya gila.
Yang menarik, kalau biasanya buku-buku matematika menjelaskan konsep infinity lewat cerita Hillbert Hotel, Suri membuat cerita sendiri yang lebih seru, tentang perang dua planet. Dan buat saya cerita di buku ini jauh lebih menarik dan lebih jelas menerangkan tentang paradox infinity, kardinalitas, dan higher infinite. Ia juga menyebutkan bahwa matematika tidak lengkap, sebagai implikasi dari teori ketidaklengkapan Gödel.
Bab terakhir Emergence adalah tentang ‘melepaskan ciptaan ini melalui Big Bang’ lalu mendiskusikan munculnya kehidupan, membahas argumen-argumen seperti multiple big bangs, multiverse, parallel universe dll.
***
Sebagai non-matematikawan, saya belum pernah nemu buku populer yang bisa menjelaskan konsep-konsep matematika dengan seasyik ini. Sampai ketawa-ketawa waktu membahas simetri dan keindahan Monalisa. FYI, penulis buku matematika populer lainnya yg tulisannya juga lucu misalnya Leonard Mlodinow, John Allen Paulos.
Kalau di sekolah kita cuma diajari untuk mencari jawaban lewat rumus, lewat buku ini kita jadi mengerti untuk apa rumus itu ada. The whys of math. Dari buku ini juga jadi terbayang bagaimana cara berpikir matematikawan yang kreatif memikirkan (dan memainkan) berbagai ide dan kemungkinan, didorong oleh rasa ingin tahu. Saya jadi ngerti yang dimaksud Edward Frenkel tentang kenapa di Rusia banyak ilmuwan memilih jadi matematikawan: karena pikirannya penuh kebebasan tanpa restriksi dari pemerintah diktator.
Highly recommended book untuk siapa saja yang ingin mencoba mengerti konsep-konsep matematika lewat cerita-cerita yang mudah dipahami.