Beberapa hari yang lalu saya baca berita di page New Scientist, tentang semakin banyaknya kasus penyakit kanker di kalangan usia muda (di bawah 50 tahun) di seluruh dunia. Kok di jaman ketika teknologi kedokteran begitu maju dan modern, malah semakin banyak orang yang menderita kanker, penyakit kronis, gangguan kesehatan mental, dan kecanduan obat?
Buku ini mencoba mengupas lapisan-lapisan fenomena yang menyebabkannya dan jalan untuk mengatasinya.
The Myth of Normal: Trauma, Illness & Healing In A Toxic Culture
Gabor Mate & Daniel Mate
Avery (2022)
562 hal
Gabor Mate adalah dokter Canada asal Hungaria yang banyak berkecimpung dalam masalah kecanduan bahan adiktif, juga dalam bidang perkembangan anak. Ia salah satu dokter di Amerika Utara yang saya tahu termasuk proponen kedokteran holistik, selain dr.Mark Hyman (kalau dr Hyman fokusnya lebih ke soal diet/makanan, sementara dr Mate ke psikologis).
Di buku ini ia mempertanyakan mengapa penyakit kronis seperti kanker, jantung, hipertensi, obesitas, diabetes, dan autoimun semakin banyak di dunia. Penyakit autoimun, di mana sistem kekebalan tubuh menyerang dirinya sendiri, bentuknya macam-macam tergantung area tubuh yang diserang. Misalnya kalau menyerang sistem syaraf jadi multiple sclerosis; usus -> celiac disease, inflammatory bowel disease seperti crohn’s atau ulcerative colitis; sendi dan jaringan ikat -> lupus dan rematik; kulit -> psoriasis, eksim; pankreas -> diabetes tipe 1; paru -> pulmonary fibrosis; menyerang banyak organ sekaligus -> chronic fatigue syndrome dll.
Penyakit autoimun ini misterius. Selain sulit ditemukan penyebabnya (idiopathic), penyakit autoimun juga tercatat semakin banyak terjadi, dan jauh lebih banyak menyerang perempuan.
Penyakit kanker juga sebetulnya membingungkan. Setiap sel tubuh membelah, selalu ada kemungkinan mutasi berbahaya. Tetapi dalam kondisi normal hal ini bisa diatasi oleh sistem kekebalan tubuh. Dari otopsi diketahui bahwa banyak perempuan memiliki sel kanker payudara, dan banyak laki-laki memiliki sel kanker prostat, tanpa pernah berkembang menjadi penyakit (wah baru tau!). Kondisi seperti apa yang membuat sel-sel kanker ini berkembang menjadi ganas? Apa yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak mampu menyetopnya di awal?
Semakin banyaknya kasus penyakit autoimun dan kanker dalam jangka waktu yang relatif pendek, berarti ini bukan semata masalah genetik, karena jika genetik membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk bisa menyebar luas. Artinya masalahnya ada di lingkungan. Selain masalah gaya hidup, makanan, pencemaran lingkungan, Gabor Mate melihat masalahnya lebih luas dan juga lebih dalam, yakni masalah psikologis trauma dan stress dalam konteks keterkaitannya dengan pengalaman hidup individu tersebut.
Sayangnya, menurut Mate, dunia kedokteran secara umum masih melihat penyakit sebagai suatu entitas tersendiri, alih-alih manifestasi dari sekumpulan proses yang bertumpuk-tumpuk sehingga pada akhirnya mencapai level klinis. Jarang yang menyambungkan penyakit kronis dengan riwayat psikologis pasien, selain riwayat kesehatan dan gaya hidup.
Selain itu, pandangan dunia kedokteran terhadap pengobatan holistik juga masih ‘miring’. (Ya nggak bisa disalahkan juga sih, memang banyak yang malah memanfaatkannya untuk jualan produk alternatif, tanpa tahu ilmunya, ya kan?). Namun riset ilmiah terus berkembang, dan sedikit-sedikit menemukan kaitannya. Perkembangan ilmu genetika dan neurosains saat ini semakin membuka mata tentang keterkaitan erat psikologi dan fisiologi. Mereka tidak terpisahkan.
Apa saja pemicu stress ini? Menurut Mate, lingkungan yang stress dimulai bahkan sejak dalam kandungan. Tubuh ibu hamil yang stress mengeluarkan hormon stress yang mempengaruhi janinnya. Proses melahirkan yang stressful mempengaruhi sang ibu dan juga bayi yang dilahirkan. Masa pertumbuhan yang stressful mempengaruhi anak, dan seterusnya. Semua terekam dalam otak bawah sadar individu yang bersangkutan.
Dari pengalamannya berinteraksi dengan mereka yang mengalami kecanduan, Mate menemukan bahwa rata-rata mereka mengalami trauma di masa kecil, entah trauma besar (misalnya perang, broken home, kekerasan fisik dan/atau seksual, dll) ataupun trauma ‘kecil’ (masalah ekonomi keluarga, dibully teman-teman sekolah, diejek, dibanding-bandingkan oleh orangtua, dikomentari menyakitkan, kekecewaan, dll).
