Apakah kebahagiaan bisa diukur? Dengan metode apa? Apa yang membuat rakyat suatu negara bahagia? Apakah karena kekayaannya, lingkungannya, ikatan kekerabatan, budaya, atau tingkat kepatuhan pada agama? Eric Wiener adalah seorang jurnalis yang telah menulis banyak buku mengenai perjalanan keliling dunia. Dia tertarik untuk mengunjungi negara-negara bahagia, untuk memahami hal-hal apa saja yang mempengaruhi kebahagiaan. Siapa tahu dia bisa mencontek resep bahagia mereka, karena menurutnya dia adalah orang yang tidak bahagia. Dia terlalu suka mengeluh, dan sepertinya dia orang yang sulit untuk optimis. Gaya penulisannya kocak karena agak sinis. Akibatnya, dia mendapatkan sambutan kurang baik dari rakyat negara Moldova, yang ditulis sebagai salah satu negara tidak bahagia. Sepertinya, itu resiko dari menjadi jurnalis yang terlalu jujur dan sedikit nyinyir, hehehe.
The Geography of Bliss: Kisah Sang Pelancong Filosofis yang Berkeliling Dunia untuk Mencari Negara Paling Membahagiakan
Eric Weiner
Mizan 2022
524 halaman
Buku ini lebih enak jika dibaca satu bab per hari. Supaya bisa meresapi kondisi negara yang digambarkan dalam tiap bab, membayangkan lingkungannya, dan menambahi imajinasi kita dengan hal-hal yang telah kita tahu tentang negara tersebut. Di buku ini Eric mengunjungi Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Britania Raya, India, dan tentu saja dia menulis tentang negaranya, Amerika. Buku ini bertema pencarian kebahagiaan, yang juga merupakan misi pribadi Eric. Tapi bisa juga menjadi sebuah buku laporan perjalanan yang asyik: tempat-tempat eksotik, kejadian-kejadian aneh dan lucu, gegar budaya, urusan dengan keimigrasian, sampai cara menembus kemacetan di berbagai negara. Untuk yang kurang suka merenung-renung tentang kehidupan, kisah perjalanannya sendiri sudah asyik dibaca. Untuk yang gemar filsafat, asyik juga ikut berpikir tentang sebab kebahagiaan.
Catatan kecil: buku ini akan lebih asyik dibaca seandainya penerjemah lebih berani menggunakan bahasa Indonesia non formal. Banyak ungkapan yang seharusnya lucu dan sarkas, jatuh jadi kalimat aneh dalam bahasa Indonesia baku. Bahkan ada beberapa bagian yang seharusnya bernuansa ceria, jadi terasa serius, bahkan menyedihkan. Selain itu, banyak typo di buku ini. Semoga kalau diterbitkan ulang, hal ini sempat dikoreksi.
Kembali ke buku, perjalanan Eric dimulai dari Belanda. Disitulah pusat data hasil survei kebahagiaan dari berbagai negara diolah. Berdasarkan data itu, Eric memulai perjalanannya berburu resep kebahagiaan. Di Swiss, dia menemukan bahwa orang Swiss bahagia dalam kebosanan. Maksudnya, hidup di Swiss serba teratur rapi, sehingga berjalan seperti jam swiss yang terkenal presisi. Membosankan, tapi warga Swiss mengaku bahagia dengan kondisi serba teratur seperti itu. Kebahagiaan mereka ‘dingin dan terukur’, tidak meledak-ledak. Sebaliknya, kebahagiaan orang India serba semrawut, penuh tabrakan warna-warni peristiwa, bising dan sunyi sekaligus. Di India, dewa kuno dan dewa modern hidup berdampingan, dan orang bisa menyembah keduanya secara bergantian. Hari ini bekerja sebagai teknisi IT, besok seharian bermeditasi di kuil. Di antara dunia profan dan dunia sakral, orang India meniti kebahagiaan.
