Saya membaca buku ini setelah buku A History of Writing, dan buku ini tepat sekali menjadi pelengkap pemahaman tentang tulisan hieroglyph Mesir Kuno yang juga dibahas di buku sebelumnya. Buku ini tepatnya bercerita bagaimana dua orang ilmuwan dari Inggris dan Perancis berusaha memecahkan misterinya.
The Writing of the Gods: The Race to Decode the Rosetta Stone
Edward Dolnick
Scribner (2021)
311 hal
Edward Dolnick adalah jurnalis namun berlatar belakang pendidikan master bidang matematika dari MIT. Secara profesional, ia pernah menjadi chief science writer di suratkabar Boston Globe. Selain menulis di suratkabar, ia juga menulis buku-buku nonfiksi populer tentang sejarah, sains, psikologi. Buku The Writing of the Gods adalah bukunya yang ke-8, dan tahun ini akan terbit bukunya yang terbaru tentang penemuan fosil dinosaurus di abad 19.
Seperti yang tersirat dari sub-judulnya, buku ini dibingkai dalam cerita persaingan dua orang ilmuwan, Thomas Young dari Inggris dan Jean-François Champollion dari Perancis, dalam usaha memecahkan misteri hieroglif melalui prasasti Rosetta Stone. Thomas Young sebetulnya adalah polymath, yang lebih terkenal dengan karya-karyanya di bidang fisika, seperti misalnya teori gelombang cahaya. Sementara Jean-François Champollion memang fokusnya di bahasa. Sejak kecil ia sangat tertarik akan bahasa dan menguasai banyak bahasa asing seperti Coptic, Latin, Yunani Kuno, Arab, dan Ibrani.
Namun sebelum memasuki inti buku, Dolnick mengisahkan dulu lika-liku bagaimana latar belakang sejarahnya sehingga Rosetta Stone ini bisa sampai di Inggris dan menjadi koleksi British Museum. Jadi buku ini diawali dengan cerita bagaimana Inggris dan Perancis di abad 18 bersaing menaklukkan negri-negri di berbagai belahan dunia. Napoleon baru saja menang perang di Itali, dan berambisi menaklukkan area baru. Ia ingin menjadi sehebat Alexander the Great, dan berpikir “What’s next?”. Inggris sudah menguasai India, well, kalo gitu Perancis menaklukkan Mesir saja! Napoleon lalu memimpin armada kapal militer untuk menaklukkan Mesir yang waktu itu ada di bawah kesultanan Turki, tapi nggak diurus. Jadi saat itu Mesir adalah daerah miskin dan terbengkalai. Tapi selain armada perang, Napoleon juga membawa tim ilmuwan dan seniman (disebut para ‘savants’), yang nantinya akan berperan penting dalam terkuaknya misteri hieroglif ini.
Menaklukkan Mesirnya sendiri mudah saja bagi Napoleon yang kekuatan armada dan senjatanya lebih kuat dari penguasa Mesir. Namun kemudian armada itu hancur oleh saingannya, Inggris, sehingga tentara Perancis terkatung-katung di Mesir. Bahkan Napoleon meninggalkan mereka diam-diam setelah gagal menyerang Syria, tapi begitu sampai di Perancis ngaku-ngaku menang. Hadeuh dasar Napoleon.
Di Mesir, para savants mengumpulkan observasi mereka tentang segala yang berkaitan dengan bidangnya masing-masing. Yang seniman membuat sketsa, gambar, dan lukisan berbagai suasana Mesir. Yang ilmuwan mencatat dan berdiskusi tentang mummi, hieroglif, dan terutama mempelajari monumen-monumen kuno untuk memecahkan misteri sejarah Mesir kuno yang tertulis di dindingnya.
Rosetta Stone ditemukan di sebuah reruntuhan benteng di Rashid, sebuah kota pantai (orang Perancis menyebut “Rashid” sebagai “Rosetta”, karena itulah prasasti tersebut dikenal sebagai Rosetta Stone). Prasasti tersebut bertuliskan 3 macam tulisan: hieroglif di paling atas (sayangnya prasasti tersebut patah bagian atasnya dan patahannya tidak pernah ditemukan), tulisan yang tidak dikenal di tengah (akhirnya diketahui bahwa ini adalah aksara Demotic, yaitu penyederhanaan hieroglif), dan tulisan Yunani di bagian bawah. Dengan adanya 3 macam tulisan ini, terbukalah kesempatan untuk memecahkan misteri hieroglif, dan selanjutnya, misteri Mesir Kuno yang tertulis di monumen-monumennya.
