Sebetulnya saya agak kecele sama judul buku ini. Dikira isi bukunya full tentang diskusi pemikiran Einstein dan Gödel, 2 pemikir besar abad 20. Kalau nama Einstein tentu semua sudah kenal, tapi banyak yang nggak tahu tentang Kurt Gödel yang disebut ‘logikawan terbesar setelah Socrates’, yang meskipun jauh lebih muda dari Einstein tetapi merupakan sahabat diskusinya di Princeton. “Gödel satu-satunya kolega yang dianggap setara dengan Einstein (di IAS saat itu),” kata fisikawan Freeman Dyson. Einstein sendiri bilang bahwa dia pergi ke kantornya di IAS “Supaya dapat kehormatan bisa berjalan pulang bersama-sama Gödel.”
Tapi buku ini ternyata isinya merupakan kumpulan esai tulisan Jim Holt tentang berbagai topik matematika, logika, dan filsafat, dan “When Einstein Walked with Gödel” yang dipilih menjadi judulnya hanyalah satu dari puluhan esai.
When Einstein Walked with Gödel: Excursions to the Edge of Thought
Jim Holt
Farrar, Straus and Giroux (2018)
368 hal
Jim Holt ini sulit dilacak infonya lewat Google, tapi dari sedikit info yang saya temukan, diketahui bahwa ia berlatar belakang pendidikan matematika (S1-S2) dari University of Virginia, dan puluhan tahun menjadi pengajar di departemen filsafat Columbia University. Wikipedianya sendiri hanya menyebutkan bahwa ia jurnalis dan penulis sains populer yang sering menulis di New York Times, The New Yorker, dan pernah menjadi editor majalah politik. Tapi di salah satu esainya dia menulis bahwa dia memang nggak banyak ‘tampil’ online, ga punya medsos dan jarang buka email, jadi wajar deh kalau susah digoogle, hehe.
Buku ini berisi 24 esai panjang dan pendek, baik berupa esai yang mengulas topik tertentu, atau juga review buku, yang pernah dimuat di New York Times, The New Yorker, NYT/London Review of Books, atau majalah-majalah sastra dan linguistik. Bukunya dibagi ke dalam 9 bagian:
I.The Moving Image of Eternity
II.Numbers in the Brain, in Platonic Heaven, and in Society
III. Mathematics, Pure and Impure
IV.Higher Dimensions, Abstract Maps
V.Infinity, Large and Small
VI.Heroism, Tragedy, and the Computer Age
VII.The Cosmos Reconsidered
VIII.Quick Studies: A Selection of Shorter Essays
IX.God, Sainthood, Truth, and Bullshit
Esai pertama di buku ini adalah yang dijadikan judul bukunya, bercerita tentang Einstein dan Gödel, kisah singkat hidup dan penemuan-penemuan mereka hingga bisa sama-sama jadi anggota tetap Institute for Advanced Study (IAS) Princeton. Di sana mereka sering jalan pulang sama-sama (kalau dari IAS, rumah Einstein di 112 Mercer street dilewati Gödel kalau pulang ke rumahnya yang lebih jauh di 145 Linden lane) sambil berdiskusi tentang fisika, matematika, dan logika. Salah satu topik yang banyak mereka diskusikan adalah teori relativitas umum Einstein, dan dalam esai ini membahas bagaimana Gödel menemukan bahwa salah satu solusi teori relativitas umum adalah bahwa “time does not exist”. Esai ini mengambil dari buku Palle Yourgrau “A World Without Time: The Forgotten Legacy of Gödel and Einstein”. Dalam solusi ini, semesta tidaklah mengembang, melainkan berputar, dan di semesta ini (Gödel universe) penghuninya bisa kembali ke masa lalu. Lalu bagaimana dengan paradoks di mana seseorang kembali ke masa lalu dan membunuh kakeknya, sehingga dia tidak mungkin eksis di masa depan? Kalau menurut Gödel, “If time travel is possible, then time itself is impossible.”
Esai-esai lainnya membahas banyak topik yang menarik tentang matematika, fisika, logika, kesadaran, neurosains, filsafat. Misalnya dalam esai “Numbers Guy: The Neuroscience of Math” Holt bercerita tentang riset neuroscientist Stanislas Dehaene tentang bagaimana otak manusia memahami konsep bilangan. Ternyata konsep bilangan diproses oleh 3 area otak: parietal lobe yang memproses konsep ruang dan lokasi, area visual memproses simbol/angka, dan ‘number words’ di area bahasa. Jadi ketika bermatematika, otaknya ‘menyala’ di mana-mana lho, seperti ketika membaca (kalo ini dibahas di buku Proust and the Squid-nya Maryanne Wolf). Topik-topik lainnya yang dikupas oleh Holt misalnya Riemann zeta hypothesis, fraktal, higher dimensions, Turing machine, infinity. Beberapa esai juga membahas tokoh-tokoh matematika dan logika seperti John von Neumann, Benoit Mandelbrot, Alan Turing, Ada Lovelace, Sir Francis Galton, David Hilbert, Alexander Grothendieck, dan Saul Kripke.
