Cart

Your Cart Is Empty

Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth

Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth

image

Author

Ani

Published

Februari 3, 2024

Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth

Reza Aslan
Random House (2013)
336 hal

Kalau sudah pernah membaca buku Reza Aslan yang pertama, No God But God, maka buku Zealot tidak jauh berbeda. Yang beda cuma topiknya: buku NGBG tentang sejarah Islam dan nabi Muhammad, buku Zealot tentang sejarah Kristen dan Yesus/nabi Isa. Sebagai ilmuwan bidang agama (sampai level doktor), membahas agama secara sosio-historis memang bidang keahliannya, dan dia membahasnya secara objektif layaknya ilmuwan, baik membahas Islam maupun Kristen.

Seolah sudah memperkirakan akan ada perlawanan semacam “Muslim kok nulis tentang Yesus”, di buku ini Reza merasa perlu menekankan bahwa buku Zealot adalah hasil kerja kerasnya selama 20 tahun studinya sejak di universitas riset mengenai Perjanjian Baru, dan waktu itu dia memang beragama Kristen (dia baru masuk Islam lagi sebelum mengambil gelar Master di Harvard). Mungkin bisa dibandingkan dengan Karen Armstrong, AnneMarie Schimmel atau Lesley Hazleton yang menulis tentang Islam.

Memang terlihat bahwa buku ini hasil penelitian lama dan serius. Catatan dan referensinya saja 62 halaman!

Buku ini adalah usaha Reza menemukan ‘siapakah Yesus yang tercatat oleh sejarah’ itu. Risetnya selain tentu saja meneliti dokumen-dokumen Perjanjian Baru dalam bahasa aslinya (Hebrew, Aramaic, Greek), juga Perjanjian Lama dan berbagai literatur lain dari peneliti-peneliti sebelumnya (Antiquities oleh Josephus, misalnya, sejarawan Yahudi abad pertama, dan dari dokumen-dokumen pihak Romawi). Saya lebih suka menyebut buku ini ‘tafsir Reza’, karena seperti disebutkan, yang bisa ia lakukan adalah ‘mengumpulkan data yang sedikit itu, lalu berusaha mengisi celah-celahnya dan menyambungkannya lewat narasi.” Kebayang kan susahnya kalo punya data cuma sedikit tentang sesuatu yang terjadi 2000an tahun yang lalu, lalu menyusunnya menjadi puzzle yang bisa dibilang lengkap.
Maka dari itu saya sebut ‘tafsir’ saja. Kemampuan Reza bernarasi, ditambah ilustrasi peta first-century Palestine dan Temple of Jerusalem sangat membantu pembaca membayangkan secara jelas apa yang terjadi di masa itu.

Saya nggak akan banyak mereview isi buku, lebih bagus dibaca sendiri. Tapi saya ingin menulis kesan terkuat yang saya tangkap setelah membaca buku ini : tentang sebuah pencarian, dan kejujuran pada diri sendiri.

Reza bercerita bahwa awalnya dia ‘cuma muslim turunan’ di keluarga yang tidak religius, lalu pasca revolusi Iran ketika keluarganya mengungsi ke Amerika, sebagian meninggalkan Islam (salah satunya karena benci dengan apa yang terjadi di Iran), lalu dia masuk Kristen umur 15, bahkan sampai ikut mendakwahkannya juga. Dalam usahanya menjawab orang-orang yang mendebat dakwahnya lah ia kemudian ‘terjun’ meneliti Perjanjian Baru secara formal di universitas, dan dalam proses itu ‘jalan pencarian’nya berubah arah lagi.

Untunglah dia hidup di Amerika, karena jalan pencarian spiritual yang berbelak-belok begitu nggak terlalu jadi masalah. Entah apa yang terjadi kalau dia tinggal di negara yang religius konservatif. Mungkin dirundung habis-habisan. “Nggak istiqomah,” mungkin komentar orang-orang. Saya jadi bertanya-tanya soal ‘istiqomah’ gara-gara itu. Siapa yang berhak menilai soal ‘istiqomah’? Orang lain kah? Dan ketika ‘kejujuran pada diri sendiri’ membawa pada penilaian ‘nggak istiqomah’, atau mungkin juga ‘sesat’, mana yang akan kamu menangkan?

Dalam perkara Reza, dan banyak orang di sekitar saya, kejujuran pada diri lah yang menang. Ketika pemahaman di awal kemudian berubah dalam proses pencarian/perjalanan spiritualnya, mereka menjalaninya saja meskipun dengan resiko dianggap tidak istiqomah, atau dituduh sesat (apakah yang menuduh yakin jalannya tidak sesat?), karena hal itu lebih baik dari membohongi diri sendiri.

Sebagai penutup, saya kutip dari Hazrat Inayat Khan saja:
There are many paths, and each man considers his own the best and wisest. Let each one choose that which belongs to his own temperament.

…teruslah mencari kalau memang merasa belum ketemu, tidak usah pedulikan kenyinyiran orang lain.

After all, “no one can build you the bridge on which you, and only you, must cross the river of life.” (Nietzsche)

Selamat hari Natal bagi teman-teman yang merayakan.

Join Us

Book

O Latte

Follow IG untuk membaca review kami

Join Us on Spotify

Our Location

My Place

The place I like the most

Get Direction