Sebetulnya saya selesai baca buku ini sebulan sebelum baca buku Origins (yang dibaca ngebut 4 hari karena harus dikembalikan ke perpus), tapi nulis reviewnya tertunda-tunda terus. Lucunya, somehow isi buku ini malah seperti menjawab buku Origins. Jadi malah tepat reviewnya ditulis setelah review buku Origins.
The Dawn of A Mindful Universe: Manifesto for Humanity’s Future
Marcelo Gleiser
HarperOne (2023)
244 hal
Marcelo Gleiser adalah fisikawan dan astronom asal Brazil, profesor fisika dan astronomi di kampus Ivy League Dartmouth College. Di sana ia mendirikan Institute for Cross-Disciplinary Engagement sebagai wadah dialog antara bidang sains dan humaniora. Selain aktif mempopulerkan sains lewat blog, menulis buku dan artikel, ia juga penerima berbagai penghargaan termasuk Templeton Prize tahun 2019, yang diberikan bagi mereka yang berkontribusi dalam eksplorasi pertanyaan-pertanyaan besar tentang semesta dan eksistensi, baik itu di bidang sains, filsafat, spiritualitas, agama, atau kemanusiaan secara umum. Tokoh-tokoh lain yang pernah mendapat penghargaan ini misalnya Dalai Lama, fisikawan Freeman Dyson, kosmolog Martin Rees, filsuf Alvin Plantinga.
Di bagian akhir buku Origins yang membahas asal usul kehidupan, Neil Tyson dan Donald Goldsmith menjelaskan tentang Copernican principle, suatu prinsip dalam kosmologi yang menyatakan bahwa manusia, baik di planet Bumi maupun di Tata Surya, tidaklah istimewa di semesta ini. Bumi (dan manusia sebagai penghuninya) hanyalah satu di antara banyak tempat lain yang bisa memunculkan kehidupan di semesta. Dengan berdasarkan prinsip ini, mereka menolak anggapan di kalangan penganut theisme bahwa manusia adalah istimewa di semesta (meskipun klaim mereka yang mengatakan bahwa mayoritas orang saat ini — penganut agama? — beranggapan kalau Bumi diam/immobile dan semesta berputar mengitarinya seperti jaman pra-Copernicus, tidak jelas sumbernya).
Gleiser, yang selama puluhan tahun karirnya sebagai ilmuwan meriset berbagai topik fisika, seperti karakteristik awal semesta, perilaku partikel elementer, juga asal usul kehidupan (seperti yang dibahas di buku Origins deh), melalui buku ini berargumen bahwa meskipun benar bahwa material pembangun Bumi dan manusia adalah sama dengan yang ada di berbagai penjuru kosmos, namun tidak tepat jika dikatakan bahwa Bumi dan isinya tidak istimewa, dan Copernican principle perlu ditinjau dari paradigma baru. Jadi bukan temuan Copernicusnya sendiri yang ditolak, melainkan bagaimana prinsip tersebut dilihat pada saat ini. “Sayangnya, Copernicanisme telah berubah dari yang awalnya berupa deskripsi yang valid tentang posisi planet kita di Tata Surya, menjadi sebuah pernyataan tentang ketidakistimewaan kita (planet Bumi dan isinya),” tulisnya.
Sebelum buku The Dawn of A Mindful Universe, Gleiser sudah menulis beberapa buku tentang kosmologi dan filsafat alam. Salah satunya yang beberapa kali disebut di buku ini adalah bukunya yang ketiga yaitu The Island of Knowledge yang membahas batas sains. Di buku tersebut Gleiser menganalogikan ilmu pengetahuan seperti sebuah pulau (the known), yang dikelilingi samudera yang belum diketahui (the unknown). Semakin banyak yang diketahui, semakin luas pulaunya, semakin luas pula pertemuan batas antara yang diketahui dengan yang tidak diketahui. “Knowing generates not-knowing.” Maka menurut Gleiser, sains itu tidak ada ujungnya, dan karenanya tidak akan ada ‘final unified theory’ atau theory of everything (FYI, Stephen Hawking juga berkesimpulan begitu, silakan cek di websitenya untuk yang belum tahu).
