Apa yang terlintas di kepala ketika mendengar nama “New York”? Mungkin langsung terbayang sebuah kota metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langit, di mana taksi-taksi kuning berseliweran di jalan yang macet dan sibuk, atau ikon-ikon tujuan wisata turis seperti patung Liberty dan kelap-kelip lampu di Times Square.
Mungkin ada orang-orang yang sudah merasa tahu tentang kota New York, padahal setiap ke sana hanya mengunjungi beberapa tempat turis di Manhattan. Well, menurut pak Helmreich, mana bisa mengenal kota metropolis berisi jutaan manusia dengan beragam karakter lingkungannya tanpa ‘blusukan’ ke setiap sudutnya?
Buku The New York Nobody Knows mengajak pembaca mengenal kota New York yang sebenarnya dengan menyusuri setiap jalannya dan memahami berbagai permasalahan sosial penduduknya.
The New York Nobody Knows: Walking 6,000 Miles In The City
William B. Helmreich
Princeton University Press (2013)
449 hal
William Helmreich adalah profesor sosiologi di City University of New York (CUNY), anak imigran penyintas Holocaust yang pindah bersama orangtuanya ke kota New York pasca Perang Dunia II dan sejak bayi dibesarkan di Upper West Side, Manhattan.
Karena bisa dibilang ‘orang asli New York’, ia mengalami dan mengamati secara langsung berbagai perubahan yang terjadi di NYC, baik secara fisik maupun kondisi sosial ekonominya. Sebagai profesor sosiologi ia juga mengajar kajian sosial perkotaan khususnya NYC, dan dalam prosesnya sering mengajak mahasiswa-mahasiswinya berjalan keliling kota. Suatu hari koleganya bilang, “Kamu ngajar tentang NYC puluhan tahun, kenapa nggak dibukukan?”. Itu yang memicunya merencanakan ‘blusukan sistematis’ ke seluruh pelosok NYC.
Buku ini ditulis sebagai hasil menyusuri 6000 mil jalan-jalan kota New York selama 4 tahun yang ‘menghabiskan 9 pasang sepatu’, melakukan observasi dari dekat sambil ngobrol dengan penduduk setempat. Selain itu Helmreich juga mewawancarai walikota New York saat itu (Michael Bloomberg) dan para walikota sebelumnya yang masih hidup saat itu (Rudy Giuliani, David Dinkins, dan Ed Koch).
Mengapa Helmreich memilih berjalan kaki? Sewaktu kecil ia dan ayahnya punya permainan “Last Stop” yang mereka lakukan bersama setiap akhir minggu, yaitu naik kereta atau bis sampai perhentian terakhir dan berkeliling di area tersebut. Hal ini menjadi kenangan yang menyenangkan. Selain itu, menurutnya kita tidak bisa mengapresiasi suatu lingkungan secara menyeluruh tanpa turun ke jalan dan menyusurinya langsung.
“You need to walk slowly through an area to capture its essence, to appreciate the buildings, to observe how the people function in the space, and to talk with them. Driving gives you nothing more than a snapshot.”
Buku ini membahas banyak permasalahan sosial seperti kemiskinan, kriminalitas, tunawisma, gentrifikasi (perpindahan penduduk kelas ekonomi menengah ke wilayah kota yang kumuh atau baru saja mengalami peremajaan/revitalisasi) dan efeknya terhadap dinamika perubahan komposisi etnik suatu lingkungan, karakter berbagai lingkungan (neighborhood) di NYC, kebutuhan ruang terbuka, dll.
Dari buku ini saya jadi tahu banyak sekali tempat yang tidak pernah sekalipun saya kunjungi di New York selain cuma dilewati ketika naik subway atau bis. Saya juga jadi tahu bagian Bronx dan Brooklyn mana yang membuat mereka begitu ‘terkenal’ dengan kekumuhan dan kriminalitasnya. Menurut Helmreich, New York tahun 70-80an memang parah, banyak area dikuasai geng kriminal dan drug dealer, termasuk di Manhattan. Tapi kondisi mulai membaik di masa pemerintahan walikota Dinkins, Giuliani, dan Bloomberg, sehingga New York bangkit menjadi kota metropolis seperti sekarang.
Menurut Helmreich, kota New York begitu unik karena meskipun merupakan sebuah kota metropolis yang modern, di dalamnya banyak kantong-kantong etnis yang terkonsentrasi dan menghasilkan suasana lokal yang berbeda karena penduduknya masih berpegang erat pada identitas dan tradisi asal usulnya.
Helmreich banyak sekali membahas New York dari segi etnografi, karena sebagai kota ‘melting pot’ berisi penduduk dan pendatang dari ratusan negara dengan tradisi, budaya, dan bahasa berbeda-beda, memang New York adalah objek yang sangat menarik. Bagaimana orang-orang dengan budaya berbeda ini berinteraksi? Apakah terjadi perselisihan? Atau malah muncul toleransi?
Hmm, jadi ingat keragaman Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ya?
Banyak cerita menarik di dalamnya, bagaimana seorang guru Yahudi Orthodox dari Brooklyn menjadi wakil kepala sekolah di South Bronx, daerah miskin yang dominan orang kulit hitam dan Latino, dan menjadi kesayangan murid-muridnya. Bagaimana sebuah distrik sekolah di Brooklyn berisi murid-murid yang begitu beragam, ada 40 bahasa yang dituturkan di sana. Bagaimana orang-orang miskin di komplek kumuh mengeluhkan para pendatang (gentrifiers) yang malah menganggap mereka yang sudah puluhan tahun tinggal di situ sebagai ‘orang luar’. Bagaimana bahkan dalam grup internal (sesama orang kulit hitam, atau sesama komunitas Yahudi Orthodox) juga ada macam-macam perbedaan yang menghasilkan friksi. Karenanya kita tidak bisa menggeneralisir sebuah grup etnis.
Ya, ini memang buku sosiologi, bukan buku panduan untuk turis. Tapi ini buku yang baik sekali bagi mereka yang ingin tahu “the real New York.”