Cara Dolnick berkisah rasanya agak terlalu dramatis, suka nyimpang dulu cerita kesana kemari, dan kadang diulang-ulang di sana-sini. Atau kadang memberi contoh analogi lebih dari yang dibutuhkan (satu aja cukup, dia kasih dua atau tiga). Meskipun di buku ini Dolnick menekankan persaingan Thomas Young dan Jean-François Champollion, tapi bagi saya (sebagai penggemar TTS Kompas dan permainan bahasa, haha!) yang paling seru di buku ini adalah bagaimana Champollion memecahkan teka-teki simbol-simbol hieroglif.
Yang menjadi kunci mulai terpecahkannya simbol hieroglif adalah NAMA. Nama orang biasanya tidak diterjemahkan, selalu sama dalam bahasa apapun. Jadi yang pertama dicari padanannya adalah nama-nama raja yang tertulis dalam bahasa Yunani, dan dicari padanannya di hieroglif. Untungnya, dalam hieroglif, nama-nama raja itu dilingkari. Meskipun Thomas Young lah yang pertama kali menemukan padanan nama raja Ptolemy dalam hieroglif, namun Champollion lah yang berhasil melanjutkannya dengan sukses sampai selesai. Kelebihan Champollion adalah ia menguasai bahasa Coptic yang cukup dekat dengan bahasa Mesir kuno, suatu kemampuan yang tidak dimiliki Thomas Young. Dengan bekal ini, satu demi satu misteri simbol hieroglif terkuak, sampai akhirnya Champollion berhasil memecahkan arti simbol-simbol hieroglif yang selama ini menjadi misteri para ilmuwan dan ahli bahasa Eropa, bahkan juga memahami grammarnya. Champollion lah orang pertama yang paham hieroglif dalam kurun ribuan tahun setelah peradaban Mesir Kuno hancur.
Beberapa yang menarik dari misteri hieroglif ini misalnya:
1. Nama-nama pharaoh/firaun itu strukturnya mirip dengan nama-nama orang Arab atau Yahudi yang menekankan pada garis keturunan: Ibn- atau Ben-. Kata ‘mise’ dalam bahasa Coptic berarti kelahiran, dan petunjuk ini yang membuat Champollion tahu bahwa Rameses berarti Born-of-Ra (Ra, dewa Matahari), Tuthmosis berarti Born-of-Thoth (Thoth, dewa Bulan). Kalau di bahasa Arab mungkin jadi Ibn Shams dan Ibn Qomar…hehe.
2. Champollion tahu bahwa kata ‘ankh’ dalam bahasa Coptic berarti ‘hidup’. Dengan ini ia memahami kata ‘ankh’ dalam nama Tut-ankh-Amun berarti titisan atau inkarnasi, dan Tutankhamun berarti (raja) Tut titisan dewa Amun.
3. Di budayan Mesir kuno, tulisan dikatakan sebagai anugerah dari Dewa Thoth (ditulis dhwyt, dibaca seperti jyoti dalam Sanskrit, kalau di bahasa arab seperti bunyi huruf dlod). Dewa Thoth dianggap sebagai dewa Bulan sekaligus dewa ilmu pengetahuan, dewa sains yang mendirikan ilmu astronomi, matematika, kedokteran, namun yang paling penting adalah dewa menulis, membaca, dan komunikasi.
Wow, dewa Thoth betul-betul cocok dengan Bookolatte ya!
(fyi, di budaya Yunani, dewa Thoth ini adalah dewa Hermes, yang kalau di filsafat Islam dianggap sama dengan nabi Idris, nabi ilmu pengetahuan)
3. Hieroglif kucing dilafalkan ‘meow’ !
Membaca soal Rosetta yang ternyata Rashid ini membuat saya berpikir. Rashid kan artinya petunjuk ke jalan yang benar ya, betapa cocoknya bahwa Rosetta/Rashid stone itu, prasasti petunjuk ke jalan yang benar itu, berupa tulisan yang harus dibaca untuk memecahkan misterinya. Otomatis mengingatkan saya dengan perintah ‘iqra’.
Anyway, meskipun sedikit terganggu dengan cara Dolnick bercerita, namun bagi saya isi buku ini sangat menarik, dan mungkin cocok untuk teman-teman yang senang sejarah, bahasa, dan memecahkan teka-teki.
-dydy-