Buku-buku yang direview atau disebut-sebut oleh Holt banyak yang judulnya cukup familiar, dan beberapa pernah juga saya baca dan review, seperti “Love and Math: The Heart of Hidden Reality” dari Edward Frenkel, “Naming Infinity: A True Story of Religious Mysticism and Mathematical Creativity” dari Loren Graham dan Jean-Michel Kantor, atau “The Mystery of the Aleph: Mathematics, the Kabbalah, and the Search for Infinity” dari Amir Aczel.
Dalam menjelaskan konsep-konsep matematika, penjelasan Holt enak dibaca, dan bahasanya lebih ‘nyastra’ dibanding buku-buku matematika populer yang pernah saya baca. Beberapa yang ingin saya soroti dari buku ini adalah:
1. Di beberapa esai, Holt seperti mengritik pandangan-pandangan matematikawan yang Platonis, yang menganggap bahwa objek-objek matematika memiliki eksistensi di luar dunia nyata. Berkali-kali ia menyebut pandangan ini (yang dianut oleh misalnya Edward Frenkel, Robert Langlands, Roger Penrose, dan Kurt Gödel –‘the staunchest Platonist’, kata Holt–) sebagai fantasi. Namun dalam esai “Dawkins and Deity” ia juga mengritik Richard Dawkins dan buku “The God Delusion”-nya dan membela pandangan orang-orang yang mempercayai Tuhan dan memeluk agama. Apakah Holt ini berperan sebagai devil’s advocate dalam esai-esainya? Tapi kayaknya nggak selalu juga sih, karena dalam esai “Truth and Reference: A Philosophical Feud” yang bercerita tentang konflik antara ilmuwan logika Saul Kripke dan Ruth Barcan, Holt dipuji keduanya sebagai ‘imbang dan objektif’.
2. Banyak ilmuwan matematika yang dikenal mengalami peristiwa-peristiwa ‘divine intervention’, seperti misalnya Georg Cantor dan Srinivasa Ramanujan. Tapi dari buku ini (dan juga dari buku “Exact Thinking in Demented Times” dan beberapa buku lain yang saya baca sebelum ini), saya menemukan banyak ilmuwan lain yang mendapatkan pencerahan lewat mimpi, vision, dan ilham yang datang tiba-tiba, yang mereka yakini kebenarannya bahkan sebelum diverifikasi. Alan Turing mendapatkan ilham mengenai Turing machine ketika sedang beristirahat di padang rumput sehabis lari pagi, Alexander Grothendieck sering dapat ilham lewat penglihatan dan mimpi, Henri Poincaré mendapat pencerahan saat menaiki tangga bus, John von Neumann sering mendapatkan pembuktian matematika dari mimpi, Rudolf Carnap mendapat penglihatan yang menjadi basis bukunya “The Logical Syntax of Language”. Di buku lain, matematikawan Steven Strogatz dan Cedric Villani juga mengalaminya. Bahkan Einstein pun mengalaminya berkaitan dengan teori relativitasnya.
Ini tuh orang-orang yang ‘logis’ lho, tapi mereka mengalami hal-hal seperti ini. Jadi saya pikir nggak usah lah terlalu cepat menolak dan anti terhadap konsep ‘pencerahan’ dan ‘divine intervention’ dan menganggapnya sebagai halusinasi, karena ternyata banyak ‘halusinasi’ ini yang berbuah penemuan-penemuan penting yang memajukan ilmu pengetahuan.
3.Membaca tulisan Jim Holt ini mengingatkan saya sama gaya tulisan John McPhee, pemenang Pulitzer yang juga staf pengajar penulisan di Princeton, dan staf majalah New Yorker (bisa dibaca bukunya “Draft No.4: On the Writing Process” yang pernah saya review). Selain itu juga mengingatkan sama buku seri Isabel Dalhousie yang di dalamnya banyak membahas filsafat moral David Hume dalam jurnal filsafat yang diasuhnya. Cuma yang saya nggak habis pikir, ternyata ada juga bahasan filsafat yang (menurut saya) “Buat apa sih ngebahas beginian?????”, terutama filsafat yang membahas bahasa. I mean, esai terakhir di buku ini membahas filsafat kata “bullshit”. What?
Anyway, buat yang tertarik dengan topik-topik di atas dan lebih suka tulisan-tulisan pendek, kumpulan esai seperti ini lumayan mudah dibaca.
-dydy-