Cart

Your Cart Is Empty

The Map of Consciousness Explained

The Map of Consciousness Explained

image

Author

Ani

Published

Februari 18, 2024

Disclaimer: buku ini adalah buku spiritual, bukan buku sains. Tapi dalam review ini saya akan membahas aspek spiritual dan aspek sainsnya karena ada klaim scientific-nya.
**
Saya baca buku ini karena pernah lihat tabel “Map of Consciousness” dan mikir, “Memangnya gimana ngukurnya? Dapat angka-angka itu dari mana?” dan semacam itu. Dengan kata lain, curious, seperti biasa.

The Map of Consciousness Explained

David R Hawkins
Hay House, Inc (2020)
379 hal

Catatan: saya sering nggak nyaman kalau baca buku yang terlalu menekankan sama gelar (PhD, MD, dll, dsb) orang-orang yang terlibat di dalamnya, bahkan untuk topik ilmiah populer yang sesuai dengan gelar penulisnya. Buat saya pribadi ini malah jadi semacam ‘turn off’, karena mengesankan penulis/penerbit dkknya perlu mengekspos gelar-gelar itu untuk legitimasi isi buku. Padahal buat saya, konten buku itu sendiri akan menunjukkan kualitas penulisnya, tanpa perlu menulis gelar. Contoh, liat aja buku-buku Siddhartha Mukherjee, kan? Tanpa perlu menulis MD PhD kualitas pemikirannya dalam topik terkait memancar dari tulisan-tulisannya.

Karena itu bagi saya gelar MD PhD pak Hawkins tidak terlalu relevan untuk ditulis di sini, karena buku ini membahas topik spiritual. Meskipun memang, pak Hawkins berlatar belakang pendidikan kedokteran, psikiatri, dan juga pernah praktek sebagai psikiater selama bertahun-tahun sebelum meninggalkan prakteknya.

Bagi saya yang lebih relevan diceritakan justru pengalaman spiritual pribadi pak Hawkins. Jadi pak Hawkins ini sejak kecil beberapa kali mengalami pengalaman spiritual yang ‘profound’, utamanya pada usia 17 ketika ia mengalami ‘blissed state’ di mana ia merasakan menyatu dengan semesta (mungkin bisa dibandingkan dengan pengalaman Sadhguru Jaggi Vasudev yg mengalami hal yang sama di usia 25) sebelum kembali lagi ke normal state of consciousness. Kemudian ia mengambil studi medis dan psikiatri karena ingin memahami tentang consciousness. Sempat pula praktek di beberapa klinik psikiatri di New York (Long Island). Tapi dari ceritanya tentang proses healing pasien-pasiennya, yang saya tangkap adalah juga ini proses spiritual yang berkaitan langsung dengan pak Hawkins sendiri, dan bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang selain pak Hawkins atau ditiru begitu saja.

Jadi Map of Consciousness ini adalah usaha pak Hawkins untuk ‘menerjemahkan’ pengalamannya ke dalam suatu tabel numerik, supaya lebih mudah diikuti bagi para spiritual seekers yang ingin mencapai level kesadaran seperti yang dia alami.

David Hawkins menyebut jalan spiritualnya sebagai “Devotional Nonduality”. Ini kurang lebih sama dengan ‘bhakti yoga’ atau jalan spiritual melalui pelayanan dan cinta kasih (menurut Sadhguru ada 4 macam yoga: bhakti/devotion, gnana/intellect, karma/physical action, kriya/inner energy work). Mungkin sama juga dengan ‘jalan cinta’nya Jalaluddin Rumi.

Buku ini tampaknya berupa rangkuman singkat dari buku-buku ajaran David Hawkins (mulai dari buku pertama Power vs Force, dll, banyak ternyata bukunya) yang disusun oleh organisasinya (pak Hawkins sudah meninggal tahun 2012).