Gabor Mate sendiri mengalami trauma besar di masa kecilnya, sebagai anggota keluarga yang mengalami peristiwa Holocaust. Kakek neneknya meninggal di Auschwitz, ayahnya mengalami kerja paksa. Ia sendiri selamat karena dititipkan ibunya kepada orang asing sampai ibunya bisa mengambilnya lagi.
Anak kecil yang belum matang bagian otak yang memproses reasoningnya, ketika mengalami trauma hanya bisa merespon dengan insting. Insting dasar ketika terancam yaitu ‘fight’ or ‘flight’ yang memicu hormon stress, tapi anak kecil apalagi bayi yang belum bisa dua-duanya, akhirnya hanya bisa ‘freeze’. Traumanya terekam di bawah sadar dan terpendam hingga dewasa.
Trauma yang terpendam ini suatu saat bisa terpicu oleh sesuatu yang mengingatkan bawah sadarnya akan peristiwa traumatik masa kecil, dan mewujud berupa penyakit. Selain trauma masa kecil, stress dari berbagai pengalaman hidup, jika dipendam juga akhirnya menjadi penyakit.
Intinya, masalah psikologis sangat bisa menjadi bibit penyakit karena sebenarnya psikologis tidak terpisahkan dari fisiologis, berada dalam satu sistem interpersonal, dan harus dilihat dalam konteks relasinya dengan lingkungan tempat individu tersebut hidup. Keterkaitan ini disebut biopsychosocial.
Buku ini penuh dengan cerita tentang orang-orang yang tiba-tiba didiagnosa penyakit kanker atau autoimmune dan mereka tidak tahu asalnya bagaimana, bahkan dokter mereka pun tidak tahu. Namun setelah ditelusuri ternyata bersumber dari trauma dan stress terpendam. Usaha memendam itu membutuhkan effort dan energi fisik, mengaktivasi hormon-hormon stress, yang jika berlangsung terus menerus mengakibatkan kerusakan di dalam tubuh.
Salah satu yang menarik, menurut Mate, berdasarkan pengamatan para pekerja kesehatan, ada ciri-ciri khusus karakter penderita penyakit kronis tertentu, misalnya penderita rematik dan ALS biasanya orangnya sangat manis perilakunya, bahkan ‘terlalu baik’. Menurut Mate, ini ciri ybs terbiasa memendam emosi dan amarahnya, karena selalu berusaha menyenangkan orang lain. Emosi yang terpendam itu sedikit-sedikit membuat kerja tubuh kacau, sel-sel cepat rusak dan aus, lama-lama meradang dan jadi penyakit.
Dalam tubuh kita, jalur yang ‘mengurus’ stress secara efisien adalah HPA axis (hypothalamus, pituitary gland, adrenal) yang terletak di otak dan ginjal. Tubuh harus menjaga keseimbangan sistem ini supaya semua berjalan lancar. Fenomena stressnya sendiri bukan hal buruk, karena ia adalah alat alami untuk bertahan hidup. Namun ia menjadi masalah ketika berlangsung terus menerus.
Stress yang berlangsung terus meneruslah yang berakibat negatif, menyebabkan depresi, melemahkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan peradangan, menyempitkan pembuluh darah, mendorong pertumbuhan sel kanker, menyebabkan penipisan tulang, mengakibatkan resistensi insulin (memicu diabetes), berkontribusi pada obesitas, melemahkan sirkuit otak yang mengatur kognisi dan emosi, menaikkan tekanan darah dan meningkatkan pembekuan darah sehingga resiko serangan jantung dan stroke semakin tinggi.
Bagaimana dengan kecanduan? Menurut Mate, ini pun berkaitan dengan trauma, stress, dan neurobiologi. Kecanduan (pada apapun, termasuk game, makanan) pada dasarnya adalah mekanisme melarikan diri (flight) dari stress. Yang membuat candu adalah temporary relief yang didapat dari dopamine (feel-good hormone). Dopamine itulah candunya, bukan obat-obatannya sendiri. Jadi inti semua masalahnya adalah rasa sakit dan stress, internal suffering, masalah psikologis.
Lalu apa yang menyebabkan penyakit kronis, gangguan kesehatan mental, dan kecanduan obat seperti ini semakin banyak terjadi? Dan kenapa penyakit autoimmune jauh lebih banyak menimpa perempuan?
Penyakit kronis baik mental maupun fisik adalah respon terhadap situasi dan kondisi di mana individu itu berada, bukan sesuatu yang abnormal. Hal ini harus dipahami dalam konteks struktur sosial, sistem kepercayaan, asumsi, dan nilai yang mengelilingi kita dan merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan kita.
