Cart

Your Cart Is Empty

The World According to Physics (Princeton Press, 2020) dan The Joy of Science (Princeton Press, 2022)

The World According to Physics (Princeton Press, 2020) dan The Joy of Science (Princeton Press, 2022)

image

Author

Ani

Published

Februari 7, 2024

Review kali ini tentang dua buku dari Jim Al-Khalili, fisikawan kuantum Inggris yang aktif mengomunikasikan sains melalui buku-buku yang ditulisnya, dan juga membawakan acara dan siaran sains di TV dan radio.
Jadi kalau Amerika punya Neil deGrasse-Tyson dan Michio Kaku, Inggris punya Jim Al Khalili (dan Brian Cox) sebagai science popularizer bidang fisika.
Kalau di Indonesia siapa?

Anyway, sebetulnya yang pertama saya baca justru bukunya yang baru saja terbit bulan lalu, The Joy of Science (Princeton Press, 2022). Bukunya kecil mungil dan isinya pendek. Di luar kata pengantar, glossary, dan bibliography, isinya cuma 162 halaman. Ukurannya juga cuma 12×18 cm.

Setelah saya baca ternyata isinya banyak kesamaan dengan buku Making Sense of Science dari Cornelia Dean yang pernah saya review (https://www.facebook.com/bookolatte/posts/160893752976191).
Kalau buku Dean ditulis menanggapi sikap anti sains yang memuncak jaman Trump, buku ini berisi keprihatinan Khalili setelah melihat reaksi masyarakat terhadap pandemi (dan isu climate change). Masyarakat yang science & information-illiterate mudah sekali terpapar hoax dan teori konspirasi, yang bisa membahayakan dirinya dan orang lain.

Karena itu menurut Khalili, mengomunikasikan sains ke masyarakat itu sangat penting, karena masyarakat yang paham (paling tidak tentang basic science) dapat ikut serta dalam usaha yang perlu dilakukan bagi kebaikan bersama, seperti misalnya dalam mengatasi pandemi, perubahan iklim, atau menerapkan teknologi baru. Kita lihat sendiri polemik2 akibat masyarakat yang buta sains: hoax dan teori konspirasi di mana-mana, menghambat kemajuan.

Jadi buku ini berbagi pelajaran yang bisa diambil dari cara ilmuwan bersains dan mengajak pembaca mengapresiasi keindahan sains: memahami apa itu sains dan mengenali mana yang bukan (karena sains harus memenuhi syarat-syarat tertentu), menerapkan sikap-sikap yang baik dalam mencari informasi dan ‘making sense of the world’ seperti jujur pada diri sendiri, mau mengakui kesalahan, mengenali bias pandangan pribadi (jangan mudah menuduh orang lain bias padahal sendirinya juga sama), tidak mengutamakan pendapat pribadi di atas bukti sains, dll.
Buku ini juga menekankan pentingnya pengajaran critical thinking dalam sistem pendidikan, selain juga literasi informasi, dan sopan santun.

“Kita tidak bisa mengubah pemikiran semua orang, tapi sebagai masyarakat kita wajib berusaha supaya orang-orang yang suka menyebar kebohongan tidak memegang kekuasaan, karena konsekuensinya sangat besar bagi kemanusiaan” (saya yakin pernyataan ini nyepet Amerika, hehe).

Meskipun isinya mirip buku Making Sense of Science, Khalili berhasil menjejalkan hal-hal pentingnya ke dalam buku yang pendek ini, sehingga (mudah-mudahan) lebih gampang dibaca dan dipahami umum.

Habis baca buku ini, saya baca buku sebelumnya yang best seller: The World According to Physics (Princeton Press, 2020). Wah ternyata rame.
Isinya membahas konsep-konsep yang fundamental dalam fisika modern seperti energi dan materi, spacetime, dunia kuantum, termodinamika, theory of everything, dll. Penjelasannya tentang perilaku partikel di dunia kuantum singkat tapi cukup jelas (meskipun harus saya baca beberapa kali buat mencernanya. Maklum, bukan orang fisika).
Setelah itu ia juga membahas prediksinya tentang masa depan fisika (quantum computing akan membuka era baru penemuan-penemuan penting, dan bisa jadi ‘Einstein’ di masa depan adalah berupa AI).

Di bab Unification (tentang usaha mencari the theory of everything) ada pernyataan: “Unification is not something we deliberately set out to achieve; it has emerged as a result of our deeper understanding of the physical world.”
Buat saya ini menarik soalnya jadi inget soal ‘union’ dan ‘oneness’ di buku Karma. Semakin dalam mengenal semesta, ternyata hasilnya menuju ‘kesatuan’.

Membaca bab terakhir “Thinking like a Physicist”, saya baru ngeh, bahwa ternyata buku “The Joy of Science” adalah pengembangan bab ini.

Membaca buku-buku ini saya jadi mikir tentang orang-orang yang menggunakan medsos di smartphone mereka (yang tidak akan ada tanpa kemajuan sains dan teknologi itu) untuk menyebarkan pernyataan-pernyataan anti sains.
Betapa absurdnya.

Join Us

Book

O Latte

Follow IG untuk membaca review kami

Join Us on Spotify

Our Location

My Place

The place I like the most

Get Direction