Apakah kebahagiaan ditentukan oleh lingkungan yang indah? Ternyata tidak. Islandia gelap gulita selama enam bulan. Kebanyakan manusia akan segera depresi jika mengalami cuaca mendung berminggu-minggu, tapi orang Islandia terbiasa beraktivitas tanpa cahaya matahari. Namun rakyat negara ini termasuk paling bahagia dan produktif di bumi, nyaris semua orang di sana kreatif berpuisi dan bermain musik. Rahasianya? Mungkin karena kekuatan dewa dewi Viking. Atau karena orang Islandia bersikap santai soal pencapaian hidup. Kegagalan tidak dikecam, melainkan dirayakan. Semua orang saling mendukung.
Hal ini berlawanan dengan Moldova, negara murung di ujung Eropa. Eric sengaja datang ke sana sebagai perbandingan. Untuk mengetahui rahasia kebahagiaan, kita harus juga memahami kemurungan. Di Moldova, warganya saling iri. Mereka tidak percaya satu sama lain, pelit dalam berbagi, dan apatis pada kegiatan publik. Betul, mereka depresi karena miskin. Namun banyak negara yang lebih miskin tetapi lebih bahagia. Moldova betul-betul seperti enggan hidup mati tak mau. Sebagai catatan, buku ini ditulis Eric tahun 2008. Setelah buku ini diterbitkan, rakyat Moldova bereaksi kurang baik pada buku ini, dan dalam survei kebahagiaan terbaru, peringkat Moldova sudah lebih baik. Entah apakah kondisi negara mereka memang membaik, atau karena mereka bertekad memberi jawaban ‘ya, kami bahagia’ di survei agar peringkat mereka naik. Entahlah, hihihihi.
Kisah menarik lainnya datang dari Qatar. Negara kecil ini tiba-tiba menjadi negara kaya gara-gara minyak dan gas. Akibatnya, seluruh warga negara Qatar menjadi Orang Kaya Baru yang bersikap seenaknya pada para pekerja. Hampir semua pekerjaan di negara itu dikerjakan oleh orang asing, mulai dari kuli sampai dosen. Warga asli Qatar tinggal menyuruh-nyuruh ini itu tanpa lepas dari AC, baik di rumah, sekolah, maupun mobil. Para imigranlah yang harus lari-lari dalam matahari panas menyengat, melayani mereka. Apakah warga Qatar berbahagia? ‘Oh tentu saja, kami punya Islam.’ Itu adalah jawaban normatif. Yang jelas, sistem kesukuan di Qatar membuat orang Qatar bisa membeli apa saja, kecuali nasab mulia. Sekaya apapun dan sehebat apapun pencapaian mereka, mereka tetap dinilai berdasarkan nasab yang tidak berubah sejak kakek buyut sampai ke masa depan. Rupanya ada yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Tapi uang dalam jumlah cukup memang membantu tercapainya kebahagiaan. Masalahnya, tingkat kecukupan orang berbeda-beda. Orang Britania Raya (Inggris) cukup uang, tapi mereka suka sekali mengeluh. Orang Bhutan nyaris tidak punya uang, tapi mereka bersyukur atas banyak hal. Orang Thailand punya falsafah ‘ya, sudahlah’ yang membuat mereka mampu tersenyum saat tertimpa bencana. Sedangkan orang Amerika secara agresif mengejar kebahagiaan dengan cara berpindah-pindah rumah, baik di dalam negaranya sendiri maupun ke negara-negara eksotik.
Setelah membaca buku ini, saya penasaran berapa peringkat Indonesia. Ternyata tidak terlalu buruk, di tengah-tengah. Tapi nama Indonesia hanya muncul di data tahun 2019. Entahlah, kalau survei diadakan nanti setelah pemilu, mungkin datanya akan dianggap tidak valid karena terlalu ekstrim: pendukung capres yang menang pasti bahagia, sebaliknya yang kalah pasti tidak bahagia. Data yang terlalu ekstrim tidak bisa diambil sebagai kesimpulan survei, hehehehe.
Jadi bagaimana? Apa Anda bahagia?
-Ani-