Bukunya terbagi menjadi 3 bagian besar yang masing-masingnya terbagi-bagi lagi ke dalam beberapa bab.
I. Foundations
Bab 1 Overview of the Map of Consciousness, menjelaskan tentang apa itu ‘consciousness calibration’ dan ‘scientific background of attractor patterns’. Di sini disebut-sebut ttg kinesiologi, chaos theory, quantum mechanics, dan nonlinear dynamics. Yang dimaksud dengan ‘attractor’ di sini adalah pola keteraturan yang muncul dari chaos (hmmm untunglah soal ini pernah dibahas Steven Strogatz di buku Sync, jadi saya nggak blank banget apa maksudnya).

Lalu bagaimana cara pak Hawkins dkk ini mengukur consciousness level sesuatu? Dengan metoda muscle testing atau applied kinesiology, yang biasanya dipakai dalam praktek chiropractic. Bahkan muscle testing ini juga dipakai untuk mengukur ‘kebenaran’ suatu statement dan consciousness level seorang tokoh. Eksperimennya sendiri bisa dilakukan siapa saja, katanya. Dibutuhkan 2 orang: yang satu mengangkat satu tangan horisontal, yang satunya menekannya ke bawah dan si orang pertama harus berusaha menahannya. Lakukan muscle testing sambil memegang, atau membayangkan di pikiran, si tokoh atau objek yang mau diukur levelnya. Kalau otot tangannya tetap kuat berarti pernyataannya benar, kalau ototnya lemah dan tidak bisa menahan, berarti pernyataannya salah. Contoh pernyataan yang bisa ‘dicek’ sambil melakukan muscle testing “Benda/tokoh/sesuatu ini, terkalibrasi di angka 100/200/300”. Kalau otot tangannya tetap kuat, lakukan pengecekan angka-angka ini sampai si tangan lemah dan tidak bisa menahan, yang artinya pernyataannya salah.

Bagi saya ini ‘scientific method’ yang sulit diterima, tapi silakan untuk yang tertarik mencobanya. Menurut yang saya baca sih, metoda ini tidak dianggap reliable untuk dijadikan diagnostic tool berdasarkan modern science. Contoh paper yang meneliti validitas metoda muscle testing misalnya ini “A double-blind, randomized study to assess the validity of applied kinesiology (AK) as a diagnostic tool and as a nonlocal proximity effect” https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24607076/

Saya jadi ingat buku “Altered Traits” dari Daniel Goleman (penulis buku Emotional Intelligence) dan Richard Davidson, yang penelitiannya tentang meditasi juga disebut2 di buku ini. Nah kalau mereka ini metoda sainsnya lebih rigorous, dengan alat-alat pengukur yang lebih reliable (MRI dll), mengikutsertakan skeptics di dalam timnya, dan penelitiannya diterbitkan di peer-reviewed journal.

Bab 2 membahas The Levels of Consciouness.
Menurut tabelnya, ada 17 kategori level kesadaran, di mana yang paling rendah dengan energy level 20 adalah “Shame” dan paling tinggi energy level 700-1000 adalah “Enlightenment”. Batas perubahan dari negatif ke positif ada di energy level 200 yaitu “Courage”, di mana katanya di sinilah level di mana seseorang mulai berani bertanggung jawab atas perbuatannya dan hidupnya, tidak lagi menyalahkan ‘luar’, namun mulai mengarah ke ‘dalam’.
Bab ini menjelaskan kondisi masing-masing level dan contoh-contoh perilaku manusia yang ada di level tersebut.

Bab 3 membahas The Evolution of Consciousness. Seseorang yang kesadarannya masih rendah fokusnya ke ‘having-oriented’, motif-motifnya masih egois karena masih fokus di survival, keinginan-keinginan yang fokus ke diri sendiri. Ketika kesadarannya sudah lebih tinggi dan basic survival sudah terpenuhi, maka ia mulai fokus di ‘doing-oriented’, dan level selanjutnya adalah ‘being-oriented’. “At this point, it is no longer what they DO in the world but what they ARE that counts.”