Mate mengajak kita melihat sekitar, budaya seperti apa yang berlaku di jaman modern ini? Ketika kapitalisme dan budaya materialisme yang kompetitif menuntut orang bekerja begitu keras, sampai seringkali terlalu capek dan tidak punya waktu untuk keluarga (dan dalam konteks ini, perempuan juga dihargai lebih kecil dari laki-laki). Ketika polarisasi politik, rasisme, perang, membuat warga dunia saling membenci sesama. Ketika budaya patriarki dan misogini merendahkan dan menindas perempuan. Ketika anak-anak mengalami berbagai stress di sekolah mulai dari tuntutan nilai, bullying, dan ekspektasi orang tua. Ketika bayi-bayi dibiarkan lapar dan ‘didisiplinkan’ supaya bisa tidur sesuai dengan jam tidur orang tua, ketika mereka masih belum mengerti dan hanya berlaku mengikuti insting ‘lapar’ atau ‘ingin dekat ibunya’ (jangan dikira ini bukan bentuk trauma, kata Mate). Ketika kita dibuat selalu merasa kurang dibanding orang lain. Belum lagi berbagai distraksi dan tuntutan multitasking yang membuat kita tidak fokus dan sulit berfungsi secara optimal.
Semua hal di atas sudah dianggap ‘normal’ di masyarakat modern, padahal justru tidak normal. Ini yang dimaksud Mate dalam judul buku The Myth of Normal. Tidak aneh kalau penyakit kronis semakin banyak, karena kita hidup diliputi budaya yang juga ‘sakit’.
Lalu bagaimana kita memulihkan diri dari kekacauan sistem ini? “Healing, is a natural movement toward wholeness” menurut Mate.
Kondisi ‘normal’ yang sesungguhnya adalah ketika dalam kondisi itu suatu organisme bisa tumbuh dengan optimal sesuai potensinya masing-masing. Dan kondisi ini dimulai sejak dalam kandungan. Dengan pemahaman ini kita bisa mulai lebih sadar pentingnya seorang ibu hamil dan berusaha semaksimal mungkin memuliakan mereka. Mereka sedang menjalankan tugas mulia: membangun manusia. Dalam berbagai tradisi, proses kehamilan bahkan dianggap suci sehingga ada ritual-ritual tertentu yang harus dilakukan dari sejak hamil muda hingga bayi lahir, bagaimana merawat bayi dengan penuh perhatian, bagaimana membesarkan anak dan membiarkan mereka bermain di alam agar mengalami masa kecil yang sehat dan bahagia. Semua itu demi perkembangan yang optimal sebelum mencapai usia baligh dan memulai hidup mandiri.
Dengan memahami keterkaitan biopsychosocial ini pula, sudah seharusnya pemerintah dan para pengambil kebijakan menyediakan program-program yang memungkinkan perkembangan optimal masyarakatnya: program sosial dan kesehatan yang menjamin kebutuhan dasar masyarakat tercukupi, ibu hamil dan anak-anak terpelihara (contohnya program WIC di Amerika), jaminan sosial untuk orang tua (seperti Social Security di Amerika), sistem pendidikan yang lebih ramah anak, dll. Selain itu juga harus berusaha menjaga kestabilan politik dan sosial di wilayahnya masing-masing. Kita perlu memikirkan well-being dalam skala global, tidak hanya individual.
Ketika sistem individu tidak sehat, sistem masyarakat jadi tidak sehat. Dan sebaliknya, sistem masyarakat yang tidak sehat ini ‘melahirkan’ generasi yang tidak sehat juga. Akhirnya sistem globalnya pun tidak sehat. Bagaimana memutus rantai ini?
Karena yang bisa kita kontrol adalah diri sendiri, maka mulailah dari individu. Untuk individu, bagaimana proses healingnya? Menurut Mate, mulailah dengan berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan trauma masa lalu, tidak membiarkannya membajak pikiran. “Berdamai” dengan penyakit, karena penyakit adalah cara tubuh memberitahu bahwa “hello, kamu dalam kondisi tidak seimbang, ayo kembalilah”.
Saya jadi ingat kutipan dari Sadhguru: “Pain is physical, but suffering is something you create. Every human being has the choice: to suffer or not to suffer”. Kita bisa menerima rasa sakit tersebut tanpa melekatkan ‘penderitaan’ dengannya. Dengan berdamai, tubuh bisa lepas dari cengkeraman hormon stress yang terus-terusan menggerus kesehatan dan memperburuk penyakit yang sudah ada.
Ketika sudah merasa beban stress terlalu berat, istirahatlah. Take care of our well-being. Beberapa hal yang bisa membantu proses pemulihan ini misalnya teknik-teknik mindfulness seperti meditasi dan yoga, di mana neurosains mulai bisa menjelaskan dan mengukur manfaatnya dalam konteks ilmiah (soal ini akan saya bahas dalam review buku Altered Traits: Science Reveals How Meditation Changes Your Mind, Brain, and Body).
Tiba-tiba jadi ingat “Don’t worry, be happy”. Mungkin happiness itu bukan tujuan hidup, melainkan kondisi dasar yang dibutuhkan untuk melancarkan sistem diri dan semesta, agar lebih mulus jalan menuju tujuan bersama yang ultima. Don’t you think?