Kita sebagai pecinta buku, biasanya hanya fokus pada buku-buku yang kita baca saja. Membahas isinya, karakter-karakternya, plotnya, dan penulisnya. Kadang sampai berkembang menjadi komunitas besar dan menelurkan fanfic-fanfic berdasarkan buku-buku favorit.
Tapi pernahkan terlintas di pikiran kita sebagai pecinta buku ini, orang-orang yang memungkinkan kita bisa membaca buku-buku tersebut? Para penjual buku dan pustakawan? Sepertinya tidak, ya?
Karena itulah, buku yang diinisiasi oleh James Patterson ini bermaksud merayakan para penjual buku dan pustakawan yang telah menjadi gerbang akses kita pada buku-buku.
“Booksellers and librarians help people every single day. Here are their amazing, inspiring true stories”
The Secret Lives of Booksellers and Librarians: True Stories of the Magic of Reading
James Patterson and Matt Eversmann
Little, Brown and Company (2024)
352 hal
Di jaman digital ini banyak yang mengkhawatirkan berkurangnya minat (dan kemampuan!) membaca buku di kalangan anak muda, bahkan ada juga yang mempertanyakan relevansinya membaca buku ketika menonton video lebih mudah dilakukan. Di awal buku, James Patterson, penulis ratusan buku yang sudah terjual jutaan kopi, menulis bahwa hanya 20% penduduk Amerika terbiasa membaca buku. “To my way of thinking, that statistic is dystopian, ” tulis Patterson (untung dia nggak tau statistik Indonesia ya, nanti jantungan). Selain masalah minat baca, akses pada bacaan pun menjadi pemikiran para pendidik. Banyak orang yang tidak mampu membeli buku. Di sinilah peran perpustakaan umum. Karena itulah, selain berbagi cerita dari toko buku, kisah para pustakawan juga diangkat di sini.
Buku ini berisi kompilasi cerita dari sekitar 60 orang kontributor yang terdiri dari pemilik toko buku independen, manajer, distributor, dan staf toko buku besar (chainstores), dan juga pustakawan di berbagai penjuru Amerika Serikat dan Kanada. Toko besar yang diangkat di sini adalah Barnes & Noble dan Books A Million di Amerika Serikat, dan Indigo di Kanada, sementara sisanya adalah toko-toko buku indie dan perpustakaan.
Dari puluhan cerita, ada tema-tema besar yang diceritakan di sini yaitu antara lain suka duka memulai usaha toko buku independen, rasa senang bekerja dikelilingi buku yang mereka cintai (rata-rata memang kutu buku sejak kecil!), dan kebahagiaan ketika mereka berhasil membantu pembeli/pengunjung mendapatkan buku yang diinginkan dan menumbuhkan kembali minat baca. Oh, ada satu yang saya perhatikan: hampir semua kontributor di sini adalah perempuan. Entah ini merefleksikan statistik pemilik toko buku dan pustakawan di Amerika Utara, atau kebetulan aja nggak banyak laki-laki yang ikut berkontribusi.
Beberapa cerita menarik di buku ini misalnya tentang ‘perang’ para pustakawan sekolah menghadapi pelarangan buku-buku tertentu (/book ban). Di Amerika, koleksi perpustakaan umum dilindungi undang-undang kebebasan berpendapat, jadi buku dari berbagai sudut pandang disediakan. Namun satu dekade terakhir ini banyak jenis buku yang diprotes, seperti topik rasisme dan lgbtq. Ada 2 cerita tentang pustakawati di Texas dan New Jersey yang berjuang mempertahankan koleksi buku mereka dari usaha-usaha pelarangan ini (kasihan deh, ibu-ibu udah mau pensiun malah diteror sampai sakit!). Oya, di sini juga banyak diceritakan berbagai program yang ditawarkan oleh perpustakaan-perpustakaan di Amerika, yang bukan hanya peminjaman buku.
Diceritakan juga di sini, bahwa salah satu faktor penting yang mendongkrak penjualan buku beberapa tahun terakhir ini adalah TikTok dan Instagram. Fenomena BookTok, di mana booklovers di TikTok saling berbagi tentang buku, adalah yang paling berjasa meningkatkan minat baca dan beli buku di kalangan anak muda. Menurut pengalaman saya sendiri, sekarang kalau pergi ke toko buku, selalu ada meja atau rak tertentu yang khusus untuk display buku-buku yang sedang trending di TikTok. Lucu ya, bagaimana TikTok yang seringkali diremehkan itu justru berperan besar meningkatkan minat baca remaja dan anak muda!
Ada satu hal yang saya tangkap dari semua cerita di sini: mereka semua berpendapat bahwa tempat mereka bekerja, baik toko buku maupun perpustakaan, bukanlah sekadar tempat untuk menjual dan meminjamkan buku. Namun, tempat-tempat ini merupakan pusat komunitas, tempat bertemu dan berkumpulnya mereka yang punya kecintaan yang sama akan buku, terasa ada ikatan tak kasat mata antara pemilik toko dan pembeli, antara pustakawan dan pemustaka.
Hmm, tepat sekali buku ini direview dalam rangka National Booklovers Day tanggal 9 Agustus hari ini.
Selamat membaca, booklovers!
-dydy-