Bagian II Practical Applications membahas hal-hal yang bisa dilakukan untuk ‘naik level’. Di sini juga membahas tentang kecanduan (hmm jadi inget buku Gabor Mate “The Myth of Normal”)

Bagian III Advancing Consciousness isinya bahasan spiritualitas yang kurang lebih sama dengan ajaran-ajaran nondualitas yang banyak ditemukan di literatur sufistik & mistikus, tentang self-realization, enlightenment dan lain-lain. Yang sering baca-baca topik ini di Zen Buddhism, Advaita Vedanta, Kabbalah dll dsb pasti familiar deh.

Kesimpulan saya setelah membaca buku ini adalah :
1. Sisi spiritual buku ini baik untuk diikuti oleh spiritual seeker, terutama jika digunakan untuk tujuan MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, bukan untuk menghakimi orang lain (halah, kamu kelakuan masih begitu, level of consciousnessnya rendah! Yaa.. bukan buat kayak gini juga kali yaaa). Anggap saja “Map of Consciousness” ini semacam rough guide untuk memperbaiki diri dari sifat-sifat negatif ke arah positif. Seperti kata pak William James di buku The Varieties of Religious Experience, jika suatu ajaran membawa hasil positif bagi penganutnya, itulah bukti kebenarannya.
2. Jangan digadang-gadang sebagai ‘the science of consciousness’, karena modern science sendiri belum menemukan dan memahami apa itu consciousness. Dengan digadang-gadang sebagai ‘science’ yang ‘proven’ tapi ditemukan sebagai ‘not reliable’, bukankah jadinya dianggap sebagai pseudoscience dan menafikan kebaikan ajaran spiritualnya?
Dalam buku “Making Sense of Science” dari Cornelia Dean, dan “Science Fictions” dari Stuart Ritchie dibahas tentang bagaimana pentingnya integritas sains harus dijaga dengan standar-standar tertentu untuk kebaikan sains sendiri.

Intinya, silakan gunakan ajarannya sebagai panduan untuk menjadi orang yang baik dan pengasih, menjadi rahmatan lil alamin, menjadi damai untuk sekeliling. Kalau bisa sampai mencapai Enlightenment, good for you.

***
Terkait:

Karma (Sadhguru)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid034bSXWBbEtPX75E8ggHTpwNJ4xVAaRkLV5zQuMuf1PMwGsGnEkQJK5oxLww2JAZBal

The Varieties of Religious Experience (William James)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid02Eex9JG3EbgrzuD3zWCAWMN2ccoPssYRe97aGChnJXU3F97scxVG7xTc3QoYBdggQl

Sync (Steven Strogatz)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid022KJDnBG6zZfRyEzBC1ePjRnjGUFv9etKFFpBpEwGU3uW5JrjvWFKLsnsvEKjLxA2l

Altered Traits (Daniel Goleman & Richard Davidson)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid0AF5CrdbSronSXmFbg7syj1mEgoMnQc3KEbEhaJdwfVF3VUPzHQFXCV5WPHGPG9bLl

The Universe In A Single Atom (Dalai Lama)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid0itmyFf4Nwx7aXF1eNUAMk52tYfZi15s54Wo5k5fi41PCB1iUvQv8N8SxGhCsK1wMl

The Myth of Normal (Gabor Mate)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid02hLMEFrsvfbr7JqG1reQJjyYgJHYBkRtiCuacG5ebKZmfyEDZyhZ8KJ5BXZNiWqEtl

Making Sense of Science (Cornelia Dean)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid0362zBMDxq6BHHytCKmjCh44bpywrnTJMrxxcRiFUp6xgnBj7xSK1urnVsd5NaiG2nl

Science Fictions (Stuart Ritchie)
https://www.facebook.com/bookolatte/posts/pfbid036Y35B8it3B8qTCBx9UZGCfkfSkwYv31LQtvg4jBZdTEdLKfaEjhoEu9bNWckhCpUl

Join Us

Book

O Latte

Follow IG untuk membaca review kami

Join Us on Spotify

Our Location

My Place

The place I like the most

Get Direction