Ketika mengangkat topik Model Standar fisika partikel dan kosmologi, Gleiser menyoroti kata ‘standar’ dan ‘model’. Sesuai dengan namanya, kedua teori tersebut adalah ‘standar’ atau patokan pengetahuan manusia saat ini mengenai fisika partikel dan kosmologi. “Standar ini terbuka untuk modifikasi. Para fisikawan justru berharap bisa memodifikasinya, karena itu berarti ada penemuan baru,” tulisnya. Selain itu, kata ‘model’ juga menunjukkan bahwa teori tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap dari realitas fisik, karena merupakan penyederhanaan yang dibangun untuk menggambarkan apa yang diketahui manusia tentang realitas fisik pada saat ini. “Model sains adalah sekadar peta dari dunia yang sebenarnya, BUKAN dunia itu sendiri. Menganggap peta itu realitas yang sebenarnya tidak hanya SALAH, melainkan juga berbahaya,” tulisnya lagi menekankan.
Mengapa Gleiser menyoroti soal ini? Menurutnya banyak ilmuwan yang mengambil Model Standar ini sebagai basis klaim bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bisa dijelaskan dan diketahui oleh sains. It does not. Klaim seperti itu malah menurutnya bertentangan dengan metoda ilmiah. “What we can do is extrapolate from current knowledge without any guarantee of absolute certainty.” Dan harus diingat bahwa pengetahuan manusia itu nggak pernah lengkap. Gleiser mengingatkan pentingnya sesuatu yang dalam filsafat disebut ‘epistemic humility’, yaitu kerendahan hati mengakui bahwa pengetahuan kita/manusia ada batasnya, bahwa ada hal-hal yang akan selalu ada di luar pengetahuan kita ,the unknowable, the things we don’t even know that we don’t know.
(hmmm…ilmuwannya sendiri aja mesti mengakui ketidaktahuan, apalagi awam yang cuma menirukan kata ilmuwan ya..)
Kembali ke prinsip Copernican, Gleiser mengingatkan bahwa dulu Copernicus hanya menunjukkan bahwa Bumi adalah planet, tanpa ada embel-embel ‘tipikal’ seperti yang sekarang sering ditambahkan. Menurutnya, meskipun material pembangun benda-benda langit di seluruh penjuru semesta ini sama awalnya dari apa yang muncul dari Big Bang, kita tidak bisa mengekstrapolasi evolusi kehidupan di planet lain berdasarkan pengetahuan dan pengalaman evolusi Bumi yang memunculkan makhluk cerdas seperti manusia. “Untuk mendefinisikan planet yang ‘tipikal’ kan perlu data yang sangat besar, dan kita tidak punya itu. Karenanya kita nggak bisa bilang bahwa planet Bumi hanyalah suatu planet yang ‘tipikal’ di semesta dan tidak istimewa.”
Gleiser mengajak kita mengubah paradigma ‘insignificance in the cosmos’ ini. Penelitiannya tentang asal usul kehidupan dan juga astrobiologi yang mencari kehidupan di luar Bumi, justru membuat planet kita ini tampak semakin spesial dan mengagumkan. “The more we learn about other worlds, the more precious our world becomes,” tulisnya. Evolusi dari gumpalan materi yang menjadi planet yang berisikan keragaman hayati yang luar biasa, dan makhluk cerdas seperti manusia yang bisa berpikir tentang eksistensi dirinya dan alam semesta, itu istimewa.
“When life is complex enough to tell its own story, the Universe awakens.”
Melalui buku ini Gleiser ingin berargumen bahwa kehidupan tidaklah berevolusi sendiri, seolah-olah terpisah dari planet tempat kehidupan itu muncul. Makhluk hidup dan kehidupan berevolusi bersama dengan planet tempat dia berada, tidak terlepas darinya, karenanya planet Bumi seharusnya memiliki posisi yang sakral dalam hidup manusia sebagai penghuninya. Dan sesuatu yang sakral mestilah dihormati dan dijaga. Paradigma ini ia namakan biocentrisme (saya nggak tau apa ini sama dengan Biocentrism-nya Robert Lanza, saya pernah baca bukunya tapi lupa isinya). Dengan pandangan ini, manusia akan menghormati alam dan seisinya, dan menjaganya sebaik-baiknya, sebab planet Bumi adalah pemberi kehidupan. Dan karenanya, Bumi dan seisinya itu istimewa.
Oya, selamat (menjelang) hari Bumi! Mari selalu jaga tempat kita hidup ini.
-dydy-